Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

4 Penyebab Anak Merasa Tak Percaya Diri

3 Maret 2023   18:41 Diperbarui: 8 Maret 2023   04:10 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak tidak percaya diri (Sumber: shutterstock)

Anak tak percaya diri. Inilah keluhan beberapa orang tua, mengapa anak tak percaya diri. "Duh, anakku pemalu banget!" "Duh, anakku gak pe-de!"

Rasa percaya diri merupakan hal yang sangat penting untuk dibangun sejak anak berusia dini. Sebab, rasa percaya diri, akan dapat mendorong anak untuk mewujudkan tujuannya. 

Bunda harus tahu bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan anak kurang percaya diri. Salah satu akibat dari pola asuh orang tua di rumah. Tanpa bunda sadari, ada beberapa kebiasaan yang justru membuat anak kita menjadi minder.

Lantas apa sih penyebab anak kita minder? Banyak hal penyebab anak minder. Bisa dari dalam diri anak dan bisa dari luar diri anak. Salah satunya, pola asuh kita sebagai orangtua. 

Berikut sejumlah penyebab anak minder menurut para ahli:

Pertama, Kurangnya Dorongan dari Orangtua

Studi yang dilakukan para peneliti di McGill University di Montreal, Kanada, menemukan fakta, bahwa kepribadian atau sifat anak ternyata lebih dipengaruhi atas perilaku orangtua daripada genetika.

Menurut, para ilmuwan peran warisan genetika, lebih sedikit menentukan perilaku ketimbang faktor lingkungan tempat tinggal anak.

Seperti kutipan Raksha atas pernyataan psikolog Dr Sushma Mehrotra, bahwa ia meyakini, apabila orang tua memberikan rangsangan yang benar kepada anak, anak yang biasa-biasa saja bisa menjadi luar biasa. 

Foto by Yusriana Siregar Pahu
Foto by Yusriana Siregar Pahu
Justeru Sebaliknya, jika anak kurang dirangsang, maka anak yang cerdas sekalipun tak akan mencapai potensinya secara maksimal. Ia akan biasa-biasa saja.

"Tentu saja benar, kita tak bisa mengendalikan gen anak yang kita turunkan kepadanya, tapi kita bisa memengaruhi lingkungan tempat anak-anak kita dibesarkan," kata Raksha.

Menurut Raksha, orang tua adalah hal pertama yang memberi pengaruh terkuat untuk membentuk nilai dan harga diri seorang anak.

Seperti anak saya, 2 laki-laki dan 1 perempuan. Ketiganya sangat kental dengan pengaruh saya selaku ibu mereka. 

Ketika saya amati mereka bergaul, mereka lebih memilih menjaga jarak dengan teman sebaya mereka bila teman mereka tak patuh dengan ide mereka.

Misalnya, mereka bertiga lebih suka berdiskusi pelajaran daripada pergi raun-raun ke sana kemari dengan teman sebaya mereka. Nampak kuat karakter mereka sebagai anak rumahan yang lebih oke belajar.

Demikian juga ketika usai ujian. Class meeting misalnya. Mereka lebih memilih pulang kampung daripada mengikuti program kegiatan yang berisi berbagai ajang perlombaan dan dilakukan antar kelas itu. 

Class meeting biasanya dilakukan setelah siswa menyelesaikan penilaian akhir semester (PAS) dan sebelum penerimaan rapor. Banyak anak antusias mengikuti, namun mereka lebih mau memilih ikut saya ke mana-mana.

Rasa percaya diri mereka juga dipengaruhi oleh dukungan saya. Bila saya ramah kepada guru mereka di sekolah, mereka jadi semangat belajarnya. Ya, mereka dapatkan percaya diri dari saya orangtuanya.

Ketika saya, orangtua terlalu sibuk dan kurang memperhatikan mereka, hal ini dapat membuat mereka lelah karena merasa dilupakan, tak diinginkan, atau kehadiran mereka tak penting, sehingga berdampak pada rendahnya rasa percaya diri anak.

Ketika anak saya mengikuti Ulangan Harian misalnya, bila saya tak dampingi mereka mengulang pelajaran di malam harinya, esok pas ujian pasti mereka curhat, "Bun, tadi UH. Tapi abang kurang pede jawabnya." (Pede=percaya diri).

Dokumen Pribadi Yusriana
Dokumen Pribadi Yusriana

Kedua, Anak Tak Diberi Ruang atau Anak Dikekang

Melindungi anak, suatu hal yang wajar bagi kita, orangtua. Tapi, orangtua terlalu protective, banyak melarang anak melakukan ini dan itu tak merangsang pertumbuhan anak. 

Terlalu ikut campur dalam mengambil keputusan anak sehingga anak tak pernah diberi kesempatan membuat keputusan sendiri juga salah.

Hal itu membuat anak merasa bahwa mereka tak bisa melakukan sesuatu tanpa bantuan dan kehadiran orangtua. Biarkan anak memilih dan mencoba kegiatan positif. Seperti ikut randai, bagi yang putra dan ikut menari bagi yang putri. Basket, volly, dan footsal bagi anak cowok kita. Bisa juga karate.

Biarkan mereka memutuskan lanjut kegiatan ekstra tersebut atau stop. Mereka lebih faham diri mereka daripada kita orangtuanya. 

Bila cocok, mereka putuskan lanjut. Bila tak cocok beri nasihat dan pilihan. Biarkan mereka belajar membuat keputusan. Orangtua cukup memberi arahan atau gambaran.

Ketika mereka menyampaikan curahatan, "Bun, Bang berhenti karate dulu, ya, Bun. Bang mau fokus bimbel dulu." Curhat si Abang. 

Lalu saya tanggapi, "Udah izin sama simpainya, Bang? Nanti badan kamu penat-penat, Nak. Lalu ingin latihan lagi. Simpai marah keluar masuk seenaknya." Bujuk saya.

"Bilang apa sama simpainya, Bun?"

"Bilang aja seperti kamu cerita sama Bunda sekarang," jawab saya.

"Oke, Bun. Makasih masukannya."

Begitu Bunda, kadang mereka ingin tak tahu cara izin ketika berhadapan dengan dilema berhenti di ruang karate dan ingin ruang baru, bimbel. Di sinilah peran orangtua memberi pelajaran. Sedikit, tapi kebermanfaatan cara izin di atas bisa ia terapkan di banyak ruang kelak.

Ketiga, Faktor Lingkungan yang Tak Kondusif

Faktor lain yang membuat anak kurang percaya diri adalah lingkungan. Hubungan percaya diri dengan lingkungan, teman sebaya. Teman sebaya sangat besar pengaruhnya kepada anak kita.

Bahkan untuk beberapa anak yang ketergantungan kepada teman, banyak yang rusak. 

Misalnya, murid saya bernama Hamdi. Ia ketua kelas. Sebelumnya bagus. Rajin dan percaya diri. Namun, akhir-akhir ini, sudah 4x ia dan 6 temannya di asrama tak membuat tugas.

Saya pun terpaksa menyuruhnya dan temannya mengerjakan di perpustakaan sekolah. Ketika sudah siap mereka kerjakan, mereka pun masuk kelas. Lalu saya tanya, "Ham, sudah yang ke 4x-nya lho, ada apa?"

"Solidaritas!" Jawabnya tersenyum manis. Tangan terkepal dan ditepukkan ke dada kiri dengan ekspresi bangga.

"Waduh!" Jerit saya. "Moga kamu tak lulus di sekolah berasrama manapun, Nak. Kamu lulus sekolah di kampung kita saja di dekat orangtuamu agar mereka membimbingmu, untuk apa solidaritas."

Dia kaget dan menunduk. Kulit hitam manisnya berubah legam. Untuk apa kita guru lagi bila kata solidaritas sudah mengakar di dirinya. Jungkir balikpun guru menasihati takkan ngaru, bila solidaritas bertahta di angka 1. Lebih utama pula solidaritas dari agama, hukum, dan norma.

Keberhasilan dan kegagalan di sekolah, di dunia kerja, dan di mana saja akan sia-sia bila mereka dan teman sebaya salah dalam menempatkan solider atau silidaritas. Pengalaman positif atau negatif akibat solidaritas bisa memengaruhi perkembangan psikologis mereka.

Bila istilah solidaritas mereka junjung, selamanya lingkungan mereka tak sehat dan tak kondusif. Mereka buta oleh pertemanan. Tak bisa lagi membedakan benar dan salah.

Deretan guru dan juga orangtua bila di rumah (dokumentasi pribadi)
Deretan guru dan juga orangtua bila di rumah (dokumentasi pribadi)

Keempat, Orang Tua Kaku dengan Menilai Kemampuan Anak Berdasar Nilai Rapor Saja

Tak sedikit pula orangtua menilai kemampuan anak berdasarkan nilai dan prestasi rapor saja. Ketika saya membagikan rapor siswa di semester 1 kemarin. Beberapa siswa, hampir separuhlah dari 32 siswa saya, mereka tetap duduk di kursi mereka.

Mereka enggan berpindah atau pulang. Meski saya sudah menutup pertemuan dengan doa penutup majelis. Wajah mereka sumringah tapi resah. Terlihat tak bahagia. Ternyata mereka takut pulang. "Kenapa?"

"Takut dimarahi, Bu." Jawab mereka.

"Duh, Ibu dua kali ada merah di rapor pas SMP. Sekali Bahasa Indonesia dan sekali lagi kesenian." Ayah dan Mama Ibu guru tak marah tuh. "Malah, saya dipeluk dan dicium kala itu. Mereka kangen sama Ibu guru."

Ayah dan mama saya tak pernah marah ketika kami mendapatkan nilai yang kurang baik. Namun, pada mereka orangtua murid saya, langsung melabeli anak kurang pintar dan memarahi mereka karena nilainya buruk.

Hal ini jika terjadi terus-menerus dapat berdampak pada rendahnya rasa percaya diri anak di sekolah. Jangan dimarahi, Bun. Bukan anak kita yang salah bila nilai mereka buruk. Itu salah guru di sekolah dan salah Bunda dirumah. 

Ada guru, membiarkan saja muridnya tak serius belajar. Lalu membiarkan muridnya cabut atau tak menyelesaikan tugas tepat waktu. Sejatinya, kita guru tahu mengapa siswa kita tak serius belajar.

Guru menjemput bila ia cabut. Guru mendudukkannya di dekat kursi guru bila tugasnya tak kunjung diselesaikan. Sabar itu kata kuncinya. Begitu salah seorang teman guru saya di sekolah memberi ide. Hingga ia memang disenangi murid di sekolah.

Pun Ayah Bunda, terutama kita bunda-bunda paling tahu sejatinya, mengapa nilai anak rendah. Saya pernah ketawa. Ketika suami saya yang wartawan tulen, jemput anak ke sekolah. Kala itu istilah keren remedial dan pengayaan baru viral.

Dengan bangga ia bercerita di telepon kepada saya. Anaknya hebat. Belum pulang, masĺih bersama guru remedial di kelas. Mereka sedang menuggu dengan orangtua lain. Anaknya juga remedial.

"Duh, remedial kok dibilang hebat, Pa?" Tanya saya.

"Remedial berarti tak tuntas, Pa!" Jelas anak saya yang kedua. Sudah tak sabar menunggu si Abang. Sedang si Ayah katanya melongo ketika diberi penjelasan oleh anaknya. Sampai hari ini pun beliau masih geram oleh istilah remedi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun