Lingkaran Hidup Jonas: Victim Mentalitykah?
Jonas tamat SMP, Kakak pun menyarankannya untuk masuk SMK. Kakak pikir itu langkah terbaik untuk masa depannya. Di SMK tentu lebih mudah mengarahkan Jonas untuk bekerja maupun berdagang.
Tamat SMK Jonas juga pengen kuliah seperti sepupunya, Apan. Kakak pun mendorongnya melanjutkan ke fakultas ekonomi dan  meyakinkan bahwa jurusan itu punya peluang kerja yang besar. Sejalan pula dengan sekolahnya, SMK.
Jonas pun menuruti semua saran Kakak. Adapun orangtua mereka hanya petani. Mereka pun setuju atas pendapat si Kakak. Mereka kurang setuju bila Jonas bertani apalagi menganggur.
Tapi sayangnya setelah lulus kuliah, Jonas tak kunjung mendapat pekerjaan yang sesuai baginya. Ia bekerja serabutan saja. Hari-harinya pun mulai ia isi dengan keluhan dan sesekali menyalahkan Kakak.
"Kalau dulu aku pilih sendiri sekolahku, mungkin hidupku tak seperti ini," katanya berulang kali.
Awalnya, Kakak mencoba menghibur dan menyemangatinya. Namun, melihat Kakaknya juga hanya honorer guru, ia mulai tak mau mendengar nasihat Kakak. Setiap usaha hanya berujung pada keluhan yang sama. Jonas mulai terjebak dalam lingkaran pikirannya sendiri.
Ia tetap berusaha bekerja tapi lebih sering menyalahkan masa lalu dan membiarkan dirinya larut dalam rasa kecewa. Tawaran untuk ikut pelatihan atau mencoba pekerjaan baru selalu ia tolak dengan alasan, "Itu bukan passion-ku." Namun ironisnya, ia tak pernah benar-benar tahu apa yang ia inginkan. Ia hanya berkomentar ingin masuk polisi tapi tak pernah berani mendaftar ke sana.
Kakak dan keluarga hanya bisa menghela napas setiap kali mendengar keluhannya. Mereka sadar, sekeras apa pun mencoba membantunya, perubahan hanya bisa terjadi jika Jonas mau bangkit. Tapi ia lebih nyaman menjadi korban keadaan.
"Aku akan berubah kalau nasibku berubah," katanya suatu kali. Namun, tak ia sadari, nasibnya tak akan berubah tanpa ia memulai langkahnya sendiri. Umurpun terus bertamah menuju jompo.***