Pekerjaan menulis butuh upah, jerih payah, atau gaji. Sistem kebijakan penggajian di dunia online berbeda-beda nama. Misalnya Monetisasi situs di Adsense Google.
Kita pun sambil menulis juga menyalurkan hobi, bakat, dan tak dipungkiri untuk peningkatan pendapatan dari konten tulisan berupa upah atau gaji tadi. Tapi bukanlah dengan mengemis, coy.
Namun, sistematika tren kebijakan pengolahan yang menggesernya. Tren mencari uang dengan konten berupa view, like, poin, dan koin. Misalnya aplikasi, YouTube.
Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Tentu fenomena ini terjadi sesuai era digital. Kebijakan pembayaran oleh pemegang platform dan situs. Miaslnya YouTube. Hingga ada istilah mengemis online.
Dimulai oleh siapa istilah mengemis online itu? Lagi, saya teringat ketika memproduksi tahu krispi yang dijual di kantin sekolah. Saya beri nama tahu krispi.
Namanya keren 'tahu krispi.' Tapi seorang siswa saya malah memberi nama 'karak' dalam bahasa Minang dan 'kerak' jika kita Indonesiakan.
Ketika bertemu dengan saya, dia bertanya, "Lai ado ibuk jua karak?" (Adakah ibu jual kerak?) Dahi saya berkerut. Temannyapun menjelaskan 'tahu krispi' bu. Saya kaget. Pemberian sebutan olehnya 'kerak' membuat saya ishtigfar dan urut dada saja.
Pun demikian dengan Menteri Sosial kita. Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini menyebut, "Aksi pelaku yang membuat orang tua mengemis di media sosial (medsos) melalui siaran langsung atau yang kini dikenal sebutan ngemis online dapat dipolisikan."
Menurut Risma, hal semacam itu merupakan bentuk dari eksploitasi karena memperalat orang tua.
Sejak itulah fenomena sebutan mengemis online viral. Cara live atau siaran langsung terkategori 'ngemis online' oleh Menteri Sosial berupa konten mengandung unsur eksploitasi. Â Ada unsur eksploitasi.
Eksploitasi di media sosial TikTok yang menjadi pembahasan riuh saat ini di kalangan warganet. Mereka yang mengaku sebagai konten kreator, tak segan dan takut melakukan siaran langsung dengan aksi ekstrem dan tak wajar.