Siapapun, - tanpa melihat status sosial, tingkat pendidikan dan agama-, sangat memungkinkan untuk terlibat dalam kekerasan seksual, entah itu menjadi korban atau pelaku. Bila ada anggapan yang menyatakan kekerasan seksual mustahil terjadi di lingkungan akademis dan tempat ibadah, bisa dipastikan anggapan itu sangat keliru. Kasus pelecehan seksual yang melibatkan dosen dan mahasiswa juga pernah terjadi. Seperti kasus yang terjadi di Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga dan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Selain itu, skandal pelecehan seksual juga terjadi di salah satu gereja katolik dan pondok pesantren. Artinya, tingkat pendidikan dan kadar religius seseorang tidak berkorelasi dengan perilaku pelecehan seksual.
Kasus pelecehan seksual yang terjadi di institusi pendidikan dan keagamaan adalah pelajaran yang berharga bagi kita semua. Kita jangan tertipu dengan penampilan seseorang yang alim, rajin beribadah dan berpendidikan. Penampilan seperti itu bisa dipakai sebagai topeng untuk menutupi perilaku menyimpang seperti pelecehan seksual.
Keluarga adalah Kuncinya
Manusia adalah makhluk seksual. Namun, ada yang membedakan antara yang melakukan kekerasan seksual dengan yang tidak. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan. Akan tetapi satu hal yang pasti, yaitu seseorang melakukan kekerasan seksual karena hasrat seksualnya telah bermanifestasi menjadi hawa nafsu. Hal ini sangat mungkin terjadi karena tidak adanya pengendalian diri. Pelaku kekerasan seksual membiarkan dirinya dikuasai oleh hawa nafsu. Tidak adanya self control atau pengendalian diri dikarenakan tidak atau belum mendapatkan edukasi yang benar tentang seks. Bisa jadi mereka mendapatkan informasi tentang seks dengan cara yang salah dan dari sumber yang menyesatkan. Ini sangat memungkinkan bila keluarganya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Pendidikan seks masih sangat tabu dan hampir tidak pernah dibahas bagi sebagian besar keluarga di Indonesia. Orang tua enggan membahas pendidikan seks dengan anaknya. Salah satu penyebabnya adalah minimnya pengetahuan orang tua tentang seks. Dan ini merupakan warisan dari generasi sebelumnya. Pola asuh seperti ini diwariskan turun temurun sehingga rantai kekerasan seksual menjadi sulit diputuskan. Padahal, setiap anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, termasuk soal seks. Pertanyaan atas rasa ingin tahu mereka sering tidak diladeni oleh orang tuanya. Karena tidak mendapatkan jawaban, mereka terdorong untuk mencari jawaban dari luar. Kita tahu dunia luar bisa menyesatkan, apalagi bagi anak- anak yang labil dan sedang mengalami masa pubertas. Akibatnya, nilai- nilai seks yang murni mengalami penyimpangan makna dan kehilangan esensi. Kalau itu terus berlangsung secara mendalam, suatu saat sangat memungkinkan ia akan melakukan kekerasan seksual.
Joshua Harris pernah mengatakan bukan seks yang salah, tetapi hawa nafsu. Musuh besar seksualitas kita adalah hawa nafsu. Dan hal kedua yang tak kalah pentingnya adalah perempuan bukanlah objek untuk memenuhi hasrat seksual. Kekerasan seksual selalu berawal dari dua hal tersebut.
Perempuan diciptakan setara dengan laki- laki. Adanya perbedaan antara perempuan dan laki- laki harus dimaknai dalam rangka untuk saling melengkapi, bukan untuk merendahkan apalagi melecehkan. Oleh karena itu, ucapan dan perilaku yang misogini sangat tidak patut. Pola pikir dan perilaku yang merendahkan perempuan sudah seharusnya tidak mendapat tempat. Dan itu harus dimulai dari keluarga.
Undang- undang, peraturan ataupun sejenisnya memang perlu dan penting. Tetapi, itu tidak menyentuh akar permasalahan dari kekerasan seksual. Pola pikir dan sikap manusia tidak bisa diubah hanya dengan undang-undang dan peraturan. Yang paling efektif adalah keluarga. Keluarga seharusnya menjadi tempat utama pendidikan seks diajarkan dengan benar. Nilai- nilai sakral dari seks harus ditanam sejak dini kepada anak- anak. Hanya saja, masalah terbesarnya adalah kita munafik. Kita menganggap edukasi tentang seks hukumnya haram apalagi untuk anak atau remaja. Pendidikan seks diajarkan dengan benar kepada anak- anak agar menumbuhkan kesadaran dan pola pikir yang benar tentang seks, bukan untuk membuat mereka cepat dewasa atau menjerumuskan mereka ke dalam pergaulan bebas.
Tidak hanya pendidikan seks, keluarga juga seharusnya menjadi tempat yang efektif dan ampuh untuk belajar bagaimana seharusnya memperlakukan perempuan. Dua hal ini bisa memutus rantai kekerasan seksual terhadap perempuan. Bila konsep dan nilai seks sudah tertanam dalam diri anak- anak serta mampu menghormati perempuan dilingkungan keluarga sejak dini, maka ketika ia berada diluar, ia tidak akan mudah terpengaruh dengan dunia luar yang penuh dengan penyimpangan.
Mengapa keluarga adalah kunci untuk memutus rantai kekerasan seksual terhadap perempuan?. Setidaknya ada dua alasannya. Pertama, lebih mudah membentuk dan mengubah anak- anak daripada orang dewasa, sehingga tindakan kekerasan seksual bisa dihindari. Kedua, kualitas keluarga adalah wajah masa depan bangsa. Ini merupakan investasi jangka panjang agar Indonesia menjadi rumah yang ramah terhadap perempuan. Memutus rantai kekerasan seksual terhadap perempuan memang tidak mudah, apalagi budaya patriarki yang mengakar kuat dalam budaya Indonesia. Disinilah, peran negara sangat vital dan dibutuhkan, yaitu membentuk tatanan sosial dan kultur yang ramah terhadap perempuan.
Terakhir, pernahkah kita bertanya dan merenungkan, mengapa perempuan diciptakan Tuhan dari tulang rusuk laki- laki?. Karena, perempuan untuk dicintai bukan dimanfaatkan, untuk dilindungi bukan dilecehkan. Bila semua manusia memiliki mindset dan sikap yang demikian, maka perempuan akan aman disetiap ruang dan waktu.