Bekerja adalah hakikat manusia. Dalam siklus kehidupan -bila berumur panjang- manusia menjalani sebagian besar waktunya untuk bekerja. Bisa dikatakan, bekerja adalah bagian dari proses kemandirian seseorang.
Makna Bekerja
Setiap orang memaknai bekerja dengan cara dan tujuan tertentu. Tidak diragukan lagi setiap orang pasti membutuhkan uang. Untuk mendapatkan uang, salah satunya bisa dengan cara bekerja. Namun, esensi bekerja tidak hanya "sebatas" itu. Sistem kapitalisme, tanpa disadari, berhasil menghipnotis kita untuk mengejar kemapanan.
Biaya hidup dan tingkat inflasi yang cenderung meningkat setiap tahun telah membuat orang selalu berusaha mengumpulkan uang. Banyak yang melakukannya hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi tidak sedikit juga yang bekerja untuk aktualisasi diri atau memuaskan hasrat pribadi. Hanya segelintir orang yang bekerja sesuai dengan passion.
Hal tersebut tidaklah mengherankan. Sistem pendidikan di Indonesia masih sebatas menghasilkan pekerja. Itupun kurang memadai untuk memperlengkapi pekerja agar terampil dan ahli dalam pekerjaan. Malahan yang sering kita dengar adalah yang penting bekerja dan gaji sesuai.
Kepentingan Pengusaha, Pemerintah dan Pekerja
Dunia kerja sangat kompleks dan rumit. Tarik menarik kepentingan antara pengusaha, pemerintah dan pekerja sulit menemukan titik temu yang pas atau win- win solution. Perayaan hari buruh yang kerap demo merupakan salah contohnya. Agenda perayaan hari buruh tidak lepas dari tuntutan pekerja kepada pemerintah dan pengusaha untuk menaikkan upah pekerja.
Ini adalah salah satu bukti bahwa negara belum mampu mewujudkan keadilan sosial. Kesejahteraan pekerja belum menjadi prioritas yang penting. Beberapa perusahaan menganggap pekerja hanya sebatas alat bukan aset.
Dengan angkatan kerja yang cukup tinggi, Indonesia merupakan salah satu pasar tenaga kerja yang menjanjikan. Ini adalah keuntungan bagi pengusaha. Selain itu, upah tenaga kerja di Indonesia juga relatif rendah. Belum lagi regulasi yang lebih menguntungkan investor/pengusaha daripada pekerja.
Dengan keuntungan yang banyak diperoleh oleh pengusaha, seringkali ditemukan kasus dimana pekerja menjadi "tumbal". Para pekerja menghabiskan berjam- jam dan berhari- hari bekerja tapi juga sedang dikerjain. Barangkali, hampir semua yang bekerja pernah ataupun sedang mengalaminya dengan kondisi ataupun kadar yang berbeda.
Bekerja sekaligus dikerjain adalah kisah yang sering kita dengar atau mungkin pernah kita alami. Ada tanda atau bukti yang sangat mencolok ketika bekerja tanpa dikerjain. Pertama, bekerja membuat kita bahagia dan "merdeka". Artinya, ketika bekerja kita menikmati pekerjaan. Selain menikmati pekerjaan, kita berkembang dan bisa berkarya dalam pekerjaan.
Memang harus diakui, persoalan di dunia kerja tidak sesederhana itu. Tetapi paling tidak, sebagai pekerja, kita bisa memiliki salah satu dari dua hal tersebut. Bila kita tidak memilikinya maka sesungguhnya kita adalah pekerja yang dikerjain. Setidaknya ada tiga gejala yang bisa menunjukkan seorang pekerja dikerjain.
Gejala Pekerja yang Dikerjain
Pertama, perusahaan/pengusaha mengerjain pekerjanya dengan seabrek peraturan. Peraturan memang penting selama itu dibutuhkan dan logis. Tetapi, peraturan yang terlalu banyak, sifatnya mengekang dan tidak logis hanya akan membosankan, kaku dan tidak membuat pekerja betah.
Beberapa perusahaan membuat peraturan yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan etos kerja, kreativitas dan produktivitas kerja. Lebih ironis lagi, peraturan itu diberlakukan dengan ancaman hukuman bagi yang tidak mau menaatinya. Misalnya, suatu perusahaan melarang para pekerjanya menggunakan jaket selain yang diberikan oleh perusahaan. Bila dilanggar maka pekerja akan diberi sanksi. Peraturan yang dibuat perusahaan itu sebenarnya tidak masuk akal. Apa hubungannya jaket dengan etos dan produktivitas kerja?.
Kedua adalah tentang upah kerja. Gaji yang tidak cukup dengan jam kerja yang normal membuat orang sering mengeluh ditengah meningkatnya biaya hidup. Alhasil, banyak orang yang memilih atau terpaksa lembur.
