Sayasentris
8 May 2014 at 23:35
Acap kali melihat pengalaman hidup orang lain lalu membandingkannya dengan pengalaman diri sendiri. Tentunya kondisi yang menyertai, pun melatarbelakangi, berbeda. Kalaupun mirip, jarang bisa sama persis. Namun ada satu garis yang sama dan tidak dapat dipungkiri. Tercetak jelas, ada sebuah alur yang tak nampak jika hanya mengambil setiap adegan kehidupan sepotong-sepotong.
Sayasentris - point of view
Memang, paling mudah bercermin dari pengalaman sendiri. Daripada mengambil pengalaman hidup orang lain tapi salah memaknai, tentunya. Bagi saya, pengalaman pribadi bisa dikatakan gudangnya pelajaran hidup bagi diri sendiri, juga bagi banyak hal (artinya tidak hanya orang) di sekitar saya. Tak jarang ketika bicara dengan orang lain, mencoba untuk berbagi, lalu mengambil contoh dari pengalaman pribadi, justru orang lain dengan semangat gertak yang tinggi langsung menghakimi bahwa pengalaman setiap orang berbeda-beda, jangan disamakan, lalu tersinggung karena menganggap saya menyamaratakan semua orang dengan diri saya. Tunggu dulu, dong. Coba dikaji. Masa, sih? Apakah dalam hal ini saya membela diri? Memang iya. Lha wong konteksnya bercermin dari pengalaman pribadi, kok.
Sayasentris - selfie mirror
Bercermin pada diri sendiri melalui pengalaman pribadi. Egoiskah? Menurut saya: tidak. Sekalipun pengalaman itu bersifat pribadi, berpusat pada apa yang saya alami sendiri, bukan berarti pengalaman itu murni saya alami sendiri. Ada banyak pengalaman pribadi yang ketika itu terjadi melibatkan orang lain. Bahkan banyak orang lain. Bisa jadi bukan hanya orang yang terlibat. Ada lingkungan yang terdiri dari berbagai makhluk hidup dan mati beserta aneka kondisi yang menyertai. Apalagi, jika pengalaman pribadi itu telah membuat saya mampu belajar mengenai 1-2 atau bahkan banyak hal yang kemudian mengubah hidup saya dari waktu ke waktu. Dari setiap pengalaman pribadi saya belajar menjadi saya yang setelahnya, yang hari ini, yang besok dan besoknya. Pengalaman pribadi adalah cermin yang membuat saya mengenali siapa saya, sedikit demi sedikit, tentu dari sisi dan cara pandang saya sendiri. Akan menjadi egois apabila saya kemudian hanya mendasarkan hidup saya pada pengalaman sendiri, tutup mata, hati, telinga, dan pikiran atas masukan orang lain.
Sayasentris - the lift of my life
Dengan bercermin pada pengalaman-pengalaman pribadi, saya mencoba menyemangati hidup. Jika ada yang bilang bahwa hidup itu susah, ya ada benarnya. Kadang memang saya merasakan betapa berat dan susah menjalani hidup. Hidup sebagai diri sendiri, bagian dari keluarga, bagian dari komunitas, bagian dari lingkungan yang besar, dan bukan bagian dari apa-apa alias sebagai seorang asing, baik bagi diri sendiri maupun orang/komunitas lain. Baru ditulis begitu saja saya sudah kembali bersepakat dengan kata-kata orang: "Hidup itu udah berat, jangan dibikin tambah berat" atau "Hidup itu udah susah, jangan dibikin tambah susah!". Yo ada benarnya, sih. Makanya, saya juga sepakat dengan orang yang bilang: "Hidup itu cuma sekali. Jangan dibikin susah. Jangan disia-sia!". Namun, saya juga sepakat dengan pendapat bahwa hidup adalah anugerah, mengapa harus dibikin susah? Masalahnya, ada banyak hal yang saya alami justru membuat saya memandang hidup sebagai anugerah yang gampang susah-susah. Di sinilah saya terbantu dengan pengalaman pribadi. Justru saya mendapatkan semangat untuk menjalani hidup gara-gara pengalaman pribadi yang banyak susah daripada senangnya, banyak sukar daripada gampangnya. Jujur saja, saya masih harus banyak belajar menyaring dan menyimpulkan pelajaran-pelajaran hidup yang kadang terlewat begitu saja dari setiap pengalaman pribadi saya. Namun saya tahu pasti, setiap pengalaman yang mengisahkan saya jatuh, membawa saya pada pengalaman yang mengisahkan saya bangkit. Dan inilah yang jadi penyemangat hidup saya. Kalau dulu saya bisa, sekarang pasti bisa. Kan dulu sudah pernah jatuh. Masa sekarang nggak bisa bangkit, sih? Fight, dong! Jangan lembek. Yah, kira-kira begitulah kalau saya menyemangati diri sendiri.
Sayasentris - the story of my life
Pengalaman-pengalaman pribadi membuat saya mengerti bahwa saya punya kisah. Saya hidup. Dan saya punya cerita untuk diri saya, untuk hidup saya. Ada senang, sedih, lucu, wagu, aneh, unik, datar, garing, nyebelin, memuaskan, mengecewakan, dan sebagainya. Saya melihat setiap adegan dalam hidup saya bak rol film yang terus diputar dengan kedua mata saya tak berhenti menatap, kedua kaki saya berpijak dalam setiap kisah, dan hati juga pikiran saya seakan berhenti sesaat melihat apa yang sudah saya alami sendiri. Luar biasa. Ternyata saya aktris dalam sinetron kehidupan saya sendiri. Kadang semua itu membuat saya berpikir, 'Sialan. Siapa sutradara di balik semua ini? Nggak lihat apa, saya nangis-nangis begitu?' sementara saya sendiri sadar, siapa penulis naskah, kameramen, sekaligus produser dari reality-show hidup saya. Saya kadang kagum dengan kisah hidup saya. Bisa juga ya saya hebat, bisa begini dan begitu, mencapai ini-itu. Tapi kadang saya juga merasa miris, kok kisah hidup saya gitu-gitu amat. Terlebih saat saya 'down', merasa kacau atau berada dalam titik terendah dalam hidup saya. Ada banyak yang saya rasakan. Kemarahan saya pada keadaan, bahkan kepada Tuhan. Kekesalan saya pada diri sendiri juga kepada orang-orang lain yang saya anggap ikut andil membuat saya 'menderita', baik dalam arti kiasan maupun arti sebenarnya. Pokoknya, pengalaman pribadi itu rol film kisah hidup saya, deh, yang nggak semua orang bisa tahu detailnya atau kejadian sesungguhnya.
Sayasentris - a step of amongs
Bicara soal sayasentris, saya dengan tegas menyatakan bahwa sayasentris ini bukan lifestyle (gaya hidup). Malah bahaya kalau sayasentris menjadi gaya hidup saya. Ngeri, ah. Jangan sampai. Sayasentris itu perlu, tapi bukan segala-galanya. Kalau saya tidak mau sayasentris dan terus-menerus manut, mendengarkan perkataan dan pendapat orang lain, lalu 'disetir' orang lain, kapan saya bisa mandiri dan belajar bertanggung jawab terhadap hidup saya dan orang-orang serta berbagai hal di sekitar saya? Kapan saya Pe-De? Kapan saya tahu waktu yang tepat untuk bertindak dan bagaimana mengambil tindakan untuk melanjutkan hidup? Hidup di sini bukannya terbatas pada diri sendiri, melainkan hidup dalam arti yang sesungguhnya, hidup yang terasa indah ketika bisa saling berbagi, terlepas dari susah dan mudah untuk dijalani. Dengan belajar dari pengalaman-pengalaman pribadi, saya telah mengambil satu langkah dari diri sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih. Tentunya, harapan saya, saya jadi pribadi yang lebih baik pada kemudian hari. Selebihnya, saya bisa belajar dari pengalaman dan petuah orang lain. Dan mungkin dari lebih banyak sumber pelajaran hidup lainnya.
Wow, lega juga. Akhirnya saya bisa menuangkan apa yang ada dalam pemikiran saya. Semoga tulisan ini (yang juga menjadi bagian dari sayasentris saya) bisa terus mengingatkan saya dan siapapun yang sempat membaca, bahwa perubahan kadang perlu dimulai dari diri sendiri sebelum menuntut supaya apa dan/atau siapa di luar kita berubah seperti yang kita harapkan. Sebab, siapa tahu, seorang 'saya' bisa membawa perubahan yang lebih baik bagi hidup yang indah dan gampang-gampang susah, pun gampang susah-susah ini.
Mari menjadi pribadi yang lebih baik. Terus semangat. Tuhan memberkati Anda.
Flo | 8 Mei 2014 | Yk.sdrm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H