Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tabungan Masyarakat Terguncang Akibat Dampak Kenaikan PPN 12%

21 Desember 2024   18:04 Diperbarui: 22 Desember 2024   08:18 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar Skema Pajak 2025: Foto Kompasiana.com

Perhitungan Jeli Masyarakat

Di sebuah sekolah, Ibu Jeni dengan wajah lusuh dan  kusam berdiri di depan teman gurunya. Ia bercerita tentang penglamannya di meja teller sebuah bank tadi pagi. Wajahnya penuh ketegasan bercerita. 

"Mengapa tabungannya mau ditutup, Bu?" tanya pegawai bank ramah. Katanya.

Saya menarik napas panjang. "Lihat saja, tiap bulan dipotong biaya ini-itu: administrasi sepuluh ribu, kartu lima ribu, belum lagi dana entah apa lima ribu. Uang saya bukannya bertambah, malah habis pelan-pelan. Mending saya simpan sendiri di celengan ayam di rumah," katanya ketus.

Pegawai bank itu hanya tersenyum tipis, tak bisa membantah logika sederhana si ibu, yang lebih menghitung receh daripada kenyamanan.

Tabungan Masyarakat di Bawah Rp100 Juta Bakal Tergerus Imbas PPN Naik Jadi 12%

Pemerintah Indonesia baru saja memutuskan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Kebijakan ini mulai berlaku pada tahun 2025. Kebijakan membawa perdebatan panjang karena dampaknya signifikan terhadap perekonomian, terutama bagi masyarakat dengan tabungan di bawah Rp100 juta. 

Meskipun tarif PPN ini diberlakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat menggerus daya beli dan tabungan masyarakat di kelompok menengah ke bawah.

Dampak Kenaikan PPN terhadap Daya Beli

PPN yang meningkat sebesar 2% ini tentu saja akan mempengaruhi harga barang dan jasa. Peningkatan tarif PPN berarti konsumen harus membayar lebih mahal untuk produk-produk yang mereka konsumsi sehari-hari. Barang-barang kebutuhan pokok, seperti makanan, pakaian, dan bahan bakar, kemungkinan besar akan mengalami kenaikan harga.

Bagi masyarakat yang memiliki tabungan terbatas, kenaikan harga ini akan terasa lebih berat karena mereka harus mengalokasikan lebih banyak dana untuk kebutuhan dasar. Kenaikan PPN dapat membuat tabungan mereka semakin tergerus oleh biaya hidup yang semakin tinggi.

Masyarakat kelas menengah yang cenderung mengandalkan pengeluaran bulanan yang terbatas mungkin harus menarik lebih banyak dana dari tabungan mereka untuk menutupi selisih harga yang terus meningkat.

Ketimpangan Ekonomi yang Makin Terasa

Kenaikan PPN juga dapat memperburuk ketimpangan ekonomi antara golongan masyarakat kaya dan miskin. Kelompok masyarakat dengan penghasilan tinggi, lebih mampu menanggung biaya tambahan akibat kenaikan PPN. Mereka mungkin tak merasakan dampaknya.

Namun, bagi kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah dan menengah, terutama mereka yang mengandalkan tabungan untuk kebutuhan mendesak, kenaikan tarif PPN ini bisa mengurangi jumlah tabungan yang mereka miliki untuk masa depan.

Tabungan yang seharusnya digunakan untuk perencanaan jangka panjang, seperti pendidikan anak, membeli rumah, atau merencanakan pensiun, kini terancam berkurang. Kenaikan PPN juga bisa mempengaruhi tingkat investasi masyarakat di sektor-sektor non-konsumsi karena mereka harus lebih fokus pada pengeluaran sehari-hari.

Peran Pemerintah dalam Menjaga Daya Beli

Sebagai respons terhadap kenaikan PPN ini, penting bagi pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah kompensasi guna melindungi daya beli masyarakat. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan memberikan bantuan sosial yang tepat sasaran kepada kelompok masyarakat yang paling terdampak, seperti bantuan langsung tunai atau subsidi pangan.

Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat sektor-sektor ekonomi yang bisa memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Untuk memastikan bahwa kenaikan PPN tidak membuat masyarakat semakin terjepit. Kebijakan fiskal yang mendorong peningkatan pengeluaran masyarakat dalam sektor-sektor produktif juga bisa menjadi salah satu solusi.

Dampaknya tak hanya terasa pada konsumsi rumah tangga tetapi juga pada keberlangsungan usaha kecil dan menengah yang bergantung pada daya beli masyarakat. Dalam kondisi ini, perekonomian akan kehilangan keseimbangannya. Akibatnya mengarah pada stagnasi atau bahkan penurunan aktivitas ekonomi secara keseluruhan.

Selain itu, dengan berkurangnya daya beli masyarakat dan menurunnya minat terhadap mobile banking akibat biaya administrasi yang tidak sebanding dengan keuntungan penggunaannya, pemerintah perlu mendorong inovasi layanan keuangan berbasis komunitas. Dukungan terhadap koperasi simpan pinjam dan lembaga keuangan mikro dapat menjadi alternatif untuk menjaga roda ekonomi tetap berputar.

Dengan pendekatan yang menyentuh kebutuhan masyarakat kecil, kebijakan fiskal dan moneter bisa lebih inklusif, memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat tetap dapat menjalankan aktivitas ekonominya tanpa harus mengorbankan stabilitas keuangan mereka.

Kenaikan PPN di tengah daya beli masyarakat yang sudah rendah itu hanya akan memperburuk kondisi ekonomi. Usaha kecil dan menengah kini berjuang untuk bertahan akibat penurunan konsumsi masyarakat sehingga bahkan sebagian sudah tutup. 

Akibatnya, rantai ekonomi terancam terganggu, karena pelaku usaha akan kesulitan menyesuaikan harga tanpa kehilangan pelanggan. Kebijakan ini seharusnya dikaji ulang untuk memastikan tidak menambah tekanan pada masyarakat dan sektor usaha yang sedang rentan. Misalnya nasi bungkus di Ampera dulunya Rp13.000 sekarang Rp15.000. Begitu juga di restoran, dulunya Rp25.000 sekarang Rp27.000 per sekali makan.

Kenaikan PPN dan Peredaran Uang Tunai yang Makin Kencang

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% bukan hanya berdampak pada tabungan masyarakat kecil, tetapi juga mendorong peningkatan peredaran uang tunai. Dalam situasi ini, banyak orang beralih dari sistem pembayaran digital atau mobile banking ke transaksi tunai untuk menghindari potongan biaya tambahan yang semakin mencekik.

Perilaku ini dipicu oleh kebutuhan masyarakat untuk memaksimalkan setiap rupiah yang mereka miliki, terutama di kalangan menengah ke bawah yang sangat sensitif terhadap perubahan harga dan biaya.

Dampaknya, sistem pembayaran berbasis digital yang selama ini diandalkan untuk efisiensi bisa mengalami stagnasi. Di sisi lain, peredaran uang tunai yang semakin kencang dapat memunculkan tantangan baru, seperti potensi kenaikan inflasi akibat perputaran uang yang tidak terkontrol.

Situasi ini membutuhkan intervensi pemerintah yang bijaksana, seperti menyediakan opsi pembayaran tanpa biaya tambahan, menghidupkan kembali layanan berbasis komunitas seperti koperasi, atau memperkuat sistem wesel pos sebagai alternatif yang ramah biaya.

Jika dibiarkan tanpa solusi konkret, kondisi ini tidak hanya akan melumpuhkan ekonomi digital, tetapi juga memperbesar kesenjangan antara masyarakat yang mampu bertahan dan yang terpaksa mengorbankan stabilitas keuangan mereka. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang seimbang antara penyesuaian fiskal dan perlindungan daya beli masyarakat.

Kenaikan PPN 12% dan Risiko Penarikan Uang Besar-Besaran dari Bank

Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% berpotensi pula memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat menengah ke bawah bisa berujung pada tren penarikan uang besar-besaran dari bank. 

Ketika biaya hidup semakin tinggi, masyarakat dengan tabungan kecil, terutama di bawah Rp100 juta, cenderung menarik simpanannya untuk memenuhi kebutuhan harian. Selain itu, ketidakpercayaan terhadap sistem perbankan yang dianggap tidak memberikan nilai lebih dalam situasi ekonomi sulit dapat mempercepat peralihan ke transaksi tunai.

Fenomena ini bisa menyebabkan bank kehilangan likuiditas secara signifikan, yang pada gilirannya mengganggu stabilitas sektor keuangan. Penurunan jumlah simpanan di bank juga berisiko memperlambat penyaluran kredit, terutama kepada pelaku usaha kecil yang bergantung pada pinjaman untuk modal kerja. Dalam skenario terburuk, ekonomi bisa masuk ke dalam spiral deflasi atau kurangnya uang dalam sistem perbankan melemahkan produktivitas dan investasi.

Mengantisipasi hal ini, pemerintah dan bank harus segera merancang strategi mitigasi. Misalnya, menawarkan insentif bagi nasabah untuk tetap menyimpan uang di bank melalui bunga simpanan yang kompetitif atau mengurangi biaya administrasi. Seperti cerita Bu guru Jeni di atas.

Selain itu, perlu adanya edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga dana di sistem perbankan untuk stabilitas ekonomi. Jika semua orang menarik besar-besaran uang dari bank dan tak mau menabung di bank akan menjadi ancaman besar bagi keseluruhan sistem ekonomi nasional. Bank lalu lintas ekonomi nasional kita.

Apakah Kenaikan PPN Menjadi 12% Kebijakan yang Logis?

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mungkin saja terlihat logis jika dilihat dari sudut pandang pemerintah yang ingin meningkatkan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan dan pemulihan ekonomi. Namun, kebijakan ini perlu dievaluasi lebih mendalam terkait dengan kondisi riil masyarakat saat ini.

Terutama kalangan menengah ke bawah yang merupakan mayoritas populasi Indonesia. Dalam konteks ekonomi pasca-pandemi yang belum sepenuhnya pulih, daya beli masyarakat masih rapuh saat ini.

Kenaikan PPN justru berisiko memperparah kondisi mereka. Kesenjangan ekonomi dan penekanan konsumsi domestik akan melebar padahal pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia masyarakat. Terlepas dari kelas atas, menengah, atau bawah.

Selain itu, kebijakan ini juga tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan ekonomi yang inklusif. Ketika masyarakat harus mengalokasikan lebih banyak uang untuk membayar pajak, konsumsi barang dan jasa berpotensi menurun. BBM akan naik dan hargapun melonjak.

Iya sih bahan pokok harian tak disentuh pajak. Namun pelaku usaha bahan pokok terdampak pajak. Pabriknya, BBM-nya untuk transportasi penyaluran. Akibatnya, pelaku usaha, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang bergantung pada permintaan lokal, akan terdampak keras. 

Dalam jangka panjang, ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Jika tujuannya adalah untuk meningkatkan penerimaan negara, ada opsi lain yang lebih progresif dan adil, seperti memperluas basis pajak dengan meningkatkan kepatuhan wajib pajak besar atau menerapkan pajak berbasis kekayaan. Banyak lowajib pajak yang belum menunaikan kewajiban bayar pajak mereka.

Banyaknya wajib pajak, khususnya pemilik kendaraan bermotor, yang belum menunaikan kewajibannya membayar pajak diintenskan penarikan pajaknya. Hal ini seharusnya menjadi perhatian serius dinas perpajakan, Samsat, dan kepolisian untuk menelusuri kepatuhan pajak.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah mencocokkan data jumlah motor yang diproduksi atau terjual dengan pajak kendaraan motor yang masuk. Ketidaksesuaian antara data tersebut dapat menjadi indikasi banyaknya pelanggaran atau kelalaian dalam pembayaran pajak.

Perlu diambil tindakan yang lebih tegas untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat bayar pajak, bukan buru-buru menaikkan pajak. Seperti pajak listrik dan lainnya. Dengan pendekatan ini, beban tidak sepenuhnya ditimpakan pada masyarakat kecil. Oleh karena itu, meskipun secara teori kenaikan PPN mungkin logis, penerapannya memerlukan pertimbangan lebih matang agar tidak menciptakan dampak negatif yang justru melemahkan ekonomi nasional.

Kembali ke Transaksi Serba Tunai: Repot dan Tidak Efisien

Kembali ke transaksi tunai bukanlah pilihan. Jika masyarakat kembali ke transaksi serba tunai akibat kenaikan PPN dan meningkatnya biaya layanan perbankan, dampaknya akan sangat merepotkan, baik bagi individu maupun sistem ekonomi secara keseluruhan. Transaksi tunai tidak hanya memakan waktu lebih lama, tetapi juga meningkatkan risiko kehilangan uang, pencurian, dan kesalahan hitung.

Bagi pelaku usaha, terutama UMKM, peredaran uang tunai yang tinggi juga berarti mereka harus lebih sering menyimpan uang di tempat aman atau mengandalkan layanan setor tunai ke bank, yang memerlukan waktu dan biaya tambahan. Ini dapat meningkatkan tindak kriminal perampokan dan pencurian.

Selain itu, sistem ekonomi yang serba tunai cenderung kurang transparan dan lebih sulit dilacak, dapat meningkatkan risiko penggelapan pajak dan transaksi ilegal. Dari sisi pemerintah, menjadi tantangan besar dalam memonitor peredaran uang dan menjaga stabilitas moneter.

Transisi kembali ke tunai juga berpotensi melemahkan momentum digitalisasi ekonomi yang selama ini memberikan banyak keuntungan, seperti efisiensi, keamanan, dan kemudahan transaksi. Jadi pemerintah perlu memastikan kebijakan yang diterapkan tidak memicu ketergantungan kembali pada tunai. 

Salah satu langkah dengan menekan biaya transaksi digital, memberikan insentif bagi pengguna layanan perbankan, dan memperluas edukasi tentang manfaat ekonomi digital. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun