Di bawah batang petai cina kami berdua diikatnya. "Kecil-kecil maling kalian berdua ya. Di sini saja kamu berdua sampai orang tua kalian datang menjemput." Marah si om pemilik kebun jeruk itu.
Aku tidak tahu pasti apakah om itu mengenalku dan Raya. Sawah orang tuaku persis di sebelah kebun jeruk ini. Namun, aku jarang ke sawah itu. Akupun tidak akrab dengan om itu meski ia paman teman sekelasku di SD.
Keluarga mereka baru pindah dari Jakarta. Mereka seolah menjaga jarak dengan warga. Hanya sesekali mereka bercengkrama dengan ayahku.
Akupun terpaksa pasrah. Raya masih saja menangis. Aku iba melihatnya. Akupun menyesal mengajaknya main ke kebun dan cabut hari ini. Duh, penyesalanku berlipat-lipat. Dari jauh kulihat pula ayah mendorong sepedanya.
Kepasrahanku makin berlipat-lipat. Kulihat ayah menegur si pemilik kebun. Mereka terlihat berbincang akrab. Sesekali Ayah dan om itu melirik ke arah kami. Kemudian Ayah pamit. Beliau menuju ke arah kami. Beliau tanpa bersuara menyandarkan sepedenya.
Beliau menghampiriku dan Raya tanpa suara. Tali pengikat tangan kami pun dibuka. Kami berdua digiring pulang. Sudah terbayang semeledak apa amarah Ayah di rumah nanti. Selama di perjalanan kami bertiga diam membisu menambah mencekamnya nasib sesampai di rumah.
Duh, Ayah aku menyesal cabut. Sungguh aku menyesal cabut, Ayah! Maafkan aku Ayah. Hari ini kutatap lagi wajah si dedek. Kulihat pula buku Bahasa Arab itu. *
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI