Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Bonding Anak dan Orangtua Renggang: Mungkinkah karena Beda Generasi?

20 September 2024   16:50 Diperbarui: 21 September 2024   06:26 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bonding orangtua-anak. Foto dokpri Yusriana

Hubungan Anak dan Orangtua Renggang: Apa Mungkin karena Perbedaan Generasi?

Hal itu lagi topik hangat saat ini. Ya, hubungan antara orangtua dan anak renggang,  semakin renggang, bahkan sangat renggang.

Hal itupun dikaitkan dengan perbedaan generasi. Banyak di antara pengamat psikologi anak beranggapan bahwa jurang generasi itu menyebabkan anak dan orangtua tak saling memahami.

Namun, hal ini masih menimbulkan tanda tanya. Benarkah kerenggangan itu murni disebabkan perbedaan zaman atau ada faktor lain yang lebih spesifik?

Perbedaan Generasi: Penghalangkah atau Peluang?

Perbedaan generasi antara orangtua dan gen Z-Alfa dalam konteks teknologi, nilai sosial, dan gaya hidup, memang sering kali menjadi pemicu ketegangan. Ketegangan antara orangtua, anak, bahkan saya guru mereka. 

Generasi lebih tua, tak sepenuhnya memahami dunia digital yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak mereka. Sementara itu, anak-anak merasa bahwa cara pandang orangtua terhadap dunia terlalu kaku dan kuno.

Demikian juga saya selaku guru Bahasa Indonesia mereka. Bila saya mendapati pesan seperti ini, "Buk, apakah anak saya Amim harus tiap hari memakai HP dalam belajar?"

Waduh, pusing juga saya mau jawab. Jujur, saya memang menyuruh anak bikin tugas mereka di HP. "Angsur  satu paragraf per hari ya, Nak!"

Saya jadi mikir, sesulit itukah menemani buah hati mereka dalam menulis satu paragraf di HP? Maksud saya, sesudah putra-putri mereka mengetik satu paragraf, ayo simpan lagi HP-nya  sesudah dikirim kepada saya gurunya. Harmonisasi orangtua-anak dalam tanda tanya saya. He he he.

Meskipun perbedaan zaman menjadi alasan utama dalam ketidakharmonisan hubungan mereka, banyak pakar psikologi berpendapat bahwa yang lebih penting di sini cara komunikasi dan pola asuh yang diterapkan oleh mereka selaku orang tua.

Perbedaan zaman sebenarnya bisa menjadi peluang sukses anak untuk saling belajar memahami, asalkan ada keterbukaan, pengawasan,  dan empati dari kedua belah pihak.

Saya masih ingat si sulung saya ketika Sekolah Dasar dan SMP. Tahun 2008-2017. Kala itu belum membudaya android se keren sekarang. Saya memakai laptop dan modem mendampingi anak saya belajar. 

Saya tak bisa matematika, Fisika, dan Bahasa Arab. Bersama si sulung saya kerja sama memanfaatkan browser pencarian. Saya cari soal berikut kunci jawaban ketiga pelajaran itu. Lalu saya sembunyikan kunci jawaban dan saya share dan catat soal untuk si sulung.

Alhamdulillah. Ia sukses ulangan harian dan latihan dengan gurunya di sekolah. Ia pun sukses Ujian Nasional (UN). Bahkan sukses masuk SMA impiannya lewat pemanfaatan teknologi ini. Kuncinya, temani mereka dalam memanfaatkan teknologi itu.

Harmonis. Foto Dokpri Yusriana
Harmonis. Foto Dokpri Yusriana

Hubungan dengan Orangtua: Refleksi Dirikah?

Berkaca pada diri sendiri perlu. Demikian juga hubungan orangtua dengan anak bisa menjadi refleksi penting bagi Ayah Bunda. Contoh, dulu sebagai anak, kita sering merasa tidak didengar atau dipahami oleh orangtua kita yang kelahiran 70 tahunan.

Meski begitu, seiring waktu dan kedewasaan kita terseleksi juga tetap sukses sebagai anak mereka. Namun, perspektif ini sudah berubah sekarang.

Saat ini menjadi orangtua, tantangannya dalam mengasuh anak yang beranjak remaja sangat besar. Dulu zaman kita kanak-kanak belum faham lawan jenis, skincare, seks dini, memeras, dan membully.

Semua masih alami. Ke sekolah, ke sawah, ke ladang, masih aman-aman saja. TV masih hitam putih. Namun anak kita hari ini sudah mengenal lawan jenis sejak mereka TK. Ada tontonan vulgar di android Ayah Bunda yang diam-diam mereka tonton.

Kadang kita orang tua tak menyadari itu. Sekarang, mereka sudah kebablasan. Zamannya mengasuh anak dalam proses belajar dua arah---baik untuk orangtua maupun anak. Orang tua harus bijak menjelaskan yang sudah bablas itu.

Namun, dalam proses pengasuhan anak remaja ini, banyak orangtua kaget, merasa frustasi ketika anak mereka mulai menunjukkan sikap menentang. Mereka ngotot ingin memakai HP sendiri.

Ya, pada tahap ini, anak sedang mengalami proses pemisahan diri dari kita selaku orangtua mereka.

"Bunda ganggu aja." Katanya pas saya duduk atau rebahan di atas dipannya. Mereka mulai mencari identitas dan daerah otonominya. Saya cuma diizinkan berdiri di pintu. Tak boleh menyejajarkan duduk apalagi rebahan dengannya.

Ini fase alami Ayah Bunda. Tapi hal ini sering kali membuat orangtua merasa terabaikan, dicuekin, tak didengar, atau tak dihargai. Terima saja dulu. Nanti ketika dia enjoy baru kita selidiki. He he he.

Tantangan dalam Mengasuh Anak Remaja pasti!

Mengasuh anak remaja, salah satu tantangan terbesar bagi kita orangtua saat ini. Pada usia ini, anak-anak mulai mengeksplorasi diri mereka. Dunia mereka di luar kendali kita orangtua. Mereka mulai membangun identitas diri mereka sendiri sesuai circle mereka. 

Bahkan di masjid pun mereka duduk sesuai circlenya. Mereka mahota-meribut, tertawa, lirik-lirik lawan jenis. Bagi anak putri bahkan sudah nyoba-nyoba lips balm berwarna di bibir mereka.

"Dih... mirip tante-tante!" Seru saya pada mereka. Alis mereka pun sudah dicukur dan bulu mata diberi maskara. Rabb. Mereka hanya memutar bola mata. Bila saya bilang tante. Besok. Mereka pakai lagi. Baru siswa SMP lo Ayah Bunda, murid saya.

Proses inilah yang bisa menimbulkan gesekan. Terutama jika orangtua masih berpegang teguh pada pola asuh cenderung otoriter. Sehingga banyak anak remaja merasa bahwa orangtua mereka tak keren. Terlalu mengekang mereka.

Sementara orangtua merasa bahwa anak-anak mereka tak lagi mendengarkan nasihat mereka. Kebakaran jenggot deh. Situasi ini sering kali memicu konflik jadinya.

Di satu sisi, anak ingin kebebasan dan di sisi lain, orangtua merasa bertanggung jawab untuk melindungi mereka. Bila kita refleksi, padahal, pemisahan individualitas mereka ini masih hal yang wajar dalam perkembangan remaja. Pandai-pandai kita memberi masukan.

Nah, Bagaimana Membangun Hubungan yang Dekat dengan Mereka?

Untuk membangun hubungan dekat dengan anak perlu kesepakatan. Komunikasi terbuka dan penuh empati kunci utama. Orangtua pertama-tama perlu belajar mendengarkan mereka. Mendengarkan tanpa menghakimi. 

Minta anak belajar untuk menyampaikan perasaan mereka dengan jujur. Bentuk bonding yang baik antara orangtua dan anak bisa berupa kegiatan bersama yang diminati kedua belah pihak.

Sepakati dulu dengan anak. Seperti berolahraga kapan? Menonton film kapan? Memasak bareng boleh juga, atau bahkan sekadar berbincang ringan dengan anak. Kalau saya kebetulan selalu bersama anak di atas motor pulang sekolah. Berbincang ringan dan tukar pendapat jadi gampang.

Selain itu, kita orangtua perlu menunjukkan gestur tubuh bahwa kita hadir dalam kehidupan mereka selaku anak, bukan hanya sebagai pemberi nasihat. Tetapi Ayah Bunda sebagai pendukung.

Bangun kepercayaan dengan anak kita.  Proses untuk ini memang panjang. Butuh strategi, keikhlasan, dan sangat penting agar hubungan tersebut bisa bertahan dengan baik dan selamanya.

Tips untuk Orangtua agar Bonding dengan Anak Tak Renggang

Beberapa tips ini semoga bisa diterapkan untuk membangun hubungan yang lebih dekat dengan anak kita Bunda:

Pertama, Luangkan waktu untuk berkomunikasi

Jadwalkan waktu khusus untuk berbicara dengan anak tanpa gangguan. Baik gangguan dari gadget maupun pekerjaan kita selaku orangtua.
   
Kedua, Belajar mendengarkan mereka

Jangan buru-buru menghakimi atau memberikan nasihat pada anak. Dengarkan apa yang anak katakan sampai selesai. Fahami lalu berdiskusilah dengan anak untuk menentukan solusi.

Ketiga, Berikan kebebasan yang terarah untukanak

Anak remaja membutuhkan ruang untuk mengeksplorasi dunia mereka, tetapi pastikan tetap ada batasan yang jelas. Misal ikutkan anak kegiatan sesuai hobinya. Menari untuk putri dan footsal mungkin untuk putra.

Keempat, Jadilah teladan untuk anak

Anak-anak sering kali mencontoh perilaku orangtua mereka. Jika kita ingin anak lebih terbuka, cobalah untuk lebih terbuka juga kepada mereka. Ajaklah mereka bercerita tentang teman-teman yang dia senangi.

Kelima, Hindarilah overprotektif secara terang-terangan

Memberi kepercayaan kepada anak untuk membuat keputusan mereka sendiri merupakan bagian penting dari perkembangan mereka. Namun, kita harus tetap mendampingi mereka dari jauh. Rahasiakan bahwa kita mengawasi mereka.

Perlu Menghadapi Konflik dengan Bijak, Bun!

Menghadapi konflik antara orangtua dan anak sesuatu yang tak terhindarkan. Itu siklus hidup. Makin cerdas orangtua dan anak, tentu konflik pun akan sering hadir. Baik konflik ide, konflik batin, maupun konflik fisik.

Kecerdasan kita untuk cara menyelesaikannya menjadi kunci penting untuk menjaga hubungan tetap harmonis. Cara terbaik tentu dengan menyelesaikan konflik itu secara terbuka. Kita selaku orangtua tak menutup diri, dan tetap mencoba memahami perspektif anak kita.

Pendekatan agama salah satu andalan kita. Setiap keluarga memiliki dinamika unik, dan meskipun masalahnya serupa, tapi solusi yang diterapkan bisa berbeda-beda. Hal terpenting orangtua memastikan bahwa baik kita selaku orangtua maupun anak tetap harus dalam konteks merasa dihargai, didengar, dibutuhkan, dan disayangi dalam proses penyelesaian konflik.

Tiap masalah akan melewati tapan muncul masalah, masalah mulai memuncak, masalah memuncak, masalah mulai reda, masalah reda hingga selesai. Hikmahnya, Fa inna ma'al usri yusro. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Ya, sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan. Ikhlas ya Ayah Bunda.

Dokpri Yusriana
Dokpri Yusriana

Penutup

Akhirnya sampailah kita ke penutup bahwa hubungan antara anak dan orangtua memang saat ini diuji perbedaan zaman dan gen generasi. Namun ini tak menjadi alasan untuk renggangnya hubungan orangtua dengan anak. Komunikasi yang baik, empati, keterbukaan, kasih sayang, dan agama bisa tetap menimbulkan harmonisasi antara kita. Meskipun ada tantangan yang harus dihadapi, haqqul yakin bisa diselesaikan.

Mmmmhhh...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun