Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Chemical Engineer

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Perihal Pekerja, Bekerja Sekaligus Dikerjain

17 November 2020   05:28 Diperbarui: 17 November 2020   22:33 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerja pabrik. (Foto: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Memang harus diakui, persoalan di dunia kerja tidak sesederhana itu. Tetapi paling tidak, sebagai pekerja, kita bisa memiliki salah satu dari dua hal tersebut. Bila kita tidak memilikinya maka sesungguhnya kita adalah pekerja yang dikerjain. Setidaknya ada tiga gejala yang bisa menunjukkan seorang pekerja dikerjain.

Gejala Pekerja yang Dikerjain

Pertama, perusahaan/pengusaha mengerjain pekerjanya dengan seabrek peraturan. Peraturan memang penting selama itu dibutuhkan dan logis. Tetapi, peraturan yang terlalu banyak, sifatnya mengekang dan tidak logis hanya akan membosankan, kaku dan tidak membuat pekerja betah.

Beberapa perusahaan membuat peraturan yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan etos kerja, kreativitas dan produktivitas kerja. Lebih ironis lagi, peraturan itu diberlakukan dengan ancaman hukuman bagi yang tidak mau menaatinya. Misalnya, suatu perusahaan melarang para pekerjanya menggunakan jaket selain yang diberikan oleh perusahaan. Bila dilanggar maka pekerja akan diberi sanksi. Peraturan yang dibuat perusahaan itu sebenarnya tidak masuk akal. Apa hubungannya jaket dengan etos dan produktivitas kerja?.

Kedua adalah tentang upah kerja. Gaji yang tidak cukup dengan jam kerja yang normal membuat orang sering mengeluh ditengah meningkatnya biaya hidup. Alhasil, banyak orang yang memilih atau terpaksa lembur.

Dengan kerja lembur, pengusaha hanya mengeluarkan duit yang lebih sedikit bila dibandingkan harus memberi upah pokok yang besar. Bagi pengusaha, yang utama adalah bagaimana meraih keuntungan yang semakin besar dengan pengeluaran tetap atau berkurang.

Keuntungan lainnya, pengusaha mendapatkan jam kerja yang tinggi dari pekerja. Bagi pekerja selain upah lembur yang tidak seberapa, waktunya juga habis di tempat pekerjaan. Sehingga, tidak sedikit pekerja yang kelelahan, stress dan sakit karena tidak memiliki waktu untuk istirahat.

Orang suka lembur karena "miskin" dan orang tidak mau lembur karena sudah "kaya". Begitulah anekdot yang mungkin bisa menggambarkan kondisi sebagian besar pekerja di Indonesia, khususnya kelas menengah ke bawah. Malah yang tidak mau lembur dinilai tidak produktif dalam bekerja. Padahal, orang yang selalu lemburpun tidak juga produktif.

Produktivitas kerja tidak selalu berbanding lurus dengan tingginya jam kerja. Etos dan efektivitas kerja sering diabaikan. Prinsip perusahaan, para pekerja dituntut menghabiskan banyak waktu atau hidupnya dalam pekerjaan.

Ini tak ubahnya, manusia sebagai pekerja diekploitasi dan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk keuntungan perusahaan. Perusahaan yang demikian pasti tidak peduli bagaimana kondisi pekerja dan keluarganya. Ini adalah gambaran ketiga para pekerja juga dikerjain.

Budaya Kerja yang Tidak Sehat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun