Di kota, seluruh biaya pernikahan biasanya ditanggung oleh mempelai atau keluarganya saja. Ketiadaan tetua adat, kerabat dekat, atau tradisi unik seperti badoncek atau marpege-pege menjadikan semuanya bersifat individual. Tentu terasa berat dan menekan.
Biaya pesta pernikahan di kota pun sangat tinggi. Wedding Organizer (WO) dan katering saja bisa menghabiskan anggaran antara 150 juta hingga 300 juta rupiah. Angka ini bukan karena alasan mewah atau pamer, tetapi lebih kepada standar kota yang serba praktis dan modern.
Namun, kondisi ini dapat menjadi beban berat, terutama bagi pasangan muda. Sudah saatnya pemerintah kota menghidupkan kembali semangat kebersamaan melalui sistem arisan atau gotong royong, seperti yang diterapkan dalam tradisi di Sumatera.
Inisiatif ini dapat diwujudkan melalui peran lurah, Ketua RT, dan Ketua RW setempat. Dengan adanya sistem kebersamaan, beban biaya pernikahan dapat diringankan. Pesta pernikahan tidak lagi dianggap momok yang menakutkan bagi generasi muda. Jangan sampai fenomena enggan menikah, seperti yang terjadi di beberapa negara maju, menjadi ancaman bagi Indonesia.
Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga dunia pendidikan kita. Penting bagi generasi muda untuk memahami bahwa pernikahan adalah tonggak regenerasi yang harus dilestarikan sebagai bagian dari budaya dan kehidupan bermasyarakat.
Membudayakan kembali nilai gotong royong adalah pekerjaan rumah besar bagi kita semua demi menjaga keberlanjutan masyarakat Indonesia. Semangat dunia pendidikan Indonesia. Tantangan baru buatmu dalam membentuk karakter generasi muda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H