Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Fenomena 'Marriage is Scary': Menilik Penyebab dan Solusinya

3 Januari 2025   14:57 Diperbarui: 3 Januari 2025   15:20 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pernikahan Zaman Yunani Kuno, Pernikahan karena Cinta: Foto Italymagazine.com

"Menilik Fenomena 'Marriage is Scary': Penyebab dan Solusinya"

Simak dulu cerita mini tentang impian Bulan tetanggaku, ya. Kami teman di masa kecil.

"Impian Bulan"

Bulan teman masa kecilku suka menemaniku duduk di beranda rumahku saat bangun di pagi hari, saat malam tiba, dan kami berdua memandang langit penuh bintang. Di bawah sinar bulan yang lembut itu, ia sering berbicara kepadaku tentang mimpinya. 

"Intan, nanti kalau Bulan sudah besar, Bulan ingin menikah. Bulan ingin punya keluarga yang penuh tawa seperti Ayah Bundaku," katanya dengan mata berbinar.

Aku tersenyum lembut. Aku menarik-narik ujung rambut panjang Bulan. Rambut kami berdua sama panjang hingga pinggang. Tentu ada kutunya. Namanya anak-anak. Belum bisa menjaga kebersihan diri. Kadang kami berdua menyisir kutu dengan sikat kutu bergantian.

"Pernikahan itu indah, Bulan? Tapi  kata Bundaku tanggung jawab menikahbesar, Bulan. Kamu harus tumbuh dulu menjadi orang yang besar. Kamu juga harus punya sabar dan harus berkasih sayang, Bulan." Itu kata Bundaku.

" Bulan! Bermain boneka baju-baju, Yuk! Jangan membayangkan pernikahan juga. Gaun putih seperti bidadari dan pesta kecil sederhana di taman, di bawah pohon besar yang rindang, impianmu. Nanti suami Bulan harus baik hati seperti Pak Uwo, ayahmu, suka membaca buku, dan mencintai anak-anakmu. Kataku sambil tertawa kecil. "Bulan, kamu pasti menikah dengan pangeran dong!" Kataku lagi.

Bulan hanya tersenyum, karena baginya pernikahan bukan soal kemewahan, tetapi soal cinta dan kebahagiaan seperti Ayah Bundanya.

Waktupun berlalu. Kami berpisah karena aku harus sekolah di pesantren. Impian Bulan kecil tumbuh terus. Ia belajar tentang arti tanggung jawab, kepercayaan, dan keikhlasan dari keluarga dan lingkungannya. Di hatinya, tetap yakin bahwa suatu hari, jika tiba waktunya, ia akan menemukan seseorang yang bersedia berjalan bersamanya di bawah langit malam yang penuh bintang. Impiannya sejak kecil.

Bagi Bulan dan kanak-kanak di kampung mereka, pernikahan bukan hanya mimpi tetapi perjalanan untuk saling melengkapi dan meraih kebahagiaan bersama. Malu bila tak menikah.***

Sejarah Pernikahan

Pernikahan sudah ada sejak zaman purba. Pernikahan, sebagai ikatan antara dua individu yang berkomitmen untuk hidup bersama, telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia sejak zaman purba. Konsep pernikahan telah berevolusi seiring berjalannya waktu, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti budaya, agama, dan kondisi sosial.

Pernikahan Zaman Purba, wanita adalah properti berharga: Foto wikepedia.org
Pernikahan Zaman Purba, wanita adalah properti berharga: Foto wikepedia.org

Pernikahan Zaman Yunani Kuno, Pernikahan karena Cinta: Foto Italymagazine.com
Pernikahan Zaman Yunani Kuno, Pernikahan karena Cinta: Foto Italymagazine.com

Pernikahan Modern, Pernikahan karena Sunnah, cinta, bisnis, dan lainnya: Foto The Asian Paret
Pernikahan Modern, Pernikahan karena Sunnah, cinta, bisnis, dan lainnya: Foto The Asian Paret

Feomena Marriage is Scary

Pernikahan dulu dianggap sebagai langkah besar dalam kehidupan. Pernikahan membawa harapan kebahagiaan dan keberlanjutan hubungan manis seperti impian Bulan di atas. Ketika itu mereka masih kanak-kanak lugu.

Melihat Ayah Bunda yang manis berpasangan membuatnya memiliki impian kecil, menikah. Itu dulu. Ada pada pola pikir kanak-kanak di kampung nan teduh tanpa tuntutan biaya hidup besar seperti kehidupan konsumtif di kota-kota.

Namun, belakangan ini sudah muncul fenomena "marriage is scary." Impian indah seperti Bulan berubah. Marriage is scary sekarang mengacu pada ketakutan dan kecemasan terhadap institusi pernikahan. Pernikahan bukan impian lagi pada sebagian anak-anak zaman ini.

Ketakutan ini tidak hanya dialami oleh kaum muda tetapi juga mereka yang pernah mengalami kegagalan hubungan sebelumnya. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi fenomena ini, dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat?

Penyebab Fenomena

Ketakutan terhadap pernikahan biasanya disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pengalaman masa kecil bersama Ayah Ibu mereka, pengalaman buruk di masa lalu mungkin pernah dilecehkan, atau dikecewakan, seperti perceraian orang tua,  atau hubungan toksik lainnya.

Selain itu, perubahan sosial juga turut memengaruhi persepsi terhadap pernikahan saat ini. Generasi muda kini lebih mengutamakan kebebasan pribadi, berkarier, dan kestabilan finansial mereka sebelum memutuskan menikah.

Media juga memiliki andil besar dalam membentuk pandangan negatif mereka tentang pernikahan melalui cerita-cerita tentang konflik rumah tangga atau perceraian. Padahal tak semua pernikahan lo yang toksik dan gagal.

Di Indonesia, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Kementerian Agama) dan Badan Pusat Statistik (BPS), pernikahan yang berhasil (tidak berujung perceraian) masih jauh lebih besar dibandingkan dengan pernikahan yang gagal.

Namun, tren perceraian di Indonesia menunjukkan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Berikut adalah beberapa fakta berdasarkan data:

Jumlah Pernikahan dan Perceraian

1. Pernikahan

Rata-rata, Indonesia mencatat lebih dari 2 juta pernikahan setiap tahun.
Pernikahan yang dicatat resmi oleh Kantor Urusan Agama (KUA) dan catatan sipil lebih tinggi di daerah dengan kesadaran administrasi yang baik.

2. Perceraian

Data BPS menunjukkan bahwa angka perceraian meningkat dari sekitar 300.000 kasus per tahun pada awal 2010-an menjadi lebih dari 400.000 kasus per tahun dalam beberapa tahun terakhir.
Meskipun begitu, jumlah perceraian ini tetap kecil dibandingkan dengan jumlah total pernikahan, yaitu sekitar 15-20%.

Faktor Penyebab Perceraian di Indonesia

Beberapa penyebab utama perceraian di Indonesia berdasarkan laporan pengadilan agama:
1. Perselisihan dan pertengkaran terus-menerus (alasan paling umum).
2. Kondisi ekonomi (ketidakmampuan finansial).
3. Tidak ada tanggung jawab dari salah satu pihak.
4. Pernikahan usia dini, yang memiliki risiko lebih tinggi untuk gagal.
5. Ketidakharmonisan rumah tangga karena pengaruh pihak ketiga atau ketidaksesuaian visi.

Kesimpulannya, di Indonesia, pernikahan yang "tidak gagal" (berhasil dipertahankan) masih jauh lebih dominan, yakni sekitar 80-85%. Namun, tren perceraian yang terus meningkat menunjukkan perlunya perhatian khusus terhadap edukasi pranikah, dukungan finansial, dan konseling bagi pasangan. 

Pemerintah dan lembaga agama juga mendorong program-program seperti kursus pranikah untuk mengurangi angka perceraian di masa depan.

Dampak Fenomena Marriage is Scary dan Dampak Terhadap Individu dan Masyarakat

Ketakutan terhadap pernikahan dapat menyebabkan individu menunda atau bahkan menghindari pernikahan sepenuhnya. Hal ini berpotensi menurunkan angka pernikahan dan angka kelahiran di suatu negara. Pada akhirnya memengaruhi struktur demografi masyarakat Indonesia ke depan.

Selain itu, individu yang takut menikah cenderung merasa terisolasi karena tekanan sosial yang masih menganggap pernikahan sebagai bagian penting dalam hidup.
Harapan dari keluarga, teman, dan lingkungan untuk segera menikah dapat menciptakan beban emosional bagi mereka yang ragu atau memilih untuk menunda pernikahan.

Stigma negatif terhadap orang yang belum menikah di usia tertentu sering memperparah perasaan terasing meskipun pilihan untuk tidak menikah sebenarnya adalah keputusan pribadi yang sah. Misalnya penyebutan perawan tua maupun perjaka tua. Hal ini menunjukkan perlunya perubahan pandangan masyarakat agar lebih menerima keberagaman jalan hidup setiap orang.

Solusi untuk Mengatasi Ketakutan

Langkah awal untuk mengatasi ketakutan ini tentu dengan edukasi yang menyeluruh tentang pernikahan. Orang perlu memahami bahwa pernikahan bukan hanya soal romantisme, tetapi juga komitmen, kerja sama, dan komunikasi.

Dukungan psikologis dari keluarga, teman, atau konselor juga penting untuk membantu individu menghadapi ketakutan mereka. Selain itu, perlu adanya perubahan pandangan sosial agar pernikahan tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kebahagiaan.

Kesimpulannya fenomena "marriage is scary" adalah cerminan dari dinamika sosial yang terus berubah searah waktu. Meski ketakutan ini wajar, penting untuk menghadapinya dengan bijaksana. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang pernikahan dan dukungan yang tepat. Kecemasan dapat diatasi dan memungkinkan individu membuat keputusan hidup yang lebih percaya diri dan bahagia menurut versinya.

Pandangan Islam Tentang Pernikahan dan Fenomena "Marriage is Scary"

Dalam Islam, pernikahan bukan hanya ikatan lahiriah antara dua anak adam, tetapi juga sebuah ibadah dan sunnah Rasulullah SAW. Islam mengajarkan bahwa pernikahan adalah cara untuk menyempurnakan separuh agama, membangun keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Namun, fenomena "marriage is scary" yang muncul di era modern ini sering kali menimbulkan kekhawatiran di kalangan umat Islam karena pernikahan sebagai sarana regenerasi pewaris. Bagaimana Islam memandang hal ini, dan bagaimana solusi yang ditawarkan?

Pernikahan dalam Islam

Islam memandang pernikahan sebagai amanah yang besar, tetapi juga sumber kebahagiaan dan ketenangan jiwa. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang." (QS. Ar-Rum: 21)

Seperti impian Bulan di atas, pernikahan dalam Islam didasarkan pada niat yang tulus untuk mencari ridha Allah, bukan sekadar memenuhi kebutuhan duniawi. Namun, Islam juga mengakui bahwa pernikahan memerlukan persiapan matang, baik dari segi mental, spiritual, maupun material.

Pernikahan dalam Islam juga sebagai  wadah menjaga nama baik, drajat, dan kemuliaan dua manusia. Dengan pernikahan dua manusia terhindar dari pelanggaran norma hukum, agama, dan sosial.

Dalil tentang pernikahan sebagai cara untuk mencegah zina dapat ditemukan dalam Al-Qur'an dan hadis. Berikut adalah beberapa rujukannya:

1. Al-Qur'an: Surah An-Nur (24:32)

Allah SWT berfirman:

"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui."

Ayat ini memerintahkan umat Islam untuk menikah agar menjaga kehormatan dan mencegah terjadinya perbuatan dosa seperti zina.

2. Hadis Nabi SAW

Rasulullah SAW bersabda:

"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang telah mampu menikah, maka menikahlah, karena itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu akan menjadi benteng baginya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa pernikahan adalah salah satu solusi utama untuk mencegah zina dan menjaga kehormatan diri (derajat).

Kesimpulannya, dalil-dalil itu menunjukkan bahwa Islam menganjurkan pernikahan sebagai bentuk ibadah sekaligus perlindungan moral, terutama untuk menghindari dosa besar seperti zina dan mencegah lahirnya anak-anak tanpa penanggung jawab masa depan mereka kelak.

Di Indonesia, larangan berzina dan kumpul kebopun diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya KUHP yang baru disahkan pada Desember 2022. Berikut adalah pasal-pasal terkait:

1. Larangan Berzina, Pasal 411 KUHP baru:

Ayat (1): Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya diancam pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda.

Ayat (2): Tindak pidana ini hanya dapat diproses hukum berdasarkan pengaduan suami, istri, orang tua, atau anak dari salah satu pihak yang melakukan perbuatan tersebut.

2. Larangan Kumpul Kebo (Hidup Bersama Tanpa Pernikahan), Pasal 412 KUHP baru:

Ayat (1): Setiap orang yang hidup bersama sebagai suami istri di luar ikatan perkawinan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda.

Ayat (2): Sama seperti zina, tindak pidana ini hanya dapat diproses hukum berdasarkan pengaduan pihak keluarga seperti suami, istri, orang tua, atau anak.

Ketentuan dalam KUHP ini bersifat delik aduan, artinya tindakan hanya akan diproses jika ada pengaduan resmi dari pihak yang memiliki hubungan langsung dengan pelaku.

KUHP baru ini berlaku mulai 2025, memberikan waktu bagi masyarakat untuk beradaptasi. Pasal-pasal ini dirancang untuk menjaga nilai-nilai moral dan sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia.

Fenomena "Marriage is Scary"

Ketakutan terhadap pernikahan sering kali berasal dari pengalaman buruk masa kecil dalam keluarga, ketidaksiapan mental, atau pengaruh budaya modern yang mengutamakan kebebasan individu.

Dalam Islam, ketakutan semacam ini dapat diatasi dengan meningkatkan tawakkal kepada Allah, memperdalam ilmu agama, dan memperbaiki hubungan dengan-Nya. Ketakutan tidak boleh menjadi alasan untuk menolak pernikahan, tetapi harus menjadi motivasi untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin.

Solusi Islam Mengatasi Ketakutan

1. Meningkatkan Pemahaman Agama

Islam menganjurkan umatnya untuk memahami hakikat pernikahan sebagai bagian dari ibadah. Kajian-kajian Islami tentang rumah tangga dapat membantu individu memahami tanggung jawab dan manfaat pernikahan. Berpuasalah bila tak sanggup menikah agar bisa menjaga diri.

2. Memperbanyak Doa

Berdoa kepada Allah agar diberi pasangan yang saleh dan diberikan kemudahan dalam membangun rumah tangga yang berkah. Doa Nabi Muhammad SAW untuk pernikahan adalah "Semoga Allah memberkahi kalian berdua dalam keluarga kalian dan menyatukan kalian dalam kebaikan."

3. Mengikuti Sunnah Rasulullah SAW

Rasulullah SAW memberi contoh bagaimana membangun rumah tangga dengan komunikasi, kasih sayang, dan saling pengertian. Memahami dan mengikuti sunnah beliau dapat membantu mengurangi ketakutan terhadap pernikahan.

4. Mencari Bimbingan

Jika ketakutan berasal dari trauma masa lalu, Islam menganjurkan untuk mencari bimbingan dari ahli agama atau konselor yang dapat memberikan nasihat sesuai dengan ajaran Islam.

Pandangan Ahli Tentang Fenomena "Marriage is Scary"

Ahli psikologi dan sosiologi memandang fenomena "marriage is scary" sebagai respons terhadap perubahan sosial, budaya, dan tekanan individu. Berikut adalah beberapa pandangan ahli terkait fenomena ini:

1. Faktor Psikologis

Dr. Susan Pease Gadoua, seorang terapis pernikahan dan keluarga, menyebutkan bahwa ketakutan terhadap pernikahan sering kali berasal dari pengalaman masa lalu, seperti perceraian orang tua atau hubungan yang tidak sehat.

Trauma ini menyebabkan individu memiliki keraguan besar terhadap kemampuan mereka dalam membangun hubungan yang stabil. "Ketakutan ini adalah mekanisme perlindungan tetapi juga bisa menjadi penghalang untuk mencapai hubungan yang bermakna.

2. Pengaruh Sosial dan Budaya

Menurut Dr. Stephanie Coontz, seorang ahli sejarah keluarga, perubahan sosial seperti meningkatnya kemandirian perempuan, tekanan karier, dan ekspektasi tinggi terhadap pernikahan turut berkontribusi pada ketakutan ini.

"Orang kini tidak hanya mencari pasangan, tetapi juga seseorang yang bisa memenuhi berbagai kebutuhan emosional, sosial, dan finansial mereka," katanya. Harapan yang terlalu tinggi ini sering kali menciptakan tekanan besar dan membuat pernikahan tampak menakutkan.

3. Perspektif Islam dan Konseling Pernikahan

Ustaz Adi Hidayat, dalam salah satu ceramahnya, menjelaskan bahwa ketakutan terhadap pernikahan bisa diatasi dengan memahami konsep tawakal dan ikhtiar dalam Islam.

"Ketakutan itu wajar, tetapi Islam mengajarkan kita untuk menghadapi kekhawatiran dengan persiapan yang matang, baik mental, spiritual, maupun material," jelasnya.

Beliau juga menganjurkan pasangan untuk mengikuti bimbingan pra-nikah agar memiliki pemahaman yang lebih baik tentang hak dan kewajiban dalam pernikahan.

4. Pendekatan Solutif

Ahli konseling keluarga, Dr. John Gottman, menawarkan solusi praktis untuk mengatasi ketakutan ini, seperti membangun komunikasi yang sehat, menurunkan ekspektasi yang tidak realistis dan mengatasi konflik dengan cara yang konstruktif. Ia juga menekankan pentingnya pengenalan diri dan pasangan sebelum menikah, agar dapat membangun hubungan yang kokoh sejak awal.

Kesimpulan Ahli

Fenomena "marriage is scary" adalah hasil dari perpaduan antara pengalaman pribadi, pengaruh sosial, dan tekanan budaya. Dengan pendekatan yang tepat, seperti edukasi, bimbingan, dan persiapan matang, ketakutan ini dapat diatasi. Para ahli sepakat bahwa pernikahan tidak sempurna, tetapi dengan usaha dan komitmen, ia bisa menjadi sumber kebahagiaan dan keberkahan.

Fenomena "Marriage is Scary" atau Ketakutan Terhadap Pernikahan Apakah Petunjuk Lemahnya Pria Saat Ini?

Di akhir pembahasan muncul pertanyaan di atas. Fenomena "marriage is scary" atau ketakutan terhadap pernikahan apakah petunjuk lemahnya pria? Pria sebagai imam, pemimpin, dan pengayom.

Fenomena "marriage scary" atau ketakutan terhadap pernikahan tidak serta-merta menunjukkan lemahnya pria saat ini. Melainkan mencerminkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang memengaruhi pandangan hidup terhadap komitmen jangka panjang.

Banyak pria merasakan tekanan besar untuk menjadi stabil secara finansial dan emosional sebelum menikah karena ekspektasi tradisional yang menganggap mereka sebagai tulang punggung keluarga. Ketakutan ini lebih sering dipicu oleh rasa tanggung jawab besar itu. Ketidakpastian masa depan dan meningkatnya tingkat perceraian menjadi pemicu utama daripada kelemahan pribadi mereka.

Namun, di sisi lain, ada kritik bahwa sebagian pria modern cenderung menghindari tanggung jawab pernikahan karena preferensi untuk kebebasan atau ketidakmampuan menghadapi komitmen. Ini bisa dianggap sebagai refleksi lemahnya keberanian menghadapi tantangan kehidupan nyata. 

Dengan kata lain, ketakutan terhadap pernikahan bukan hanya soal lemahnya pria tetapi juga cerminan realitas sosial yang kompleks di era ini, termasuk tuntutan ekonomi, pergeseran peran gender, dan kurangnya kesiapan emosional. Jadi, perlu perempuan-perempuan tangguh di masa ini untuk mengimbangi situasi 'marriage is scary.' (Ni Yu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun