Dulu, Ibu hanya mengupas tiga butir bawang untuk membuat sambal sederhana kami. Akupun lalu berkomentar lugu, “Ma, kata mama temanku, makin banyak bawang merah masakan makin enak.”
Ibu tersenyum tipis kala itu sambil menatapku. Matanya redup lalu beliau menjawab lirih, “Iya, Nak, Mama tahu... tapi Mama tak punya uang untuk beli bawang lebih banyak.”
Kata-kata itu masih terngiang di telingaku dan nyeri di sudut hatiku, menghadirkan rasa pedih yang lebih tajam daripada irisan bawang di tanganku. 'Maafkan aku, Ma!' Bisikku lembut mengingat itu.
Ternyata, akupun kini menjalani hidup yang sama seperti Ibu dulu. Bila ingat itu, aku juga senyum malu sendirian. Setiap hari, setelah kepergian beliau, aku pun sering tak mampu membeli bawang dalam jumlah banyak. Kadang uang tak cukup, kadang malas ke kedai, atau lupa beli bawang.
Seperti Ibu, kadang aku harus berhemat, memilih mana yang lebih penting untuk keluarga kecilku. Setiap kali mengupas bawang satu biji besar, aku merasa semakin dekat dengan beliau, seolah memahami beratnya perjuangan Ibu dulu hanya kulihat tanpa benar-benar mengerti.
Sekarang barulah aku faham ucapan ibu. Perjuangan beliau menyiapkan sajian pagi, siang, dan malam hari ternyata tak mudah. Terbayang lagi ketika aku dan adik-adikku protes ini tak mau, ini tak enak. Bahkan diam-diam kami menyimpan nasi di lemari bawah karena tak suka. Beliau mengetahui ketika sudah membaui masakan basi.
Kepedihan hidup ibu perlahan kumengerti. Ketika aku harus membayar cicilan bank untuk membangun rumah, membeli mobil dan motor, serta membiayai kuliah dua anakku. Belum lagi tagihan listrik, air, kewajiban sedekah, wakaf, infak, dan pajak, pinjaman kecil yang jatuh tempo terus menumpuk.
Semua ini ternyata terasa berat, tapi juga menjadi bagian dari tanggung jawab yang harus aku pikul seperti ibu dulu memikulnya. Kadang, saat menghitung pengeluaran, aku teringat pada Ibu yang dulu berjuang dengan segala keterbatasan. Kadang bertani, berjualan ke pasar, dan berutang di bank dan kepada tetangga.
Kini, aku benar-benar memahami betapa besar pengorbanan ibu. 'Barakallah Ma. Infaq, sedekah, wakaf, dan warisanmu memberi aku hikmah pelajaran karakter. Ketika akhirnya aku mampu melunasi semuanya, ada rasa bahagia yang sulit diungkapkan, Ma.'
Beban yang selama ini menekan perlahan sirna, digantikan oleh kelegaan yang menenangkan hati. Aku tahu, mungkin kebahagiaan ini sederhana tapi mengingat perjuangan panjang di baliknya, aku merasa semua jerih payah ini sepadan.
Dalam hati, aku berharap Mama bisa mendapat aliran kebahagiaan sekarang bahwa semangat Mama telah mengalir dalam diriku.