Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Privilese Mempermudah Urusan tapi Jangan Flexing

16 Maret 2023   18:19 Diperbarui: 16 Maret 2023   18:29 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Privilese tentu tak asing buat Anda dan saya. Istilah ini sudah ada sejak zaman dulu kala. Sejak zaman jadul. Hak istimewa sosial seseorang disebut privilese sosial. Pernahkah Anda mengalaminya?

Hak istimewa yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang saja. Namun, hak ini tak dimiliki pihak lainnya. Hak ini muncul berdasar hasil stratifikasi sosial di tengah masyarakat. Kadang kehadirannya sudah dimaklumi.

Hak yang menawarkan bahkan menjamin adanya perbedaan akses untuk memperoleh barang atau mendapatkan layanan yang sama di mana saja. Hak ini biasanya tak ada edukasi khusus. Datang dan dialami begitu saja.

Pernahkah Anda memperoleh Privilese? Saya pernah mendapatkan hak istimesa ini. Ketika berobat di puskesmas pembantu di kampung saya. Bila saya sakit, langsung saja saya ke puskesmas pembantu itu. Tanpa izin kepada dua orang tua saya.

Berobat di sana murah kata nenek dan tetangga saya. Cukup bawa uang 1500 rupiah. Kira-kira sekarang 15 ribuanlah ya.

Saya sebetulnya bawa uang untuk membayar berobat. Namun, ketika usai berobat mantri yang menangani bilang, "Tak usah bayar. Bawa saja, Nak."

Saat itu saya heran kok, kenapa tak bayar. Saya cuma bengong aja dengan uang di tangan kanan saya dan obat dihadapan saya. " Kok tak bayar, Udak?" (Paman). Tanya saya bingung.

"Kamu kan anak Abang...?" Tanya beliau kepada saya sambil menyebut nama ayah saya.  Sayapun mengangguk. Lalu mantri menyuruh saya pulang dan bawa pulang uangnya.

Sampai di rumah saya tanya kepada ayah saya, "Yah, udak mantari tak mau menerima uangnya." Ayah pun cerita karena beliau kepala desa maka mantari itu tak mau menerima bayaran. Sejak itu, saya setiap berobat gratis. He he he.

Demikian juga ketika saya mengikuti pemberkasan di sebuah kantor pemerintah. Nama saya dipanggil.  Lalu si Bapak memperkenalkan diri kepada kami. Beliau ternyata sahabat suami saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun