Pernahkah kamu merasa menyesal karena telah meninggalkan seseorang di penghujung akhir tahun? Aku pernah merasakannya. Aku meninggalkan Pram karena banyak hal.
Pertama, ia hanya lulusan sekolah dasar saja sedang aku disekolahkan ayah hingga sekolah menengah atas. Bahkan ayah berpesan bahwa beliau hanya bisa memberiku pena dan buku.Â
Tak ada emas dan rupiah apalagi sawah dan kebun. Kamu harus kuliah dan sarjana kata beliau saat itu.
Kedua, bagaimana aku bisa bersama Pram yang sudah siap mengajakku menikah dini bermodalkan cinta monyet dan sepetak toko P dan D saja.
Sedang aku sudah terbiasa dimanjakan ayah dengan beras sebuntil, uang bulanan, dan lauk ikan, ayam, dan daging.
Ketiga, ia tak mungkin kukenalkan kepada keluarga besarku yang silau mahar berpuluh juta karena status nenekku yang terpandang dan ayahku pejabat di kampungku.Â
Sanggupkah aku meminta mahar kepada Pram 30 x 2,5 gram emas atau mungkin 50 x2,5 gram emas sebagai penutup adat di kampungku?
Belum lagi uang hangus berpuluh juta untuk mengundang orang sedesaku menikmati hari pernikahan kami dengan gulai rendang daging dan kalio ayam beserta beraneka masakan lain  yang bisa menguras dua kali lipat mahar.
Keempat, sanggupkah aku mengikuti Pram untuk kawin lari atau keta marlojong seperti gadis-gadis belia teman sekolahku karena mereka takut isu, sakit, dan malunya menjadi perawan tua?
Padahal aku sendiri tak tahu berapa usia perawan tua. Ya akupun tidak tahu. Yang kutahu ayah mengantarkanku ke rumah masa depan yang lebih baik katanya.Â
Di sana banyak buku dan pena bagus-bagus. Ayah akan membelikanmu berkotak-kotak. Rayu ayah membujukku. Beliaupun mengantarkanku ke sana. Sungguh kala itu negeri asing rasanya.
Kelima, aku bukanlah anak patuh. Aku sesekali menemui Pram. Ia menawarkan jalan-jalan sore ke tempat yang asing bagiku. Makan bakso berdua, ke telkom berdua, dan keliling naik bendi sambil ia menggenggam jemari tanganku yang gemetar.
Akupun merasa malu dan aneh. Ternyata berdua dengan Pram membuat tubuhku tak nyaman. Keringat dingin mengucur di leherku yang tertutup jilbab menyusup dingin di bawah ketekku.
Kok berdua dengannya seperti aku kena sentrum. Dada berdebar dan jantung tak karu-karuan. Kata om Fredi S, penulis romantis novel kegemaranku, berdua itu menimbulkan senyum. Aku malah ketakutan.
Maaf ya Pram, ternyata aku tak bisa mengikutimu. Aku takut padamu. Aku belum siap membalas genggaman tanganmu yang terasa aneh olehku. Kita putus saja begitu pintaku saat itu.
Pram tegang. Mata coklatnya menajam, tangannya terkepal hingga buku-buku jarinya menonjol. Perlahan air mata menetes dari mata coklat itu. Mengalir di pipinya yang putih.
Aku ingin menghapusnya tapi aku takut jika ia merasa aku menyesal atas putusanku. Kubiarkan ia sendiri. Aku melangkah pergi meninggalkannya.
Ada yang sakit terasa di sudut hatiku. Perih. Apakah aku terluka karena sudah meninggalkannya? Entahlah. Tapi aku lebih baik sakit daripada memberinya harapan.
Aku takut. Takut kepada siapa? Takut kepada Pram atau ajakannya menikah dini? Atau aku takut kepada ayah dengan mata hitamnya setajam elang? Atau mungkin aku takut karena belum faham apakah aku membutuhkan Pram atau tidak.
Kakiku melangkah ke sebuah kios kecil. Di sana berjejer novel-novel karya om dan tante Fredi S dan Mira W penuh cerita indah yang menjanjikan romantisme dua insan berbeda.
Novel itu akan menyuguhkan cerita indah dibanding ceritaku bersama Pram yang kaku dan mengucurkan keringat. Akupun membayar tagihan sewa novel-novelku dan aku  segera menapaki jalan menuju kediaman Mak Puak, rumah masa depanku.
Sejenak aku melupakan Pram dan air mata di mata coklatnya yang memesona. Meski ngilu tetap terasa. Ngilu yang takkan pernah kufahami maknanya hingga saat ini.
Aku masih saja bertanya kepada rembulan di malam hari, "Menyesalkah Aku Meninggalkannya?" Atau Beruntungkah Aku Meninggalkannya Sendirian dengan Air Mata di Mata Coklatnya? Dalam Tangisan Air Mata bening  yang mengalir di pipi putihnya?
Yang pasti setiap pilihan menuai konsekuensinya. Aku harus menuainya.
Padang Panjang, 03 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H