Banyak yang berpendapat, anak muda adalah kelompok yang "idealis". Mereka dikatakan "idealis" karena identik dengan ide atau cita- cita untuk mengubah keadaan atau wajah dunia (idealisme).Â
Biasanya idealisme itu mereka peroleh dari proses kristalisasi ide atau pemikiran. Ide ini kemudian bertransformasi menjadi sikap hidup yang (seharusnya) mendorong mereka untuk mewujudkannya.
Salah satu pergerakan anak muda yang menjadi tonggak sejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah Sumpah Pemuda. Peristiwa yang terjadi tahun 1928 tersebut menjadi momentum sekelompok anak muda akan ide atau cita- cita berdirinya negara yang merdeka dan berdaulat, yaitu Indonesia.
Belum lama ini, sesaat setelah Omnibus Law Cipta Kerja disahkan, banyak kaum muda, khususnya mahasiswa dan pelajar turun ke jalan dan berdemonstrasi menolak undang- undang tersebut.
Ketika membaca berita tentang bagaimana perjuangan mereka dalam berdemonstrasi, tanpa mengurangi rasa hormat, terbesit pertanyaan dalam diri saya: apakah mereka melakukannya karena digerakkan oleh idealisme?
Saya yakin anda semua sudah tahu dan memahami makna idealisme. Dalam filsafat, inti dari idealisme adalah pikiran atau ide sebagai satu- satunya yang benar, nyata (realita).
Kata dasar dari idealisme sendiri adalah ide. Ide adalah pikiran, gagasan, cita- cita, atau angan- angan. Esensi dari idealisme adalah hidup yang sesuai dengan cita- cita atau berusaha mewujudkan cita- cita agar menjadi kenyataan.Â
Hidup sesuai idealisme sering dianggap sebagai hidup yang seharusnya atau "sempurna". Orang yang hidup sesuai ide atau cita- citanya. Apakah masih ada orang yang seperti itu?. Saya kira masih ada, namun semakin langka.Â
Dan menurut saya, idealisme sudah mengalami pergeseran makna. Idealisme anak muda di masa sekarang cenderung berpusat pada diri sendiri.
Sekarang ini, hidup yang berpusat pada diri sendiri adalah pemandangan yang lumrah. Misalnya, dalam mencari pekerjaan pertimbangan utama memilih pekerjaan adalah gaji, jenjang karir atau nama besar perusahaan ketimbang passion.
Di zaman sekarang orang yang memiliki idealisme atau bersikap idealis dianggap aneh dan kolot. Orang yang idealis dinilai sebagai orang tidak bisa menikmati hidup atau kaku.
Anak muda sekarang cenderung gamang melihat kondisi dunia saat ini. Banyak yang memilih pragmatis atau realistis daripada bersikap idealis. Begitu pula dengan anak muda yang semula punya idealisme juga perlahan- lahan menyerah dengan keadaan.
Candu Kemapanan
Apakah kita pernah bertanya, mengapa anak muda saat ini semakin jauh dari idealisme?. Saya mengamati persoalan ini sangat berkaitan erat dengan kemapanan.
Pada dasarnya, semua manusia ingin hidup mapan. Saya yakin, semua anak muda saat ini pasti menginginkan hidup yang sukses. Standar sukses yang ada didalam pikiran anak muda, pasti tidak jauh- jauh dari karir yang bagus, gaji besar, memiliki rumah, punya mobil atau gadget yang terbaru.
Bagi anak muda yang mengejar kemapanan, idealisme adalah semu. Pemikiran mereka didukung oleh kenyataan bahwa dunia bukanlah tempat yang ideal. Mereka sepenuhnya tidak keliru. Dunia ini memang tidak ideal, bukan?
Idealisme untuk mengubah keadaan atau dunia adalah sesuatu hal yang bersifat utopis. Kemapanan bisa membius anak muda untuk hidup demi dunianya sendiri. Banyak anak muda yang semakin permisif demi mengejar hidup mapan.
Berusaha hidup mapan bukanlah sesuatu hal yang salah sama sekali. Yang menjadi persoalan bukan boleh atau tidak mengejar kemapanan. Lebih dari itu yang patut diwaspadai adalah ketika kemapanan menjadi candu.
Kalau dulu Karl Marx pernah mengatakan agama adalah candu. Maka, tidak berlebihan bila saya katakan, kemapanan adalah candu bagi anak muda. Candu akan kemapanan inilah yang membuat anak muda lupa dengan idealismenya atau enggan memiliki idealisme.
Candu untuk hidup mapan bisa membuat anak muda terperangkap didalamnya. Semakin lama kita terperangkap semakin sulit membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Kalau sudah seperti itu, gaya hidup hedon tidak bisa dihindari. Membeli sesuatupun hanya demi aktualisasi diri.
Pernahkah kita menyadari bahwa anak muda adalah pasar utama nan penting bagi sistem kapitalisme?. Sistem kapitalisme yang semakin dominan ini tidak mengharapkan anak muda yang idealis seperti Greta Thunberg, misalnya.
Tokoh Anne-Morgan (diperankan oleh Eve Hewson), dalam film Tesla, 2020, bertanya kepada Nikola Tesla (diperankan Ethan Hawke) : idealisme tidak bisa berjalan seiring dengan kapitalisme. Benar atau salah?
Kalau saya sebagai Nikola Tesla, saya akan menjawab benar. Kapitalisme saat ini benar- benar menyetir keinginan anak muda.Â
Barang atau produk yang ada saat ini sebagian besar ditujukan untuk kalangan anak muda. Para produsen barang atau jasa sangat memahami keinginan anak muda, yaitu tidak ada yang lebih menarik selain mengikuti tren atau kekinian.
Pertarungan antara iPhone dan android pun sejatinya tentang kemapanan. Anak muda dihipnotis, kalau tidak punya gadget terbaru belum bisa dikatakan mapan. Prestise diukur dengan benda atau barang yang dimiliki atau dibeli. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau banyak anak muda yang begitu mudahnya berganti- ganti smartphone, padahal smartphone lama masih layak pakai.
Saya punya teman yang rela kerja lembur hanya demi membeli smartphone baru meski yang lama masih bagus. Bahkan ada teman saya yang lain sampai berhutang.Â
Ketika saya tanya mengapa harus beli smartphone baru, ia mengatakan kepada saya, smartphonenya yang akan dibelinya sangat cocok untuk menunjang hobi game onlinenya.
Kemapanan telah mengarahkan anak muda untuk bergaya hidup konsumtif. Manusia memang tidak pernah puas. Semakin kita mencari kepuasan dari dunia ini semakin kita tidak pernah merasa puas.
Kita sering mendengar istilah nikmatilah hidup selagi muda. Istilah itu cenderung dimaknai dengan agak keliru. Alih- alih mengelola gaji dengan baik, banyak anak muda yang menghabiskan uangnya untuk menikmati masa mudanya. Anak muda sekarang cenderung menghabiskan uangnya untuk belanja online.
Menikmati masa muda memang menyenangkan, apalagi kalau belum menikah. Tapi tunggu dulu. Apa benar anak muda sekarang menikmati masa mudanya?.
Baru-baru ini saya membaca laporan hasil survei Deloitte terhadap pekerja milenial dan generasi Z. Hasil survei itu menunjukkan 44 persen pekerja milenial dan 48 persen pekerja generasi Z mengalami gangguan mental, khususnya stres dan rasa cemas.
Dalam laporan Deloitte itu juga disebutkan meningkatnya gangguan mental pada pekerja milenial dan generasi Z disebabkan oleh masalah ekonomi, seperti kesejahteraan, kondisi keuangan dan prospek karir.
Selain itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan rata- rata penghasilan pekerja milenial di Indonesia sekitar 2 juta rupiah
Setelah membaca laporan Deloitte dan data BPS tersebut, saya menyimpulkan: ternyata mengejar kemapanan tidak bisa membuat anak muda menikmati hidup. Celakanya lagi, banyak anak muda yang mengabaikan kesehatan mentalnya.
Bagi saya ini masalah yang serius. Anak muda adalah harapan bangsa. Jika anak muda saat ini sudah candu kemapanan yang mengakibatkan tiadanya idealisme, siapa lagi yang akan menjadi agen perubahan?.
Setiap pemuda memang sudah seharusnya memiliki idealisme. Â Seperti kata Tan Malaka: idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda.Â
Idealisme yang dimiliki setiap anak muda akan memberi warna dan makna dalam kehidupan. Implikasinya, ketika bekerja tidak hanya sekedar bekerja. Hidup tidak hanya sekedar hidup.
Selain itu, setiap anak muda mesti mengenali perangkap kemapanan. Hedon, konsumtif atau aktualisasi diri adalah perangkap yang sering tidak disadari. Ini bisa tidak disadari kalau sudah kecanduan untuk hidup mapan. Untuk itu perlu belajar hidup sederhana dan puas dengan apa yang dimiliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H