Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengadaan Uang Pesta Pernikahan di Sumatera dalam Tradisi Budaya yang Unik: Gotong Royong dan Mufakat

27 November 2024   07:49 Diperbarui: 27 November 2024   07:57 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ragam Budaya Pesta Pernikahan dan Tradisi Pengadaan Uang di Sumatera: Gotong Royong Mufakat

Pulau Sumatera sangat terkenal sebagai pulau dengan penduduk ramah, suka bergotong royong, bermufakat. Mereka punya motto atau pepatah. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Meskipun pepatah itu berasal dari Sumatera bagian barat, namun hikmah dan pengajaran pepatah itu berlaku se Sumatera. Bahkan se Indonesia. Tak heran karena penduduk Sumatera terkenal suka merantau. Dengan kesukaan merantau ini, menyebabkan munculnya budaya dan tradisi unik di negeri-negeri di sana.

Mereka memiliki tradisi pernikahan yang penuh warna dan keunikan. Setiap daerah memiliki adat istiadat tersendiri yang mengatur prosesi hingga pembiayaan pesta. Mereka tak bisa berpesta semau gue. Semua pemasukan dan pengeluaran pesta diatur tetua adat.

Di Sumatera Barat tetua disebut Ninik Mamak Cerdik Pandai. Di Sumatera Utara ada yang menyebut Hatobangon khusus masyarakat Tapanuli Selatan. Selain di Sumatera Barat dan Sumatera Utara, daerah lain di Sumatera juga memiliki istilah khusus untuk para tetua adat atau tokoh masyarakat.

Di Riau misalnya, mereka dikenal sebagai Batin atau Penghulu. Tetua ini berperan sebagai pemimpin adat dalam berbagai musyawarah dan penyelesaian masalah.

Di Aceh juga, tokoh adat disebut Tengku Imuem. Mereka tidak hanya memimpin urusan adat tetapi juga menjadi panutan dalam aspek keagamaan.

Sementara itu, di Palembang, Sumatera Selatan, para tetua adat disebut Puyang atau Pasirah. Tetua ini memegang otoritas dalam menjaga tradisi dan hukum adat di wilayahnya. Masing-masing memiliki peran penting dalam menjaga harmoni sosial dan budaya lokal. Termasuk perayaan dan pelaksanaan berbagai jenis hajatan di tengah masyarakat masing-masing.

Tradisi ini tidak hanya menjadi bagian dari warisan budaya, tetapi juga cerminan kearifan lokal yang mengutamakan kebersamaan, gotong royong, dan mufakat. Karena prinsip mereka berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing ini sesuai tuntunan Agama Islam, Al Quran dan Hadist hingga kini tradisi ini tetap bertahan.

Pepatah satu lagi yang mendukung tradisi itu, yang mencerminkan nilai kembali ke kampung halaman setelah merantau sangat terkenal pula di negara kita. "Setinggi-tinggi bangau terbang, hinggapnya ke kubangan juga."

Pepatah ini menggambarkan bahwa sejauh mana pun seseorang pergi merantau anak nagari Sumatera, pada akhirnya akan kembali ke asalnya ke kampung halamannya. Baik itu secara fisik maupun dalam hati yang tetap terikat pada kampung halaman. Mereka akan membawa calon pasangan menikah pulang ke kampung untuk melaksanakan pesta pernikahan yang meriah ala tetua dan adat serta tradisi unik setempat.

Uniknya, mereka sudah siap lahir batin scara finansial dan agama. Dipertegas lagi dengan adanya bantuan saudara setempat layaknya arisan di kota besar. Mereka mencatat semua sumbangan saudara. Nanti di kesempatan lain mereka pula membalas.

Kebiasaan ini memang unik dan meringankan warga setempat. Berikut adalah gambaran mendalam tradisi pernikahan dan pengelolaan uang di beberapa daerah di Sumatera.

1. Minangkabau: Tradisi Badoncek dalam Pernikahan

Di Minangkabau, Sumatera Barat, pernikahan adalah tanggung jawab besar yang melibatkan keluarga besar kedua mempelai. Prosesinya melibatkan berbagai tahapan, seperti maminang (lamaran), batimbang tando (pertukaran tanda), hingga baralek (resepsi) dan pesta pernikahan.

Pengadaan Uang:

Sebagian besar biaya pernikahan biasanya ditanggung oleh keluarga mempelai perempuan. Namun, tradisi badoncek menjadi cara penting untuk meringankan beban biaya pesta tersebut.

Misalnya, pada pesta pernikahan yang diadakan di Solok, keluarga besar mempelai perempuan mengundang kerabat dekat untuk berdiskusi, bermusyawarah, untuk mencapai mufakat mengenai anggaran. Kegiatan musyawarah dipimpin Ninik Mamak Suku.

