Pastinya, visi adalah agenda pemimpin, bukan agenda staf. Dengan demikian, menjadi aneh jika ada suatu nasehat bahwa untuk merumuskan visi perlu dibentuk sebuah "Tim Visi" yang diberi mandat merumuskan visi organisasi. Ini adalah fakta yang banyak terjadi pada banyak organisasi di Indonesia, khususnya organisasi publik dan kemasyarakatan yang nirlaba.
Model perumusan visi oleh suatu tim pada hemat saya adalah sebuah bentuk tidak-dimengertinya makna the basic meaning of leadership accontability, karena akuntabilitas utama dan pertama dari pemimpin adalah menetapkan visi. Jadi, tugas merumuskan visi adalah tugas pemimpin, bukan tugas sekelompok orang yang diberi mandat untuk merumuskan visi. Mengapa? Karena pemimpin dipilih dengan pertimbangan ia mempunyai visi yang terbaik di antara para kandidat yang lain.
Alangkah tidak sesuainya, seseorang ditunjuk menjadi pemimpin tetapi tidak mampu merumuskan visi akan dibawa ke mana organisasi yang dipercayakan kepadanya. Mengapa hal ini menjadi penting? Dari pengalaman, begitu banyak organisasi, terutama organisasi publik dan nirlaba, begitu memasuki era kepemimpinan baru, maka dibentuk Tim Perumus Visi (dan Misi).
Sebuah pemberian tanggungjawab yang tidak pada tempatnya. Memang, organisasi dapat saja membentuk tim perumus Visi, tetapi tim ini dipimpin oleh "CEO"nya. Jika di Departemen atau Kementerian dipimpin oleh Menteri --bukan pejabat eselon I apalagi eselon II atau III. Jika di Partai, maka dipimpin oleh Ketua Partai. Jika di perusahaan, oleh Direktur Utama. Tugas tim adalah memilihkan kata yang sesuai dengan visi yang digagas CEO. Visi sendiri adalah tanggung jawab dari Top Leader.
Benang Merah
Paparan pemikiran manajemen strategis di awal dan pemahaman lanjutan digambarkan sebagai berikut. Yang pertama adalah misi, karena merupakan raison d'etre dari keberadaan suatu organisasi. Pada setiap kurun waktu, organisasi dipimpin oleh seorang pemimpin. Pemimpin ini hadir membawa leadership's vision untuk membimbing organisasi mencapai misinya --agar mission accomplished. Ketercapaian misi organisasi pada kenyataannya tidak mempunyai batas-batas, baik batas "waktu" maupun batas "keberhasilan".
Makna suatu "keberhasilan" sangat cepat lekang oleh waktu sehingga organisasi senantiasa mengembangkan misinya. Contoh, organisasi Republik Indonesia Indonesia mempunyai misi untuk menyejahteraan rakyatnya. Makna dan kualitas kesejahteraan pada tahun 1945 berbeda dengan di tahun 1965, 1995, dan 2005. Contoh lain, perusahaan otomotif mempunyai misi menguasai 20% pasar otomotif. Pada saat populasi manusia hanya 100, maka pangsa pasar itu berjumlah 20. Namun, ketika populasi menjadi 1.000.000, maka pangsa pasar itu menjadi 200.000.
Setelah misi, visi, maka kemudian dirumuskan strategi, yang selajutnya diturunkan menjadi kebijakan, selanjutnya menjadi program-program kerja, diteruskan menjadi proyek-proyek, kemudian kegiatan-kegiatan yang menghasilkan produk. Produk inilah yang merupakan "kinerja", yang merupakan materialisasi dari visi pemimpin dalam merealisasikan misi organisasi.
Masalah yang penting menjadi perhatian adalah, bahwa visi adalah domain dari setiap leader. Sayang, pada banyak buku teks yang dipergunakan pada organisasi publik, visi dirumuskan oleh sebuah tim perumus visi. VISI DIRUMUSKAN OLEH PEMIMPIN. Mengapa? Karena, PEMIMPIN DIPILIH KARENA MEMPUNYAI VISI YANG TERPILIH akan ke mana organisasi dibawa.
Yang menjadi masalah, perumusan visi seperti pola yang sekarang berubah menjadi sebuah KESEPATAKAN DI ANTARA PARA ANGGOTA ORGANISASI. Kalau sudah seperti itu, maka PEMIMPIN TADI BUKAN LAGI PEMIMPIN. Ia hanya sekedar KOORDINATOR. Model ini juga dipergunakan pada lembaga-lembaga yang tidak menganut seorang pimpinan tunggal tetapi pimpinan kolektif. Pada sistem politik, pola ini dilakukan pada organisasi polit-biro di Soviet pada era komunisme. Pola ini juga diikuti antara lain pada lembaga gereja beraliran manajemen presbitarian di mana, pimpinannya adalah sebuah kolektivitas atau komune atau kelompok yang diangkat sebagai kongregasi dari warga gereja --biasanya disebut sebagai "Majelis" atau "Majelis Agung".
Jadi untuk organisasi publik yang dipimpin oleh seorang top executive, seperti Presiden di tingkat Pemerintahan, Menteri di tingkat Departemen dan Kementerian, Kepala untuk Badan atau Lembaga Pemerintah non Departemen/Kementerian, Gubernur di tingkat Propinsi, Bupati di tingkat Kapubaten dan Walikota di tingkat Kota. Untuk organisasi seperti ini, seseorang ditunjuk atau dipercaya menjadi pemimpin harus membawa visi. Nasihat mengatakan without vision people shall perished.