Hari ini aku berkunjung ke rumah Marni sahabat masa kecilku. Marni juga merantau ke kota. Kami tergabung dalam group Ikatan Keluarga  Muslim Tapanuli yang kami singkat IKMT.
Aku memandangi rumah di depanku. Pekarangan luas. Ada mobil Avanza terparkir di sebelah kiri bangunan. Di sebelah kanan terlihat tanaman sayuran daun singkong. Begitu subur tanaman itu.
Seterusnya aku melangkah menuju pintu rumah Marni yang berwarna putih bersih. Pintu dengan dua belahan itu terlihat kokoh dengan kayu berkualitas baik sepertinya.
Di atas pintu ada tulisan salam dan di bawahnya ada nama Marni Sagita. Konon kata Marni dia diberi nama Sagita karena ia berbintang Sagitarius. Ternyata Mak si Marni di kampung keren juga kasih nama. Pakai nama bintang segala. Ha ha ha. Aku tertawa dalam hati.
Akupun segera menekan bel rumah Marni. Tak lama keluarlah seorang  perempuan berjilbab sorong. Kira-kira dua tahun lebih muda dari kami. Bisa jadi seumuran. Saat perempuan itu tersenyum, akupun membalas senyumnya. Ternyata ia ramah.
"Nyari siapa ya, Kak?" Tanyanya dengan sopan.
"Nyari Marni, Dek! Adakah?" Tanyaku tak kalah ramah.
"Ada, Kak. Mari masuk ajaknya.
Akupun masuk mengikuti langkahnya. Saat pintu terkuak terpampanglah satu set kursi tamu nan indah kualitas jati. Di atas meja tertata satu set bunga cantik. Ruang tamu yang manis lagi minimalis.
"Duduk, Kak!" Suruh perempuan itu. "Saya Wita, Kak. Asisten Rumah Tangga Bu Marni." Lanjutnya.
"Oh, selamat berkenalan ya, Wita. Udah lama kerja di sini?"
" Udah 10 tahun, Kak." Jawabnya tulus. "Bentar, Kak. Saya panggil dulu" Pamitnya.
"Hai, hai, hai... !" Ceria Marni seperti biasa saat berjumpa denganku. "Udah lama, Jeni?" Lanjut Marni.
"Lumayan. Aku ganggu, nggak?" Tanyaku nakal sambil mengerling.
"Nggak. Aku dan Wita aja di rumah. Kita ke atas aja, Jeni. Sambil ngobrol sama Wita. Jangan sungkan. Abangku lagi pulang kampung, kok." Jelasnya panjang lebar.
"Tumben suami kamu pulang kampung, Marni. Lagi ada acara apaan?" Tanyaku.
"Nggak ada acara, Jen. Kebetulan aja, dia lagi butuh pulang. Lagi ngambekan. Nggak tahu sebabnya. Mungkin lagi banyak job di kantor belum kelar. Hi hi hi." Tawa Marni bergema.
Hah, ternyata suami juga butuh pulang kampung, ya? Tiba-tiba aku teringat Mba Eka yang menjual HP Celuler di dekat lampu merah.
Kala itu Mba Eka juga lagi ceria di konter HP-nya. Tanya punya tanya, si suami juga lagi mogok bicara. Diam aja katanya. "Bagus, abang pulang kampung dulu, Dek Jeni. Biar refresing. Ntar balik sini udah ceria lagi."
"Bisa ya, Mba Eka?" Tanyaku ragu kala itu.
"Betul, Dek. Abang sering kalau lagi banyak pikiran mendiamin Mbak. Kadang sampai dua malam nggak nyapa. Dikorek pun nggak mau cerita. Diiiam aja. Yah, Mba diamin jugalah." Terang Mba Eka lagi.
"Berapa lama tuh, Mbak?" Tanyaku lagi.
" Eh, bisa dua malam sampai seminggu, Dek. Biasanya, hari ketiga izin pulang kampung lagi, Dek."
Akupun manggut-manggut. Ternyata bukan suamai Marni saja yang butuh pulang kampung. Suami Mba Eka juga. Ketika para suami mereka butuh pulang kampung, istri-istri mereka malah happy. Bisa begitu ya?
Mirip lagu Runtuh yang dipopulerkan oleh Feby Putri dan Fiersa Besari kali ya? Perasaan yang sedang tidak baik-baik saja, namun tetap mencoba bahagia. Tersenyum.
Yah, pastilah perasaan Mba Eka dan Marni sahabatku sedang gundah ketika suami mereka butuh pulang kampung. Namun, di hadapan pelanggan toko Mba Eka harus ceria. Begitu juga dengan Marni sahabatku, di depanku dan asistenya, ia tetap lucu dan ceria.
Terbangun di antara sepi. Di depanku mereka bersikap ramai. Bercanda. Meski sebetulnya ada luka di hati mereka. Namun, tetap berpura-pura bahagia. Tapi saat sendiri malah menangis.
Yah, memang seperti inilah harusnya berpura-pura tertawa dan ramai di depan sahabat meski menangis di kala sendiri. Yah, terluka ketika suami butuh pulang kampung. Drama rumah tangga yang unik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H