Dalam setiap negara yang ada di dunia, tentu saja memiliki keberagamaan identitas semacam keyakinan, bangsa, dan kaum yang menjadi menarik atensi untuk dikaji pada wilayah keilmuan dewasa ini dengan berbagai sudut pandang yang berbeda. Salah satunya adalah  Indonesia, sebuah negara kepulauan yang terbentang luas dari Sabang hingga Merauke yang kaya akan bahasa, budaya, dan agama yang unik. Keanekaragaman subkulturnya merupakan isyarat bagi negara Indonesia yang harus diawasi secara intensif terhadap kepekaan atau perasaan yang saling bertentangan yang menimbulkan konflik budaya. Kebhinekaan dalam masyarakat tampaknya perlu bagi negeri berlambang Garuda itu. Dengan mengingat keanekaragaman dan kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia, hal ini tidak terlepas dari pembuatan kronik-kronik politik yang haus akan kekuasaan dan membidikkan peluru kepada lahan dan wilayah untuk mengeksploitasinya pada saat-saat tertentu.  Indonesia memiliki populasi 70 juta jiwa selama deklarasi kemerdekaan yang hingga pada sekarang membengkak menjadi sekitar 250 juta jiwa yang mengindikasikan bahwa Indonesia  merupakan negeri dengan jumlah penduduk terbersar keempat di dunia. Oleh sebab itu, politik identitas seringkali muncul di permukaan sejarah Indonesia modern dan harus didasarkan pada penalaran sejarah yang sistematis tanpa mengabaikan tujuan material.
 Secara historis, politik identitas mulanya bukanlah suatu hal yang menarik untuk dikaji oleh para pakar dan ilmuan di dunia Barat. Namun hingga pada tahun 1970-an, ketika Amerika menghadapi berbagai fenomena dan problema terakit isu diskriminasi gender, kelajangan, feminisme, ras, dan masyarakat yang terpinggirkan. Dimensi desain gelar selanjutnya menular ke persoalan keyakinan, dan ikatan kebudayaan yang lainnya. Seorang akademisi Barat adalah orang pertama yang menjelaskan realitas politik identitas yang sebenarnya melalui penelusuran silsilah militansi mahasiswa Amerika tahun 1960-an.Â
Pada masa politik zaman sekarang, desain gelar bisa menjadi suatu hal yang bahaya bagi sikap nasionalis rakyat serta kesatuan negeri pada asas keyakinan yang masih mengenai dengan desain gelar, sehingga jika menavigasi politik identitas muncul dari sejarah Indonesia. , ada kecenderungan untuk memasukkan suku, keyakinan, serta pemikiran desain terkait secara intens dalam kondisi negara kesatuan Republik Indonesia yang multikultural. Namun, hubungan pada keyakinan serta politik di Indonesia telah berkembang dan terjalin cukup lama. Integritas kepercayaan menjadi gelar yang mempunyai power untuk menarik banyak orang telah menjadi ciri serta fakta yang sebenarnya telah terjadi sebelum kemerdekaan Indonesia, akibatnya sudah membentuk hal yang biasa pada kemasyarakatan. Pada awal abad ke-20, bermacam golongan sosial telah muncul di Indonesia, terkait dengan kesesuaian sosial-politik dan agama. Namun permasalahannya, daya tangkap bangsa tentang politik atau desain dapat dikatakan minim, oleh karena itu keyakinan sealalu dijadikan patokan dalam berpolitik yang bertuah untuk melengkapi keinginan golongan tertentu.
 Desain gelar benar-benar efektif bila digabungkan untuk memperoleh kekuasaan semata-mata atas nama agama. Namun, kontrol yang ketat diperlukan agar tidak berpengaruh negatif ke dalam persatuan bangsa yang pluralistik, karena rujukan pada perbedaan bisa menjadi boomerang bagi integrasi sebuah bangsa. Berjuang untuk mempertahankan posisi di negara bahkan memakai trik yang dianggap kriminal atau menipu. Contohnya, ketika seorang terpilih menjadi ketua, dia mengungkapkan institusi demokrasi dengan memalsukan pemilu, menutup atau membeli otoritas stasiun televisi dan surat kabar independen, dan menekan aktivitas oposisi. Dapat diketahui bahwa dengan hal ini, negara telah menyatu dengan tradisi kekuasaan. Dengan tradisi tersebut, negara memiliki durabilitas dan otoritas yang kuat juga luas dalam mengendalikan gerakan sosial dan konspirasi melawan tradisi oposisi untuk mencegah orang berkembang dan beralih ke tradisi tersebut dan mulai menundukan legitimasi lawan. Tomas Carothers menciptakan istilah "zona abu-abu" yang berarti negara yang tidak radikal absolut atau  terlalu dinamis. Anggapan itu lalu dikuatkan dengan pendapat bahwa banyak elit absolut yang tidak antusias untuk menciptakan institusi dinamis yang dianggap melemahkan kekuasaan mereka. Mengungkapkan  "Kepanikan dan teror sering terjadi pada situasi kekerasan suku maupun keyakinan dan tidak bisa dijadikan untuk memaparkan analisis identitas pada keadaan persaingan tanpa kekerasan seperti pemilu".
Berbicara tentang identitas, kepentingan penguasa tetap  mendominasi sebagai faktor melawan kelompok terhadap  kepentingan politik mereka. Pasal tersebut mengklaim bahwa keberadaan lembaga demokrasi di suatu negara  tidak banyak bicara mengenai apakah suatu bangsa  diatur dengan baik atau buruk. Usaha dalam melengkapi janji demokrasi ini mungkin menjadi suatu tantangan terbesar terhadap legitimasi sistem politik semacam itu. Sebaliknya, pendapat pepatah latin, "suara rakyat adalah suara Tuhan" (Vox Populi Vox Dei). Oleh karena itu, hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri tidak boleh dirusak oleh apapun dan siapapun, sehingga kehendak rakyat seperti kehendak Tuhan. Selain itu, ada  pepatah yang mengatakan bahwa "kekuasaan rakyat adalah hukum yang tertinggi" (Salus Populi Supreme Lex). Oleh karena itu, dalam negara yang memiliki corak demokrasi diputuskan bahwa hukum tertinggi  dalam suatu negara adalah berdasarkan dari tekad bangsa. Misalkan, ketidak jelasan dalam pelaksanaan demokrasi adalah di Ukraina pada tahun 2000 yang diberi tanda dengan berkurangnya protes terhadap hasil pemilihan pemimpin yang dipandang sebagai proses penyelewengan pemilihan pemimpin. Protes publik terhadap hasil pemilu memicu gerakan yang disebut "Revolusi Oranye" yang menuntut pemimpin baru. Ketika Yuschenko menjabat, ia dipandang sebagai pengkhianatan oleh para pengikutnya. Konsekuensi dari kemiskinan yang berkepanjangan dan ketidakstabilan politik sering menyebabkan bentuk-bentuk disfungsi sosial lainnya, seperti geng, narkoba, dan ketidakamanan umum di antara orang-orang biasa. Dalam hal ini, para pemimpin biasanya menggunakan politik identitas sebagai retorika politik "singkatnya, politik identitas seharusnya hanya digunakan sebagai alat manipulasi untuk memobilisasi politik untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya".
India juga merupakan negara demorasi paling sukses sejak kemerdekaan pada tahun 1947, sekali lagi mengejutkan mengingat kemiskinan, keragaman ras dan agama, serta ukurannya. Tetapi hampir sepertiga dari anggota parlemen India menghadapi berbagai tuntutan pidana, beberapa di antaranya merupakan pelanggaran serius seperti pembunuhan dan pemerkosaan. Juga, perdagangan suara dan korupsi merajalela. "Kekuasaan cenderung korup", menggambarkan kekuasaan cenderung korup, kalimat ini selalu menggambarkan beberapa peristiwa di suatu negara, dalam hal ini para pencari biasanya menggunakan berbagai cara untuk mendapatkannya, termasuk taktik politik identitas. Sifat primitif, ras, ras, agama, geografi semuanya dipaksa sebagai sarana untuk mencapainya. Politik identitas seringkali mengabaikan hakekat kepentingan nasional, padahal taktik tersebut telah bertahan di setiap komunitas dan bangsa selama berabad-abad.
Politik Identitas Di Indonesia
Politik identitas  Indonesia dibumbui dengan berbagai isu terkait konflik antara mereka yang beridentitas nasionalis dengan mereka yang beridentitas agama. Dalam tema ini, muncul temuan di antara keduanya tentang keunggulan atau eksklusivitas setiap identitas yang mereka ulangi. Lebih dalam lagi, sejarah panjang kemerdekaan Indonesia selama ini menunjukkan bahwa landasan agama (Islam) telah memberikan kontribusi yang begitu besar dalam pembentukan bangsa Indonesia, termasuk pembentukan dan penerimaan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Namun, perebutan kekuasaan politik  kembali mengulang sejarah kelam, dengan menggunakan politik identitas agama sebagai sarana propaganda kekuasaan.Â
Keyakinan beragama merupakan persoalan penting bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, yaitu agama  tidak dapat dipisahkan dari hal-hal yang berkaitan dengan negara dalam kehidupan masyarakat. Dengan maraknya paham sekuler, pluralistik dan liberal yang mengedepankan pemisahan  negara dan agama, lambat laun mulai merusak persatuan bahkan menghancurkan solidaritas antar umat beragama di Indonesia, khususnya umat Islam yang terbentuk di antara keragaman dalam reservoir nasionalisme.
Tema nasionalisme sejak lama dimaknai di Indonesia sebagai semangat berbangsa, beragama, ras, golongan, dll. Itu adalah bentuk perlawanan terhadap penjajahan, menciptakan integrasi yang harmonis atas dasar kerjasama, dan mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Varietas itu. Namun saat ini, nasionalisme dipandang sebagai solidaritas etnis dengan minoritas yang ditakuti sebagian besar kelompok agama. Permasalahan politik identitas yang terfragmentasi di Indonesia tidak terlepas dari kepentingan politik elit politik untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan memanipulasi politik identitas Indonesia. Pembedaan golongan nasionalis dan beragama dipandang sebagai cara untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah saat ini dalam mengatasi permasalahan negara, terutama dalam hal meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat luas.Â
Krisis kepercayaan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap gagal menjawab keprihatinan masyarakat luas telah menyebabkan munculnya kepentingan politik untuk menjaga kredibilitas pemerintah di mata publik. Berbagai kebijakan yang banyak menimbulkan gejolak di masyarakat antara lain kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kenaikan harga bahan pokok, kenaikan nilai tukar rupiah, dll. Konflik politik identitas di Indonesia juga dipengaruhi oleh iklim pemilu dan seringkali melibatkan isu agama yang harus dipisahkan dari isu kebangsaan. Hal ini telah menyebabkan kasus penodaan agama dan telah meninggalkan agama minoritas merasa didiskriminasi karena keyakinan mayoritas mereka. Kemudian konflik berlanjut sebagai masalah yang sangat penting, jangan campur adukkan agama dengan masalah politik. Pemilu seringkali menjadi ajang perebutan kekuasaan yang menghalalkan segala cara, bahkan agama pun menjadi korban.