Pagi itu, langit masih sedikit berwarna jingga saat Dita berjalan menyusuri jalan setapak menuju sekolah. Seperti biasa, ia menyimpan banyak pertanyaan dalam benaknya, terutama tentang dunia yang sering kali tampak begitu rumit di hadapannya.
Dita bukan anak yang mudah percaya diri. Setiap tugas yang diberikan gurunya selalu membuatnya khawatir. Ia takut gagal, takut mengecewakan, dan takut dianggap tidak mampu.
Di kelas, sosok Bu Rina, guru favoritnya, sudah berdiri di depan papan tulis. Senyum hangatnya menyambut para siswa yang berhamburan masuk.
"Selamat pagi, anak-anak!" Sapa Bu Rina dengan suara lembut, namun tegas. Ada sesuatu dalam diri Bu Rina yang membuat para siswa merasa aman, meskipun tugas-tugas sekolah kerap kali menantang.
Saat pelajaran dimulai, Dita berusaha menyimak dengan baik, namun pikirannya berkecamuk. Ketika Bu Rina mulai membagikan tugas matematika, perasaan khawatir Dita semakin memuncak. Ia menundukkan kepalanya, meremas ujung buku tulisnya, takut gagal lagi seperti minggu lalu mendera lagi. Tak lama, Bu Rina berjalan mendekati bangkunya.
"Ada yang ingin kamu tanyakan, Dita?" Tanya Bu Rina, suaranya tegas tapi penuh perhatian. Dita menatap Bu Rina dengan ragu.Â
"Saya tidak yakin bisa menyelesaikan tugas ini, Bu." Bu Rina duduk di sampingnya.
"Coba dulu, kalau tidak berhasil, kita bisa bicarakan baik-baik. Saya yakin kamu bisa melakukannya."
Kata-kata itu membuat hati Dita sedikit tenang. Walau masih kurang yakin, ia pun mulai mencoba mengerjakan tugasnya, kali ini dengan keyakinan bahwa ia tidak sendirian.
Bu Rina, dengan sabar, memantau dari jauh, siap membantunya kapan pun dibutuhkan.
Hari itu, Dita menyelesaikan tugasnya. Meski tidak sempurna, ia merasa bangga karena berani mencoba. Senyum Bu Rina saat memeriksa hasil pekerjaannya seakan mengatakan bahwa setiap langkah kecil adalah kemajuan yang besar.
Dita belajar bahwa seorang guru bukan hanya pemberi ilmu tapi juga pemandu yang siap mengulurkan tangan ketika murid-muridnya merasa tersesat.
Sejak hari itu, Dita mulai memandang sekolah bukan lagi sebagai tempat yang menakutkan, melainkan sebagai rumah kedua. Sebagai tempat ia bisa bertumbuh dengan dukungan yang tak terbatas dari sosok yang menginspirasinya---gurunya.
Guru Mirip Orangtua
Menjadi seorang guru tanggung jawab besar yang memerlukan perhatian khusus. Tidak hanya dalam hal memberikan pendidikan akademis tetapi juga membimbing siswa dalam pengembangan kepribadian dan moralitas mereka.
Sebagai seorang guru, membangun hubungan positif dengan siswa menjadi salah satu prioritas utama. Hubungan ini dapat terwujud melalui komunikasi yang efektif.Â
Penyampaian pesan yang tepat serta membentuk suasana kelas yang mendukung tumbuhnya rasa percaya diri dan kemandirian pada siswa.
Salah satu tantangan terbesar dalam dunia pendidikan adalah bagaimana cara berkomunikasi dengan siswa. Terutama saat menyampaikan nasihat atau instruksi. Mirip dengan peran orang tua, seorang guru harus berhati-hati dalam memilih kata-kata yang disampaikan kepada siswa.
