"Bunda! Adek tak bisa mengerjakan Bahasa Arab ini. "
Begitu teriak si kecil saat ia duduk di Madrasah Ibtidaiyah kelas V. Akupun segera menerawang. Teringat saat usiaku kelas V Sekolah Dasar dan kelas V MDA.
Ayah mengantarkanku ke sekolah MDA untuk sekolah Arab. Sekolah Arab dulu kami menyebutnya. Di MDA ini memang kami hanya belajar Bahasa Arab dasar dan mengaji.
Yah, 27 tahun lalu. Aku mengikat kuda rambutku. Memakai bedak tipis dan memakai baju kurung plus selendang segi tiga ke sebuah Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA).
Madrasah itu tak begitu jauh dari rumahku. Sekitar 100 meter. Tepatnya di sebelah Masjid Taqwa Muhammadiyah di kampungku. Semua anak seusia kami dimasukkan ke Madrasah itu agar pintar berbahasa Arab.
Namun, aku ingat. Hanya seminggu aku rajin ke Madrasah. Otakku tak bisa memahami pelajaran di sana, ya, Bahasa Arab. Akupun menghabiskan waktu bersama Raya temanku lebih banyak.
Masih nyata dalam ingatanku. Kami berdua seusia. Cuma kami beda sekolah. Raya di MDA Nahdhatul Ulama (NU) dan aku di MDA Taqwa Muhammadiyah.
Suatu hari di musim buah-buahan, seperti buah langsat manis, rambutan, dan jeruk, kami berdua sepakat pergi memungut buah yang jatuh dari pohonnya. Kami cabut sekolah Arab atau MDA.
Langkah kami berdua pasti menuju kebun buah tersebut. Kami terus berjalan sambil bercerita kanak-kanak. Tiba di bawah pohon langsat manis, kami tersenyum. Begitu banyak buah jatuh. Kamipun asyik memakan buah yang tak semanis duku Palembang itu. Untuk kami masam-masam sikit tak masalah.
Kami berdua asyik memungut buah itu. Baju kami dijadikan sebagai gendongan menampung buah tersebut. Tanpa kami sadari buah sudah penuh dalam gendongan kami. Kamipun melanjutkan perjalanan menuju kebun rambutan.