Keesokan harinya, saya ingin mengulangi hal yang sama. Tapi kali ini suasana hati sedikit berbeda dengan sebelumnya. Kali ini ada sedikit kesombongan atas pemberianNya kemaren. Ada hasrat dan ambisi besar untuk dapat kembali menikmati subuh bersama Rasul. Apa yang terjadi justru kebalikannya. Melintas di depan makamnya pun tak dapat karena pintu ditutup, jalan ditutup, antrian panjang dan sebagainya. Akhirnya selepas subuh hanya dapat mengucapkan salam dari kejauhan.
Hari terakhir di Madinah, saya coba menata hati. Bagaimana ya menguraikan proses ini dalam rangkaian kata. Mungkin seperti orang yang bermeditasi mengosongkan pikiran. Kosong saja. Pasrah berjalan. Hanya berpikir seandainya Tuhan izinkan saya berjodoh dengan makam Rasul maka akan dilancarkan, kalau tidak maka ampunilah saya yang tidak layak.
Apa yang terjadi bagi saya adalah keajaiban. Polisi yang kemaren menghardik dan menutup jalan, kini justru menyuruh saya untuk bersandar di tembok persis di depan makam Rasul. Persis di tempat orang berhenti sejenak untuk mengucapkan salam kepada Rasul.
Di
Makkah saya juga mengalami hal serupa. Subuhan pertama di Masjidil Haram saya berjalan dengan kepasrahan. Dan seperti yang terjadi di Madinah, Tuhan berikan tempat tepat di depan kakbah di samping Hijr Ismail.
Kali kedua saya datang dengan hati yang agak sombong merasa diri sudah mampu ikhlas, berambisi besar untuk dapat berfoto kembali di depan kakbah, hasrat dan nafsu memaksakan diri untuk masuk ke pelataran kakbah. Dan ya, yang terjadi justru sebaliknya. Tuhan menutup jalan dari pintu manapun. Jalan menuju lantai dasar kakbah yang kemaren terbuka sekarang tertutup. Mencoba masuk melalui pintu yang terbuka, tapi petugas keamanan melarang saya masuk. Menggunakan alasan tawaf sunah pun tidak bisa karena mereka menyuruh saya tawaf di lantai 2, dan berbagai hambatan lainnya.
Hari terakhir di Makkah, kembali saya menata hati, beristigfar memohon ampun, menata niat, mengosongkan hasrat dan memasrahkan diri. Seandainya berjodoh dengan Kakbah akan ia bukakan jalan.
Dan benar saja, saya bisa masuk dengan mudah ke pelataran kakbah. Tidak sampai di situ. Selesai tawaf wada, ketika berdoa di depan mulzatam, polisi menyuruh saya bergandengan tangan dengan jamaah laki laki lainnya untuk membuat barikade di depan kakbah. Karena telah tiba waktu shalat subuh sehingga area hajar aswad dan area sekitar kakbah lainnya harus diatur untuk merapikan shaff.
Jangan dibayangkan proses pengaturan shaff ini seperti kita merapikan shaff di surau. Di sini prosesnya disertai adegan dorong-dorongan, paksaan, tarik-tarikan. Dari arah depan polisi mendorong jamaah wanita untuk ke belakang. Dari arah belakang ibu ibu tetap memaksa ke depan untuk dapat mencium hajar aswad. Dari samping kanan kiri depan belakang jamaah pria mendorong dirinya agar bisa shalat tepat di depan kakbah. Dalam himpitan manusia tersebut saya berusaha pasrah saja. Kalau rezekinya ga akan kemana.
Dan yak benar, begitu adegan tersebut selesai, Tuhan berikan saya tempat tepat di depan multazam.
Bisa saja ada yang berpendapat bahwa itu semua kebetulan. Tapi saya meyakini laba-laba yang membuat sarang dan burung yang bertelur ketika Rasul bersembunyi di Gua Tsur bukanlah kebetulan.
Mungkin banyak dari kita yang sebenarnya mengalami hal serupa seperti yang dialami Rasul. Dalam kesempitan Tuhan berikan pertolongan, Tuhan berikan pertanda, Tuhan berikan kemudahan. Hanya saja kita sebagai manusia modern sering menafsirkannya sebagai “kebetulan”.
Lihat Humaniora Selengkapnya