Dari laman Kompas, tanggal 16 Oktober yang lalu, diberitakan bahwa Kapolri dan Kapolres Sikka digugat oleh keluarga korban EDJ dengan dibantu oleh 13 advokat. EDJ merupakan korban pemerkosaan yang terjadi 4 tahun silam.
Berita- berita tentang kekerasan seksual terhadap perempuan kerap menghiasi media di tanah air. Yang lebih memprihatinkan lagi, banyak penanganan kasus kekerasan seksual tidak tuntas dan korban sering mengalami ketidakadilan.
Sejarah umat manusia mencatat bahwa perempuan sering dianggap lebih rendah dibandingkan laki- laki. Perempuan kerap diperlakukan sebagai kelompok kelas dua. Perlakuan yang diskriminatif terhadap perempuan masih terus terjadi, meskipun peradaban sudah maju seperti di era digital sekarang ini. Saat ini kekerasan seksual sudah biasa terjadi melalui internet atau biasa disebut kekerasan gender berbasis online (KGBO). Dewasa ini, perempuan kerap dilecehkan di media sosial. Mereka sering menerima stigma dan ucapan yang negatif dari netizen. Contohnya seperti akun media sosial Najwa Shihab yang mendapat komentar bernada merendahkan perempuan setelah acara talkshownya Menanti Terawan.
Diskriminasi terhadap perempuan sering membuat perempuan hanya dianggap sebagai objek. Hal ini mengakibatkan perempuan tidak merdeka atas dirinya sendiri. Standar kecantikan yang semu telah menghipnotis banyak perempuan untuk tidak lagi menerima diri apa adanya. Bahkan, kapitalisme telah mendikte tubuh perempuan sebagai objek komersial. Perempuan dengan keindahannya telah dieksploitasi sedemikian rupa sebagai pemikat dan penggoda. Sistem yang menjadikan perempuan sebagai objek eksploitasi turut mendorong maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan.
Kesalahan Perempuan?
Pada tahun 2018, Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) melaporkan, sebanyak 64% perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Jumlah kasus pelecehan seksual terhadap perempuan menunjukkan tren yang terus meningkat setiap tahunnya. Para predator seksual terus menghantui perempuan. Mereka melakukan kekerasan dan pelecehan seksual secara terbuka, bisa dimana saja dan kapan saja. Bukan hanya di ruang publik, lingkungan sekitar rumah dan dalam rumah sendiripun sudah menjadi ruang yang tidak aman bagi beberapa perempuan. Kasus pemerkosaan yang terjadi di Bintaro beberapa waktu yang lalu, menunjukkan bukti bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di rumah korban pada pagi hari. Bukan hanya itu, tidak sedikit kekerasan seksual terjadi dalam keluarga itu sendiri. Ayah yang memperkosa anak perempuannya dan saudara laki- laki yang melecehkan adik perempuannya adalah kasus yang cukup sering terjadi.
Perilaku kekerasan seksual ini sangat tidak manusiawi. Pelaku telah dikendalikan oleh hawa nafsunya. Pelaku dengan seenaknya melampiaskan nafsu seksualnya kepada orang lain dengan paksaan. Perilaku ini telah membuat korban terluka secara fisik, mental dan psikis. Trauma akibat kekerasan seksual yang dialami korban sangat mendalam dan proses pemulihannya tidaklah mudah dan cepat. Luka dan trauma yang korban dapatkan semakin bertambah dengan stigma buruk dari orang lain yang justru menyalahkan korban atas pelecehan yang dialaminya.
Perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual kerap disalahkan karena dinilai berpakaian seksi/terbuka, berpergian sendiri tanpa teman, dan "keluyuran" pada malam hari. Penilaian yang disematkan kepada korban jelas keliru dan ngawur. Ini bisa dibuktikan dengan hasil survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA). Hasil survei KRPA menunjukkan kasus pelecehan seksual banyak terjadi di siang hari (35%) dan sore hari (25%). Waktu terjadinya pelecehan seksual pada malam hari hanya sekitar 21%.Â
Persentase korban yang mengenakan pakaian longgar juga hanya 14%. Selebihnya, korban justru mengenakan pakaian yang wajar, seperti rok dan celana panjang (18%), hijab (17%) dan baju lengan panjang (16%). Lokasi terjadinya pelecehan seksual juga banyak terjadi di tempat keramaian, seperti jalanan umum (33%), transportasi umum (19%) dan sekolah (15%). Artinya, pelecehan seksual yang dialami perempuan bukan disebabkan oleh perempuan itu sendiri.
Tanpa bermaksud mendikreditkan laki- laki, kita harus akui kebanyakan pelaku kekerasan seksual adalah laki- laki. Tetapi, persoalan yang lebih penting dari kekerasan seksual terhadap perempuan bukanlah siapa pelakunya. Bukan juga karena laki- laki lebih seirng memikirkan seks daripada perempuan, atau karena perempuan lebih mampu mengontrol dirinya daripada laki- laki. Bukan itu. Semua hal itu tidak bisa dijadikan pembelaan dan pembenaran atas kekerasan seksual.
Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah mengapa kekerasan seksual terhadap perempuan sering terjadi?. Dan mengapa sulit sekali memutus rantai kekerasan seksual?.
Siapapun, - tanpa melihat status sosial, tingkat pendidikan dan agama-, sangat memungkinkan untuk terlibat dalam kekerasan seksual, entah itu menjadi korban atau pelaku. Bila ada anggapan yang menyatakan kekerasan seksual mustahil terjadi di lingkungan akademis dan tempat ibadah, bisa dipastikan anggapan itu sangat keliru. Kasus pelecehan seksual yang melibatkan dosen dan mahasiswa juga pernah terjadi. Seperti kasus yang terjadi di Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga dan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Selain itu, skandal pelecehan seksual juga terjadi di salah satu gereja katolik dan pondok pesantren. Artinya, tingkat pendidikan dan kadar religius seseorang tidak berkorelasi dengan perilaku pelecehan seksual.
Kasus pelecehan seksual yang terjadi di institusi pendidikan dan keagamaan adalah pelajaran yang berharga bagi kita semua. Kita jangan tertipu dengan penampilan seseorang yang alim, rajin beribadah dan berpendidikan. Penampilan seperti itu bisa dipakai sebagai topeng untuk menutupi perilaku menyimpang seperti pelecehan seksual.
Keluarga adalah Kuncinya
Manusia adalah makhluk seksual. Namun, ada yang membedakan antara yang melakukan kekerasan seksual dengan yang tidak. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan. Akan tetapi satu hal yang pasti, yaitu seseorang melakukan kekerasan seksual karena hasrat seksualnya telah bermanifestasi menjadi hawa nafsu. Hal ini sangat mungkin terjadi karena tidak adanya pengendalian diri. Pelaku kekerasan seksual membiarkan dirinya dikuasai oleh hawa nafsu. Tidak adanya self control atau pengendalian diri dikarenakan tidak atau belum mendapatkan edukasi yang benar tentang seks. Bisa jadi mereka mendapatkan informasi tentang seks dengan cara yang salah dan dari sumber yang menyesatkan. Ini sangat memungkinkan bila keluarganya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Pendidikan seks masih sangat tabu dan hampir tidak pernah dibahas bagi sebagian besar keluarga di Indonesia. Orang tua enggan membahas pendidikan seks dengan anaknya. Salah satu penyebabnya adalah minimnya pengetahuan orang tua tentang seks. Dan ini merupakan warisan dari generasi sebelumnya. Pola asuh seperti ini diwariskan turun temurun sehingga rantai kekerasan seksual menjadi sulit diputuskan. Padahal, setiap anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, termasuk soal seks. Pertanyaan atas rasa ingin tahu mereka sering tidak diladeni oleh orang tuanya. Karena tidak mendapatkan jawaban, mereka terdorong untuk mencari jawaban dari luar. Kita tahu dunia luar bisa menyesatkan, apalagi bagi anak- anak yang labil dan sedang mengalami masa pubertas. Akibatnya, nilai- nilai seks yang murni mengalami penyimpangan makna dan kehilangan esensi. Kalau itu terus berlangsung secara mendalam, suatu saat sangat memungkinkan ia akan melakukan kekerasan seksual.
Joshua Harris pernah mengatakan bukan seks yang salah, tetapi hawa nafsu. Musuh besar seksualitas kita adalah hawa nafsu. Dan hal kedua yang tak kalah pentingnya adalah perempuan bukanlah objek untuk memenuhi hasrat seksual. Kekerasan seksual selalu berawal dari dua hal tersebut.
Perempuan diciptakan setara dengan laki- laki. Adanya perbedaan antara perempuan dan laki- laki harus dimaknai dalam rangka untuk saling melengkapi, bukan untuk merendahkan apalagi melecehkan. Oleh karena itu, ucapan dan perilaku yang misogini sangat tidak patut. Pola pikir dan perilaku yang merendahkan perempuan sudah seharusnya tidak mendapat tempat. Dan itu harus dimulai dari keluarga.
Undang- undang, peraturan ataupun sejenisnya memang perlu dan penting. Tetapi, itu tidak menyentuh akar permasalahan dari kekerasan seksual. Pola pikir dan sikap manusia tidak bisa diubah hanya dengan undang-undang dan peraturan. Yang paling efektif adalah keluarga. Keluarga seharusnya menjadi tempat utama pendidikan seks diajarkan dengan benar. Nilai- nilai sakral dari seks harus ditanam sejak dini kepada anak- anak. Hanya saja, masalah terbesarnya adalah kita munafik. Kita menganggap edukasi tentang seks hukumnya haram apalagi untuk anak atau remaja. Pendidikan seks diajarkan dengan benar kepada anak- anak agar menumbuhkan kesadaran dan pola pikir yang benar tentang seks, bukan untuk membuat mereka cepat dewasa atau menjerumuskan mereka ke dalam pergaulan bebas.
Tidak hanya pendidikan seks, keluarga juga seharusnya menjadi tempat yang efektif dan ampuh untuk belajar bagaimana seharusnya memperlakukan perempuan. Dua hal ini bisa memutus rantai kekerasan seksual terhadap perempuan. Bila konsep dan nilai seks sudah tertanam dalam diri anak- anak serta mampu menghormati perempuan dilingkungan keluarga sejak dini, maka ketika ia berada diluar, ia tidak akan mudah terpengaruh dengan dunia luar yang penuh dengan penyimpangan.
Mengapa keluarga adalah kunci untuk memutus rantai kekerasan seksual terhadap perempuan?. Setidaknya ada dua alasannya. Pertama, lebih mudah membentuk dan mengubah anak- anak daripada orang dewasa, sehingga tindakan kekerasan seksual bisa dihindari. Kedua, kualitas keluarga adalah wajah masa depan bangsa. Ini merupakan investasi jangka panjang agar Indonesia menjadi rumah yang ramah terhadap perempuan. Memutus rantai kekerasan seksual terhadap perempuan memang tidak mudah, apalagi budaya patriarki yang mengakar kuat dalam budaya Indonesia. Disinilah, peran negara sangat vital dan dibutuhkan, yaitu membentuk tatanan sosial dan kultur yang ramah terhadap perempuan.
Terakhir, pernahkah kita bertanya dan merenungkan, mengapa perempuan diciptakan Tuhan dari tulang rusuk laki- laki?. Karena, perempuan untuk dicintai bukan dimanfaatkan, untuk dilindungi bukan dilecehkan. Bila semua manusia memiliki mindset dan sikap yang demikian, maka perempuan akan aman disetiap ruang dan waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H