Menilik kasus penganiayaan yang marak terjadi saat ini, pemerintah sudah saatnya meningkatkan status awas kepada orangtua. Orangtua yang tak awas mengasuh, mendidik, dan menjaga putra-putrinya di rumah sehingga berkeliaran pada malam hari di luar rumah, sudah saatnya diberi sanksi tegas.
Pemberlakuan jam wajib di rumah bagi anak-anak perlu diatur dengan Peraturan Daerah masing-masing kota dan kabupaten bila kita ingin mencegah terjadinya kasus penganiayaan, bully, dan penculikan anak.
Untuk anak SD, misalnya hanya boleh berkeliaran di luar rumah, di luar jam sekolah bila ada wali yang mendampingi. Siswa SMP boleh berada di luar rumah pada jam sekolah saja. Begitu juga dengan siswa SMA, hanya boleh ke luar rumah hingga pukul 17.00-18.00.
Untuk anak mahasiswa pun diberi batasan tetapi lebih longgar daripada siswa SMA. Bila ditemukan kasus penganiayaan, pembunuhan, dan bully oleh anak dan mahasiswa, di luar jam sekolah dan kuliah.Â
Orangtua anak yang menjadi pelaku penganiayaan, pembunuhan, dan bully hendaknya diberi sanksi sesuai hukum berlaku, sesuai umur anak, ditambah kewajiban orangtua pelaku sebagai berikut:
Pertama, bila korban hidup tapi cacat, maka orangtua pelaku diberi kewajiban menafkahi korban selama korban hidup, sesuai kesepakatan kedua belah pihak dan di bawah perlindungan hukum/pengacara/notaris, tercatat secara hukum perdata atas kewajiban tersebut.
Kedua, bila korban penganiayaan meninggal dunia, maka orangtua korban berhak menuntut uang penyelenggaraan jenazah, pemakaman, dan uang duka dengan jumlah yang disepakati selama orangtua korban masih berduka.
Uang duka baru dihentikan bila pihak orangtua korban sudah meminta distop atau dihentikan. Namun, selama orangtua korban masih butuh uang duka maka keluarga pelaku tetap memberi santunan. Ini pun harus tercatat oleh notaris dan pengacara keluarga korban yang disediakan lembaga pemerintah.
Dua sanksi di atas harus disosialisasikan kepada pelajar, siswa, mahasiswa, dan orangtua siswa ketika mereka mendaftarkan anak ke sekolah. Dua sanksi itu pun tercatat di setiap peraturan sekolah agar anak, orangtua, guru, dan pihak sekolah famiiar dengan aturan itu.
Bila kita masih berkutat pada pasal di bawah umur, maka orangtua takkan menyadari peran utama mereka mengasuh, mendidik, dan mengawasi anak. Justru semakin hari anak-anak makin cerdas meniru bully dan penganiayaan karena mereka melihat sendiri, kasus itu bisa berdamai.
Pernah suatu hari adik sepupu saya dikeroyok dua adik kakak di pasar. Biasanya adik saya ini tak terima bila ia dipukul atau dikeroyok. Ia pasti melawan. Ia biasanya muncul sebagai pemenang.Â
Itu dulu ketika ayah ibunya sehat. Masih banyak uang. Ketika ia dan orangtuanya sudah berkali-kali harus membayar uang damai (denda) akibat berkelahi, orangtuanya pun sekarang sudah udzur dan sakit, banyaklah habis uang untuk berobat.Â
Adik sepupu saya saat itu tak mau melawan lagi. Ia diam saja ketika dipukuli. Ia babak belur. Tangan patah dan kaki patah. Ketika saya tanya, "Tumben jagoan kalah?"
Ia menjawab, "Kak, awalnya saya mau balas, tapi ingat umak dan ayah sakit, mereka juga tak punya uang lagi, saya pun diam saja. Nadong hepeng! Nadong hepeng! Nadong hepeng nami! Itu saya bilang sama kakak adik itu, Kak" Urainya.
'Nadong hepeng nami' artinya, Tak ada uang kami. Ia sebut itu agar si pengeroyok berhenti meninju dan menendanganya. Nah, ketika si korban tak berdaya, maka pelaku biasanya ditangkap dan disuruh berdamai. Biaya pengobatan dan santunanpun diberikan sesuau kesepakatan.
Daripada dipenjara, pihak pemenang lebih baik berdamai dengan menberikan sejumlah uang. 3 juta-5 juta sesuai permintaan korban. Selama ini, itulah yang adik sepupu saya itu lakoni. Ketika ia tersinggung di pasar saat menunggu penumpang becaknya, ia dengan mudah meninju atau memukul teman sesama penarik becak.
Demikian juga temannya, suka dendam. Hingga adik sepupu saya sering mereka coba-coba untuk mengalahkannya. Berulangkali, ia harus membayar uang damai karena melayani dendam mereka.
Malah akhir-akhir ini, katanya, Â ada kecendrungan indikasi atau modus mereka, Â tak apa babak belur asal dapat uang damai akibat susahnya mendapat uang dari menarik becak. Karena itulah, ia tak mau melayani mereka lagi. Ia biarkan dirinya babak belur.
Ia pun memberi pelajaran kepada dua adik kakak itu dengan tidak mau berdamai. Tak mau menerima uang damai meskipun orangtua pelaku sudah berulangkali datang membawa uang. Ia tahu, uang itu pinjaman karena pelaku lebih susah keadaannya daripada ia. Ia tak ingin orangtua pelaku terjerat hutang.
Untuk kasus penganiayaan Mario, polisi sudah meningkatkan status perempuan berinisial AG alias A (15) sebagai anak yang ikut berkonflik dengan hukum atau pelaku anak di kasus Mario Dandy Satrio (20) akan penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora (17).
Peningkatan status AG berdasar sejumlah bukti ditemukan penyidik. Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi, Kamis lalu menjelaskan bahwa pihaknya memeriksa 10 orang saksi. 10 orang saksi terkait kasus Mario Dandy.
Polisi telah melibatkan saksi ahli dari ahli pidana, ahli digital forensik, dan ahli psikolog forensik dari Apsifor. Dari situ, terungkap perkembangan penyidikan kasus penganiayaan David oleh Mario Dandy Satriyo (20).
Salah satunya status perempuan berinisial A alias AG (15) naik jadi pelaku. Kedua, perubahan status AG yang awalnya anak berhadapan dengan hukum, berubah  status menjadi atau naik status menjadi anak berkonflik dengan hukum atau kata lain pelaku atau anak.
"Anak di bawah umur  tak boleh disebut tersangka," kata Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jakarta.
AG (15) resmi ditetapkan sebagai anak yang berkonflik dengan hukum atau pelaku anak dalam kasus Mario menganiaya David (17). Polisi sejauh ini belum menjelaskan apakah AG ditahan atau tidak di kasus kenaikan status tersebut.
Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi lebih lanjut, mengatakan bahwa pihaknya menaati perintah Undang-Undang Sistem Peradilan Anak pada penanganan terhadap anak sebagai pelaku.
Ahli Pidana Anak dari Kementerian PPA, Ahmad Sofian pun menjelaskan soal penanganan khusus terhadap anak sebagai pelaku. Pertama, bila dilihat ancaman pidanannya kalau kurang dari 7 tahun ancaman hukuman, diupayakan musyawarah.
"Bila keluarga korban memaafkan," sambung Sofian, "maka pelaku anak akan dikembalikan ke orangtua atau lembaga sosial." Katanya.
Kedua, apabila ancaman hukuman di atas 7 tahun, maka bisa dilakukan restorative justice atau melanjutkan perkara.
"Kalau ancaman pidana lebih dari 7 tahun, boleh dilakukan diversi restorative justice atau tidak. Andai keluarga korban pengen restorative justice, akan difasilitasi oleh Polda Metro Jaya," katanya.
"Setelah pemeriksaan melibatkan digital forensik, kami menemukan fakta berupa bukti chat WA dan video di HP. Kami juga menemukan CCTV di seputaran TKP, sehingga bisa dlihat peran masing-masing orang di sekitar TKP tersebut," lanjut Hengki.
Berdasarkan temuan fakta-fakta itulah, penyidik menambahkan pasal baru dan polisi menaikkan status AG (15) dari semula sebagai saksi anak, sekarang menjadi anak yang berkonflik dengan hukum atau pelaku anak.
Pasal baru apa saja yang diterapkan kepada Mario Dandy Satrio dan Shane Lukas ini?
"Pertama, tersangka MDS, mendapat konstruksi pasal 355 ayat (1) KUHP subsider, Pasal 354 ayat (1) KUHP lebih subsider Pasal 353 ayat (2) KUHP, lebih-lebih subsider 351 ayat (2) KUHP dan Pasal 76 C juncto 80 UU Perlindungan Anak. Ancaman maksimal 12 tahun penjara," ujar Hengki.
"Terhadap tersangka Shane Lukas, polisi menjeratnya dengan Pasal Pasal 355 ayat (1) juncto 56 KUHP subsider 354 ayat (1) juncto 56 KUHP lebih subsider 353 ayat (2) juncto 56 KUHP dan lebih-lebih subsider 351 ayat (2) juncto 56 KUHP dan/atau 76 C juncto 80 UU terhadap Perlindungan Anak."
"Adapun anak AG, berkonflik dengan hukum, pasalnya 76 C juncto 80 UU Perlindungan Anak dan/atau 355 ayat (1) juncto 56 KUHP subsider 354 ayat (1) juncto 56 KUHP lebih subsider 353 ayat (2) juncto 56 KUHP dan lebih-lebih subsider 351 ayat (2) juncto 56 KUHP. Berupa ancaman maksimal," beber Hengki.
"Aturan secara formil memang harus kami taati yaitu amanat dari undang-undang sistem peradilan anak. Jika kami tak melaksanakan kami salah," lanjut Hengki.
Bunyi pasal-pasal tersebut:
Pasal 76C UU Perlindungan Anak:
Bahwa setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.
Pasal 80 UU Perlindungan Anak:
Demikian juga pasal ini, Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Pun, (2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Juga, (3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Bunyi Pasal 355 KUHP:
Bahwa, (1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Bunyi Pasal 56 KUHP:
Pembantu kejahatan dipidana:
(1) Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
(2) Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan
Pasal 354 ayat (1):
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
(1) Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
(2) Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan
Pasal 354 ayat (1):
Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dihukum karena menganiaya berat, dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
Pasal 353 Ayat (2):
Apabila perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Ya, penambahan sanksi untuk pelaku penganiayaan, pembunuhan, dan bully perlu dikaji kembali dengan sanksi pemberian nafkah agar anak dan orangtua lebih awas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H