Setiap anggota keluarga besar kemudian memberikan sumbangan sesuai kemampuan mereka, baik berupa uang maupun bahan makanan seperti beras, kelapa, cabai,  dan ayam juga hasil tani lain yang relevan dengan kebutuhan pesta. Semua itu dicatat rapi agar si pelaksana pesta pun nanti membalas pemberian ini.

Mereka pun bergotong royong dalam memasak untuk hidangan pesta. Tak ada istilah Catering. Rendang, gulai, goreng ikan, sambal lado dimasak bersama.

Ketika hari pesta tiba, tamu undangan juga memberikan sumbangan dalam amplop yang akan dicatat oleh panitia adat. Amplop ini biasanya diserahkan saat tamu tiba di lokasi pesta, dan catatan sumbangan ini akan menjadi pedoman keluarga saat mengembalikan sumbangan pada acara pernikahan keluarga lain. Hasil amplop biasanya bisa menutupi hutang-hutang pesta.

Semakin rajin seseorang menyumbang di hari sebelumnya bila ada pesta saudara maka semakin banyak pulalah uang amplop dan sumbangan saudara yang mereka terima. Besar kecilnya pesta yang tersaji menjadi ciri mereka apakah rajin membantu saudara atau tidak. Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang akan mereka terapkan bersama di daerah Sumatera Barat.

Kebiasaan itu termasuk di kampung saya Pasaman Timur. Pasaman Timur merupakan kabupaten terujung di Sumatera Barat. Berbatasan langsung dengan Sumatera Utara. Kami pun di sana memiliki tradisi Marpege-pege bila ada acara. Salah satunya pesta pernikahsn.

Marpege-pege adalah salah satu tradisi adat Batak Mandailing yang bermakna gotong royong atau saling membantu dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi ini sering dilakukan dalam berbagai acara adat, seperti pernikahan, kematian, atau pesta syukuran. 

Masyarakat sekitar bahu-membahu memberikan bantuan berupa tenaga, makanan, atau sumbangan finansial. Misalnya, dalam pesta adat pernikahan, kerabat dan tetangga akan membantu menyediakan kebutuhan pesta, dari memasak hingga mendirikan tenda, tanpa pamrih. 

Marpege-pege mencerminkan nilai solidaritas dan kebersamaan yang kuat dalam budaya Batak, memastikan setiap acara adat terlaksana dengan baik dan mempererat hubungan sosial. Mereka sangat takut saudara merasa malu. Maka semua bahu membahu. Bergotong royong.

2. Batak: Sinamot dan Tumpak yang Bernilai Tinggi

Pernikahan adat Batak, khususnya di Toba, adalah salah satu yang paling megah dan sarat makna. Prosesi ini melibatkan upacara adat seperti marhata sinamot (pembicaraan tentang mahar) hingga ulaon sadari (resepsi besar-besaran).

Pengadaan Uang:

Sinamot, atau mahar, adalah bagian penting dalam adat Batak. Contohnya, dalam sebuah pernikahan di Balige, sinamot sebesar 50 juta rupiah ditentukan melalui musyawarah antara keluarga.

Uang ini biasanya digunakan untuk membantu keluarga perempuan dalam menyelenggarakan pesta. Selain itu, tradisi tumpak juga dilakukan, bahwa setiap tamu memberikan amplop yang berisi uang sebagai tanda dukungan kepada pengantin. Amplop ini sering kali memiliki jumlah signifikan, terutama jika tamu berasal dari marga yang sama.

Sebagai contoh, dalam pesta adat Batak di Medan, salah satu tamu memberikan tumpak sebesar 2 juta rupiah untuk keluarga pengantin sebagai simbol penghormatan dan kekerabatan mereka. Semua dicatat untuk dibalas ketika saudara tersebut pun mengadakan pernikahan di keluarga mereka.

3. Melayu Riau: Sumbangan Kenduri dalam Kesederhanaan

Di Riau, pernikahan adat Melayu biasanya diawali dengan acara akad nikah yang khidmat di masjid. Kemudian diikuti dengan pesta resepsi yang sederhana namun meriah.

Pengadaan Uang:

Tradisi kenduri sebelum pesta adalah cara masyarakat Melayu Riau menggalang dukungan dari tetangga dan kerabat. Sebagai contoh, pada pesta pernikahan di Pekanbaru. 

Keluarga dari pihak mempelai laki-laki akan  mengadakan kenduri nasi minyak untuk sekitar 50 orang. Setiap tamu yang hadir memberikan sumbangan bisa berupa uang atau bahan makanan seperti minyak goreng dan gula. Sumbangan ini kemudian digunakan untuk membantu membiayai pesta.

Selain itu, tamu undangan biasanya memberikan amplop yang jumlahnya bervariasi, mulai dari 50 ribu hingga 500 ribu rupiah, tergantung pada kedekatan hubungan dengan pengantin saat itu.

4. Aceh: Tradisi Jeulame dan Meugang yang Religius

Pernikahan di Aceh melibatkan nilai-nilai Islam yang kental. Acara seurune kalee (iring-iringan pengantin) dan peusijuek (tepung tawar) menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pesta adat.

Pengadaan Uang:

Jeulame atau mas kawin yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan biasanya berupa uang, emas, atau barang berharga lainnya. Sebagai contoh, dalam pernikahan di Banda Aceh.

Keluarga pengantin laki-laki memberikan jeulame sebesar 10 mayam emas (setara dengan sekitar 30 juta rupiah) sebagai simbol penghormatan.

Selain itu, tradisi meugang juga membantu meringankan biaya pesta. Dalam pernikahan di Aceh Besar, masyarakat sekitar menyumbang bahan makanan seperti daging sapi, beras, kelapa, dan rempah-rempah, yang kemudian dimasak bersama untuk menjamu tamu. Sangat kompak mereka.

5. Palembang: Uang Seserahan dan Mahar yang Megah

Pernikahan adat Palembang pun tak kalah solidnya bergotong royong. Mereka dikenal dengan kemewahannya, terutama jika melibatkan keluarga yang memiliki keturunan ningrat atau bangsawan.

Pengadaan Uang:

Salah satu tradisi khas adalah pemberian uang seserahan oleh mempelai laki-laki. Dalam sebuah pernikahan adat di Palembang, uang seserahan sebesar 25 juta rupiah diserahkan kepada keluarga perempuan, selain mahar berupa emas seberat 20 gram. 

Uang seserahan ini biasanya digunakan untuk membantu biaya resepsi yang melibatkan ratusan tamu. Di pihak keluarga mempelai laki-laki akan ada gotong royong dalam mengatasi dana ini. Meskipun pihak keluarga sebetulnya sudah menabung jauh-jauh hari sebelumnya.

Selain itu, tradisi sumbangan dari kerabat baik kerabat mempelai laki-laki dan perempuan juga umum dilakukan. Dalam sebuah pesta di Kayuagung, keluarga besar memberikan bantuan berupa uang tunai dan bahan makanan seperti ikan patin dan beras, yang digunakan untuk menghidangkan pindang patin, salah satu menu khas resepsi Palembang.

Makna Kebersamaan dalam Tradisi Pernikahan Sumatera

Tradisi pengadaan uang dalam pesta pernikahan di Sumatera baik di keluarga mempelai laki-laki maupun perempuan bukan hanya sekadar membantu biaya, tetapi juga menjadi simbol kebersamaan dan solidaritas mereka.

Dengan adanya tradisi unik turun temurun seperti badoncek, tumpak, pege-pege, atau kenduri, masyarakat Sumatera menunjukkan bahwa pernikahan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya urusan keluarga inti terutama masalah kualitas pesta.

Melalui tradisi ini, nilai-nilai gotong royong dan saling membantu tetap terjaga, mencerminkan kekayaan budaya dan jiwa kebersamaan masyarakat Sumatera yang tak lekang oleh waktu.

Namun, bila beban pesta pernikahan ini kita kaji di daerah perantauan atau kota besar, situasinya menjadi lebih kompleks dan kontroversial. Tidak seperti di kampung halaman yang penuh tradisi gotong royong.

Di kota, seluruh biaya pernikahan biasanya ditanggung oleh mempelai atau keluarganya saja. Ketiadaan tetua adat, kerabat dekat, atau tradisi unik seperti badoncek atau marpege-pege menjadikan semuanya bersifat individual. Tentu terasa berat dan menekan.

Biaya pesta pernikahan di kota pun sangat tinggi. Wedding Organizer (WO) dan katering saja bisa menghabiskan anggaran antara 150 juta hingga 300 juta rupiah. Angka ini bukan karena alasan mewah atau pamer, tetapi lebih kepada standar kota yang serba praktis dan modern.

Namun, kondisi ini dapat menjadi beban berat, terutama bagi pasangan muda. Sudah saatnya pemerintah kota menghidupkan kembali semangat kebersamaan melalui sistem arisan atau gotong royong, seperti yang diterapkan dalam tradisi di Sumatera.

Inisiatif ini dapat diwujudkan melalui peran lurah, Ketua RT, dan Ketua RW setempat. Dengan adanya sistem kebersamaan, beban biaya pernikahan dapat diringankan. Pesta pernikahan tidak lagi dianggap momok yang menakutkan bagi generasi muda. Jangan sampai fenomena enggan menikah, seperti yang terjadi di beberapa negara maju, menjadi ancaman bagi Indonesia.

Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga dunia pendidikan kita. Penting bagi generasi muda untuk memahami bahwa pernikahan adalah tonggak regenerasi yang harus dilestarikan sebagai bagian dari budaya dan kehidupan bermasyarakat.

Membudayakan kembali nilai gotong royong adalah pekerjaan rumah besar bagi kita semua demi menjaga keberlanjutan masyarakat Indonesia. Semangat dunia pendidikan Indonesia. Tantangan baru buatmu dalam membentuk karakter generasi muda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun