Pram menerima amplop itu. Benar, itu tulisan Tinuk istrinya. Sudah 12 bulan ia dan Tinuk menikah. Tiga hari setelah Pram menggagalkan pernikahannya dengan Santi, ia melamar Tinuk. Uang jemputan 50 juta dan uang mosok (memasak), 30 juta.
Pram memenuhi semua itu dalam tiga hari karena ia memang sudah mapan dan sanggup. Ia pun dipercaya bosnya Ko Taher mengelola uang. Semua atas izin Ko Taher. Ko Taher berharap keluarga baru Pram harmonis.
Dua bulan sesudah menikah, Tinuk pun hamil. Sekarang, ia sedang hamil 9 bulan. Istilah di kampung tinggal menunggu hari. Sekitar 10 hari lagi, ia diperkirakan akan melahirkan.
Pram membuka surat itu. Tangannya bergetar. Entah mengapa perasaannya tak enak. Darahnya berdesir-desir hingga detak jantungnya pun tak beraturan. Dag dig dug. Ia merasa ada yang tak beres. Keringat dingin mengucur. Tangannya basah karena gugup.
'Duh, Tuhan. Ada apalagi dengan rumah tangga hamba?' Tanya Pram pasrah dalam hatinya. Semalam, ia masih bersama dengan istrinya. Dengan manja istrinya meminta agar ia mengelus-elus perut besar istrinya. Anak mereka berontak.Â
Terlihat perut istrinya bergerak-gerak sesuai pergerakan calon bayi mereka di dalam sana. Permukaan perut istrinya bergelombang. Begifu bahagianya ia dan istrinya semalam. Mereka saling bertukar pandang.
Senyum manis menghiasi bibir mereka berdua. Hingga mereka selesai beribadah suami istri. Ya, istrinya mendadak manja sejak hamil. Berkali lipat manjanya 10 hari jelang melahirkan ini. Tiap malam istrinya minta dibelai dan diajak beribadah.
Tapi pagi ini ada yang membuatnya gelisah. Surat di tangannya. Perlahan Pram mengeluarkan kertas di dalam amplopnya. Ia membuka lebar-lebar surat itu. Surat itu berupa kertas buku agenda tahunan Pram. Ia baca tulisan tangan istrinya yang bagus dan rapi itu. Hanya satu paragraf.
"Bang, maaf aku pergi membawa anakmu. Izinkan aku melahirkannya dengan selamat. Izinkan aku membesarkannya sendiri. Aku hanya menginginkan anak ini, Bang. Maaf, bila selama ini aku sudah membuai abang dalam ikatan cinta palsu rumah tangga kita. Tujuan hidupku cuma satu, memiliki anak."
Hanya itu isi surat Istrinya, Tinuk. 'Duh, ya Allah. Dosa apalagi ini? Apakah ini doa Ayah Santi untukku? Kejam sekali para wanita ini kepadanya.' Terbayanglah Ayunda dengan wajah diamnya, Novella dengan wajah manjanya, Tinuk dengan seragam perawatnya yang memikat, dan Santi dengan mata bencinya.
Tanpa sadar, Pram menangis. Ternyata uangnya tak berharga di mata Tinuk. Sungguh malang dirinya. Kecewa lagi dan lagi. Bahkan ia gagal menjadi seorang ayah. Perih ia rasakan. Lukanya tak berdarah.