"Bun, Adek nambah hutang 100 ribu lagi." Begitu isi pesannya. Ya aku memang mengajarinya memakai mobile banking dana simpanan. Biasa ia isi paket 1x sebulan.
Sama seperti suamiku, akupun terbawa emosi. "Coba lihat apa yang Adek beli?" tanyaku. Ia pun memperlihatkan satu set perhiasan dan 1 jam tangan.
"Siapa yang mau makai?" Tanyaku lagi.Â
"Buat temanku kalau jam. Perhiasan mau pakai sendiri."Jawabnya takut-takut.
"Memangnya kulit Adek sudah bisa memakai barang palsu?" Tanyaku lagi.
"Jangan berlagak kaya kepada teman, Dek. Uang Bunda di rekening itu, ngutang ke bank, Dek. Itu buat dikirim kepada dua abangmu di Jakarta-Semarang. Nasihat suamiku. "Nih lihat bukti-bukti surat utangnya." Lanjut suami lagi.
"Bila Adek masih jajan juga lewat online. Terpaksa Bunda sita HP-mu." Tutupku mengantisipasi kemarahan suamiku. Dia pun mengangguk. Ya sejak itu tak ada lagi si dedek didatangi paket.
Media sosial bisa sangat berbahaya jika tidak digunakan dengan bijak karena dapat memengaruhi daya beli dan emosional belanja seseorang. Konten yang dipamerkan di media sosial sering kali menunjukkan barang yang terlihat sempurna sehingga memicu hasrat memiliki. Apalagi ABG (Anak Baru Gede) seperti si Dedek.
Sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara) golongan 3 dan suami pegawai swasta, aku dan keluarga memang mengandalkan biaya pendidikan anak lewat bank. Jadi, kami wajib berhemat. Kamipun menganut sistem keuangan terbuka di rumah agar ketiga anak-anak faham bahwa kita bukan orang kaya.
Penghasilan yang tetap sebagai ASN, ditambah suami sebagai pegawai swasta, mengelola keuangan dengan bijak hal yang mutlak. Tak bisa ditawar-tawar. Biaya pendidikan pun membuat kami harus bergantung pada fasilitas perbankan, seperti pinjaman lalu ditabung.
Hal ini kami anggap sebagai investasi jangka panjang demi masa depan anak-anak. Untuk itu, pengeluaran sehari-hari benar-benar kami kendalikan ketat agar tidak ada pemborosan, terutama dengan tetap memprioritaskan kebutuhan dibanding keinginan.