Coba kita perhatikan yang pernah viral di jagat maya, kebanyakan yang menjadi topik hangat dan populer adalah sesuatu hal yang tidak bermutu. Kebanyakan orang lebih suka mengikuti isu kebangkitan komunis daripada informasi tentang siapa- siapa saja yang mendapatkan hadiah nobel tahun ini.
Di negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, media sosial adalah saluran yang populer untuk bersuara. Media sosial bisa menjadi wadah untuk pertarungan ide dan perdebatan yang sehat dan konstruktif. Tetapi, sayangnya masih banyak diantara kita yang mudah sekali kehilangan akal sehat dalam menyikapi perbedaan.
Matinya akal sehat telah menjadikan media sosial sebagai lahan subur perilaku ad hominem. Pendapat dan argumen orang lain dibalas dengan menghujat pribadinya. Kritik dari orang lain dibalas dengan memberikan stigma buruk.
Di media sosial, kita sering ribut dan gaduh oleh karena sesuatu hal yang receh. Akibatnya, persatuan bangsa menjadi rusak oleh karena diskursus yang tidak bermutu. Tidak hanya itu, akun media sosial yang kritis dan berbeda ide atau ideologi, begitu mudahnya dibungkam, diteror dan diretas.
Di era paska kebenaran atau post truth batasan antara benar dan salah menjadi bias dan abu-abu. Barangkali, hal ini disebabkan karena sebagian besar warganet menjadikan media sosial sebagai sumber kebenaran.
Meskipun disinformasi dan kebohongan banyak tersebar di media sosial, kita masih saja terjebak didalamnya. Di masa kini, semua orang memiliki “kebenaran” versinya masing- masing.
“Kebenaran” itu sekadar dipamerkan di media sosial tetapi tidak dihidupi. Celakanya “kebenaran” yang diyakini (meskipun keliru) dijadikan sebagai standar moral untuk menghakimi orang lain di media sosial.
Eksistensi atau Esensi?
Sayangnya, manusia sering kebablasan dan tidak lagi memiliki prinsip. Artinya, ketika bermedia sosial, kita sering kehilangan etika dan moral untuk diri sendiri.
Meminjam teori evolusinya Charles Darwin, manusia berevolusi hanya untuk survive dan eksis. Ukuran dan nilai eksistensi dalam bermedia sosial di masa sekarang juga sangat dangkal.