Dengan kerja lembur, pengusaha hanya mengeluarkan duit yang lebih sedikit bila dibandingkan harus memberi upah pokok yang besar. Bagi pengusaha, yang utama adalah bagaimana meraih keuntungan yang semakin besar dengan pengeluaran tetap atau berkurang.
Keuntungan lainnya, pengusaha mendapatkan jam kerja yang tinggi dari pekerja. Bagi pekerja selain upah lembur yang tidak seberapa, waktunya juga habis di tempat pekerjaan. Sehingga, tidak sedikit pekerja yang kelelahan, stress dan sakit karena tidak memiliki waktu untuk istirahat.
Orang suka lembur karena "miskin" dan orang tidak mau lembur karena sudah "kaya". Begitulah anekdot yang mungkin bisa menggambarkan kondisi sebagian besar pekerja di Indonesia, khususnya kelas menengah ke bawah. Malah yang tidak mau lembur dinilai tidak produktif dalam bekerja. Padahal, orang yang selalu lemburpun tidak juga produktif.
Produktivitas kerja tidak selalu berbanding lurus dengan tingginya jam kerja. Etos dan efektivitas kerja sering diabaikan. Prinsip perusahaan, para pekerja dituntut menghabiskan banyak waktu atau hidupnya dalam pekerjaan.
Ini tak ubahnya, manusia sebagai pekerja diekploitasi dan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk keuntungan perusahaan. Perusahaan yang demikian pasti tidak peduli bagaimana kondisi pekerja dan keluarganya. Ini adalah gambaran ketiga para pekerja juga dikerjain.
Budaya Kerja yang Tidak Sehat
Dunia kerja bisa menjadi dunia yang kejam. Hampir semua orang tahu bahwa tidak "cukup" menjadi orang pintar dan jujur agar karir bisa naik. Lingkungan dan budaya kerja cenderung menghargai orang yang menjilat atau cari muka.
Seringkali, karir orang jujur akan stagnan atau bahkan menurun karena dianggap sebagai pengganggu dalam sistem kerja yang penuh tipu daya. Orang yang ahli dalam pekerjaan bila ia tidak "pandai" menjilat, karirnya kemungkinan besar akan sulit menanjak.
Tidak mengejutkan bila banyak pemimpin atau atasan di perusahaan adalah orang yang tidak punya keahlian dan atau integritas. Karirnya naik sampai level pemimpin atau manajerial karena faktor kedekatan dengan atasannya. Karena iklim dunia kerja yang seperti itu, maka sikap saling menjatuhkan atau sikut menyikut antar pekerja sering terjadi.
Selain itu, budaya asal bos senang (ABS) sudah menjadi tradisi yang lumrah dalam dunia kerja. Apapun dilakukan pekerja- termasuk memanipulasi- untuk menyenangkan atasan. Data atau laporan yang buruk dipoles oleh pekerja agar disenangi oleh atasannya.
Atasan sangat suka bila bawahannya adalah tipe yes man. Tidak suka bila keputusannya dipertanyakan, dibantah atau dikritik oleh bawahan. Bila konsekuensi dari keputusan atasan berakibat buruk, biasanya atasan akan "cuci tangan" dan menjadikan bawahannya sebagai kambing hitam.
Sikap atasan yang lebih mementingkan hasil daripada proses telah menyuburkan budaya tersebut.
Dunia kerja adalah dunia yang tidak ideal. Kondisi tersebut telah membuat banyak orang terikat dan mengikat dirinya dalam pekerjaan. Ada yang begitu kecanduan bekerja sehingga mengabaikan kesehatan pribadi atau keluarganya.
Tidak sedikit juga yang terpaksa mengikuti alur dan budaya kerja yang menuntut seluruh waktu dan hidupnya untuk pekerjaan. Tetapi ada juga yang takut menjalani kerasnya dunia kerja, sehingga ia sering berpindah- pindah tempat pekerjaan.
Ini yang terkadang tidak dipahami oleh pemilik modal/pengusaha. Mereka sering menuntut pekerja untuk loyalitas kepadanya, padahal kapitalisme telah mengajari pekerja untuk loyal kepada uang.
Sikap permisif kita telah membuat kondisi diatas menjadi biasa dan tidak masalah. Satu sisi bisa dimaklumi, karena pekerja dalam posisi yang dilematis dan terpaksa dengan keadaan. Tetapi, ada juga yang menikmati kondisi yang seperti itu.
Bila merujuk dengan apa yang dikatakan oleh Antropolog David Graeber, bisa jadi, pekerja yang dikerjain sedang melakukan pekerjaan omong kosong atau bullshit job. Mengapa?. Karena, jika seseorang bekerja tetapi juga dikerjain, maka pekerjaan itu menjadi kurang bermakna atau berdampak.
Namun, bila anda adalah pekerja namun tidak dikerjain maka anda patut berbahagia dan jangan sia- siakan pekerjaan anda.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H