Hindari 5 Kalimat ini Saat Berbicara dengan Siswa
Lima kalimat ini baik. Tapi disarankan tak diucapkan guru kepada siswanya. Apalagi saat menghadapi siswa bermental stroberi. Mental stroberi adalah istilah yang mengacu pada generasi muda atau orang-orang yang dianggap tidak tahan terhadap tekanan atau kesulitan.
Mereka mirip seperti stroberi yang tampak cantik tetapi mudah rusak jika ditekan sedikit saja. Istilah ini sering dipakai untuk menggambarkan individu yang cenderung rentan secara emosional.
Siswa yang cepat merasa tertekan atau mudah menyerah ketika menghadapi tantangan maupun kritik. Biasanya, istilah ini digunakan dalam konteks kritikan terhadap mereka yang dianggap kurang memiliki daya juang atau ketahanan mental.
Kalimat ini justru kadang membuat siswa merasa ditinggalkan atau tak diperhatikan oleh gurunya. Berikut penjelasannya.
1. "Kamu harus bekerja lebih keras lagi!" atau "Ini tidak sulit, kamu pasti bisa."
Salah satu contoh adalah ketika siswa mengalami kesulitan dalam belajar atau memahami sesuatu. Seorang guru mungkin tergoda untuk mengatakan, "Kamu harus bekerja lebih keras lagi!" atau "Ini tidak sulit, kamu pasti bisa."
Meskipun kalimat tersebut bermaksud memotivasi, namun sering kali, siswa bisa merasa tidak didengar atau merasa diabaikan perasaannya oleh kalimat seperti itu dari gurunya. Terutama murid yang sensitif.
Dalam kasus ini, sangat penting bagi guru untuk mendengarkan siswa dengan penuh perhatian dan menghargai perasaan mereka.Â
Sebagai contoh, alih-alih mengabaikan keluhan siswa, guru dapat kok mencoba bertanya, "Apa yang membuat kamu merasa kesulitan?"
"Mari kita coba memahami ini bersama." Dengan begitu, siswa akan merasa didukung dan diperhatikan, dan mereka tidak akan merasa bahwa perasaan mereka diabaikan.
2. "Saya tidak bisa membantumu terus-menerus."Â
Di sisi lain, seorang guru juga harus menghindari membuat siswa merasa kecil atau tidak mampu dengan mengatakan, "Saya tidak bisa membantumu terus-menerus."Â
Sebaliknya, menawarkan dukungan dengan pendekatan yang lebih terbuka, misalnya, "Mari kita coba bersama. Jika kamu masih kesulitan, saya akan membantumu lebih lanjut," akan jauh lebih efektif dalam mendorong kemandirian siswa tanpa membuat mereka merasa ditinggalkan.
Tak jarang pula, dalam situasi tertentu, guru harus memberikan instruksi yang spesifik kepada siswa. Sama halnya dengan orang tua, mengajarkan anak-anaknya untuk berperilaku baik kepada siapa saja.
Guru juga perlu memberikan arahan yang jelas. Misalnya, ketika berada di laboratorium sains, guru dapat mengatakan, "Tolong pastikan untuk tidak menyentuh alat-alat sebelum instruksi diberikan." Dengan memberikan arahan yang spesifik, siswa akan lebih mudah memahami apa yang diharapkan dari mereka dan dapat berperilaku sesuai yang diharapkan.
3. "Kenapa kamu tidak mengatakan ini lebih awal?"
Sebagai seorang guru, membina kepercayaan dengan siswa juga sangat penting. Saat siswa mulai membuka diri tentang masalah yang mereka hadapi, hindari memberikan respons seperti, "Kenapa kamu tidak mengatakan ini lebih awal?"
Sebaliknya, berikan apresiasi dengan mengatakan, "Terima kasih sudah berbagi cerita ini." Dengan demikian, siswa akan merasa dihargai dan didengar, yang pada akhirnya akan memperkuat hubungan antara guru dan siswa.
4. "Ini bukan masalah besar"
Meskipun siswa mengalami suatu hambatan atau masalah mungkin tampak sepele bagi kita guru. Bukan berarti hal itu terasa sepele bagi seorang siswa.
Sering kali, guru mengatakan, "Ini bukan masalah besar," ketika siswa mengalami suatu hambatan.
Pernyataan-pernyataan ini sering kali tak menghargai perasaan siswa. Pernyataan tersebut dapat membuat siswa merasa bahwa perasaan mereka diabaikan atau percaya bahwa perasaan mereka tidak dihargai.
Hal itu juga dapat menyebabkan siswa meragukan diri mereka sendiri dan keabsahan perasaan atau pengalaman mereka.
Lantas, bagaimana guru harus bersikap seharusnya? Kita bisa mencoba mengajukan pertanyaan terbuka pada siswa, seperti, "Hal ini tampaknya sangat penting bagimu. Sekarang, coba beri tahu Ibu/Bapak mengapa kamu merasa kesal."
5. "Kamu harus bersikap baik"
Kalimat ini pun terkesan baik. Siswa sering kita beri nasihat agar berperilaku baik. Misalnya saat berada di sekolah, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, atau dalam situasi lainnya.
Namun, kalimat "Kamu harus bersikap baik." Kalimat ini tak cukup spesifik untuk membantu siswa. Siswa tak selalu tahu seperti apa perilaku "baik" yang dimaksud dalam situasi itu.
Oleh karena itu, guru harus lebih jelas dalam memberikan arahan kepada siswa. Misalnya, saat di perpustakaan, guru bisa mengucapkan, "Ibu/Bapak ingin kamu duduk dengan tenang, berbicara dengan suara pelan, dan hanya mengambil buku yang ingin kamu baca."
Guruku, Inspirasiku (Penutup)
Tahun demi tahun berlalu. Dita kini bukan lagi gadis kecil yang takut akan tugas-tugas sekolah apalagi matematika. Ia tumbuh menjadi sosok yang percaya diri. Bukan hanya karena kemampuannya memahami pelajaran tapi karena pelajaran hidup yang Bu Rina tanamkan di dalam dirinya.
Setiap kata, setiap perhatian kecil, dan setiap dukungan yang Bu Rina berikan seakan melekat di dalam hatinya.
Saat hari kelulusan tiba, suasana sekolah dipenuhi tawa dan air mata. Para siswa berbaris dengan toga dan senyum bangga di wajah mereka.
Dita, berdiri di antara teman-temannya, merasakan getaran kebahagiaan yang aneh. Ini adalah hari yang telah lama ia tunggu-tunggu tetapi juga hari yang membuat hatinya sedikit berat.
Setelah upacara selesai, Dita berjalan mendekati Bu Rina yang sedang tersenyum hangat di sudut aula. Tanpa kata, Dita memeluk gurunya erat-erat.
"Terima kasih, Bu. Saya tidak akan sampai di sini tanpa bantuan Ibu," bisiknya.
Bu Rina membalas pelukannya dengan lembut. "Kamu yang sudah berusaha keras, Dita. Ibu hanya membantumu percaya pada dirimu sendiri."
Air mata Ditapun jatuh tapi kali ini bukan karena takut atau cemas. Ini adalah air mata rasa syukur. Guru yang berdiri di depannya adalah sosok yang tidak hanya mengajarinya ilmu pengetahuan tapi keberanian untuk bermimpi, untuk jatuh, dan untuk bangkit kembali.
Sebelum berpisah, Bu Rina memberikan sebuah buku kecil kepada Dita. Di dalamnya, tertulis kata-kata yang sederhana tapi penuh makna: "Jadilah dirimu sendiri, percayalah bahwa kamu bisa, dan dunia akan terbuka untukmu."
Dita tersenyum. Ia tahu, nasihat Bu Rina akan selalu bersamanya, ke mana pun ia pergi. Hari itu, ia berjalan meninggalkan sekolah dengan kepala tegak dan hati penuh keyakinan. Guru yang pernah menjadi inspirasinya, kini memberinya sayap untuk terbang lebih tinggi lagi.
Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H