Duh, topik pilihan tentang pengemis online membuat saya kaget. Bahkan menimbulkan tanda tanya di diri saya. Kita Penulis  Online di Platform Disebut Pengemis Online Jugakah? Ayo siapa bisa jawab ya.
Topik ini mengingatkan saya ketika share-share tulisan di medsos, seperti whatsApp group, facebook, instagram, tweeter, line, lin, dan blog. Bahkan saya pernah melontarkan ucapan, " Baca tulisan aku, ya. Membuka tulisan aku dan membacanya berarti sedekah, lo"
Itukah kategori pengemis online yang dimaksud? Juga teman saya pernah komentar dengan ..., " Eh, ndak usahlah kita like vidio Bapak Anu lagi. Kita tak pernah ditraktir." Begitu provokasinya.
Juga ketika saya dapat honor tulisan, beliau juga bilang. " Ayo traktir lagi. Besok-besok kami tak mau membaca tulisanmu lagi jika tak mentraktir." Begitupula ia mengancam saya. Mungkin ia bermaksud becanda.
Sejauh itu, terkesan kita pengemis. Samakah berharap dengan mengemis? Benarkah kita pengemis? Pengemis view? Sebab kitapun dapat bayaran berdasar viewers kita. Lalu pengemis viewerskah kita?
Pengemisan dapat diartikan berupa praktik memohon kepada orang lain untuk memberikan bantuan kepada kita, seringkali berupa uang, makanan, atau benda lain baik sedikit atau banyak dan tanpa harapan imbalan bagi si pemberi bantuan.Â
Orang yang melakukan hal meminta-minta disebut pengemis atau peminta-minta, dan verba terkait dengan itu mengemis atau meminta-minta. Wikipedia.
Nah, ketika kita memosting tulisan di medsos dan platform, pastilah kita meminta tulisan kita dibaca, diberi nilai, dan dikomentari agar kita memiliki viewers, poin, dan bisa memenuhi syarat mengikuti semacam K-Rewards atau pemerolehan upah dari penyedia platform atau konten.
Sejauh itu bagaimana tanggapanmu terhadap fenomena mengemis online ini, kawan? Ternyata kitapun tanpa sadar sudah digiringkah menuju ke sana, mengemis online? Lalu apakah beda bekerja mencari nafkah dan mengemis?
Sebenarnya kita menulis dengan maksud bekerja sebagai penulis online. Penulis juga pekerjaan. Pekerjaan orang yang menulis. PeN + tulis. Menjadi penulis. PeN berfungsi membentuk kata kerja tulis menjadi kata benda penulis (orang yang menulis) dan profesi (orang yang memiliki profesi menulis).
Pekerjaan menulis butuh upah, jerih payah, atau gaji. Sistem kebijakan penggajian di dunia online berbeda-beda nama. Misalnya Monetisasi situs di Adsense Google.
Kita pun sambil menulis juga menyalurkan hobi, bakat, dan tak dipungkiri untuk peningkatan pendapatan dari konten tulisan berupa upah atau gaji tadi. Tapi bukanlah dengan mengemis, coy.
Namun, sistematika tren kebijakan pengolahan yang menggesernya. Tren mencari uang dengan konten berupa view, like, poin, dan koin. Misalnya aplikasi, YouTube.
Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Tentu fenomena ini terjadi sesuai era digital. Kebijakan pembayaran oleh pemegang platform dan situs. Miaslnya YouTube. Hingga ada istilah mengemis online.
Dimulai oleh siapa istilah mengemis online itu? Lagi, saya teringat ketika memproduksi tahu krispi yang dijual di kantin sekolah. Saya beri nama tahu krispi.
Namanya keren 'tahu krispi.' Tapi seorang siswa saya malah memberi nama 'karak' dalam bahasa Minang dan 'kerak' jika kita Indonesiakan.
Ketika bertemu dengan saya, dia bertanya, "Lai ado ibuk jua karak?" (Adakah ibu jual kerak?) Dahi saya berkerut. Temannyapun menjelaskan 'tahu krispi' bu. Saya kaget. Pemberian sebutan olehnya 'kerak' membuat saya ishtigfar dan urut dada saja.
Pun demikian dengan Menteri Sosial kita. Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini menyebut, "Aksi pelaku yang membuat orang tua mengemis di media sosial (medsos) melalui siaran langsung atau yang kini dikenal sebutan ngemis online dapat dipolisikan."
Menurut Risma, hal semacam itu merupakan bentuk dari eksploitasi karena memperalat orang tua.
Sejak itulah fenomena sebutan mengemis online viral. Cara live atau siaran langsung terkategori 'ngemis online' oleh Menteri Sosial berupa konten mengandung unsur eksploitasi. Â Ada unsur eksploitasi.
Eksploitasi di media sosial TikTok yang menjadi pembahasan riuh saat ini di kalangan warganet. Mereka yang mengaku sebagai konten kreator, tak segan dan takut melakukan siaran langsung dengan aksi ekstrem dan tak wajar.
Para kreator yang memanfaatkan fitur gift atau fitur hadiah yang ada di TikTok, mereka berharap bisa mendapatkan gift. Gift dengan jumlah banyak dari penonton. Inilah kemudian yang ditukarkan dengan uang.
Adapun aksi yang sedang viral disoroti netizen saat ini, siaran live di TikTok dengan berendam di air hingga mandi dengan air lumpur. Mirisnya beberapa kreator menampilkan manula sebagai talent  video yang  disiarkan.
Itulah wujud eksploitasi kemiskinan dalam media yang dipermasalahkan hingga menjadi fenomena publik. Nah, bagaimana cara membedakan antara mencari nafkah dengan aksi mengemis? Menulis online dan kreator konten apakah layak disebut pengemis online?
Jawabnya tentu tidak. Penulis online sudah menulis sesuai aturan dan kebijakan berlaku. Kteator konten TikTok pun sudah bekerja. Hanya saja eksploitasi kemiskinan dengan menjadikan model konten orang tua renta, inilah yang tak bisa ditolerir. Inilah pasal penipuan dan kejahatan kontennya.
Penulis online bukanlah pengemis meskipun kita dibayar melalui prosedur pembayaran dengan sistem viewers, poin, atau intinya digitalÃsasi karena konten kita tak melanggar peraturan, Undang-Undang, hukum, dan norma.
Sedangkan mengeksploitasi kemiskinan membuat konten dinilai ngemis online. Bolehkah mengemis online? Tentu tak boleh. Mengemis dilarang agama. Mengemis sama dengan menipu. Pengemis menempatkan orang lain yang rajin bekerja harus memberi.
Pengemis akan menambah daftar pembentukan budaya malas di tengah masyarakat. Ini akan merusak tatanan kerja dan kehidupan bermasyarakat. Menyebarkan sikap dan budaya malas dan budaya menipu.Â
Lebih jelas ada tiga sebab keadaan yang dibolehkan mengemis bagi Anda.
Pertama, mereka yang memiliki beban hidup yang tak mampu ditanggungnya lagi. Sehingga dengan kesungguhan dan kerja keras, ia tak juga dapat berusaha dengan cara lain yang halal untuk bisa memenuhi kebutuhannya. Misalnya memiliki, kekurangan atau cacat fisik.
Kedua, orang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, dia boleh meminta sampai dia mendapatkan sekedar kebutuhan hidupnya. Misalnya korban gempa dan kebakaran.
Ketiga, orang yang tertimpa kemiskinan sehingga tiga orang yang sehat pikirannya dari kaumnya menganggapnya benar-benar miskin. Ada surat keterangan dari RT, lurah, atau PIP maka dia boleh meminta sampai dia mendapatkan sekedar kebutuhan hidupnya.Â
Sedangkan selain dari tiga golongan tersebut meminta-minta itu haram yang hasilnya bila dimakan juga haram (HR. Muslim).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H