Setelah menyimak pro kontra atas pasal kohabitasi di atas bagaimana kita selaku orang tua menyikapi?
Pertama, penjagaan orang tua terhadap anak perlu kita tingkatkan. Berilah anak limpahan kasih sayang agar arah pergaulan bebas di atas tak mempengaruhi anak kita.Â
Jika anak sudah mendapat kasih sayang dan perhatian dari rumah bisa meminimalkan anak mencari kasih sayang dari pribadi kurang tepat.
Kedua, tanamkan nilai agama kepada anak sejak dini. Bahwa kohabitasi atau kumpul kebo dilarang Agama. Tetapi menikah dihalalkan agama. Kemudian kohabitasi akan tetap merugikan perempuan.
Pertama, mendapat anak yang tidak memiliki status hukum dan agama. Kedua, rentan akan ditinggalkan pasangan kohabitasi jika sudah bosan.Â
Ketiga, tak ada hak menuntut pasangan kohabitasi untuk setia. Keempat, tak ada hak untuk dinafkahi pasangan kohabitasi, dan kelima, tak ada hak mendapat warisan.
Ketiga, arahkan anak dengan kegiatan-kegiatan produktif dan positif. Pelajari bakat mereka dan hobby mereka. Arahkan mereka melakukan aktivitas produktif sejak dini. Misalnya mengikuti les bahasa, mengikuti les tilawah Quran, bisa juga mulai diberdayakan memproduksi sebuah karya.
Seperti di Pandai Sikek, Sumatera Barat, anak remaja perempuan menenun songket dan anak lelaki membuat ukiran.
Keempat, sering berdiskusi dengan anak bagaimana menjadi pribadi yang baik. Bagaimana mencintai diri sendiri, bagaimana masa depan yang mereka impikan. Sebab mencintai diri sendiri dapat membuat mereka termotivasi untuk menjaga diri mereka.
Kelima, ajari mereka tunda pacaran sebelum menikah dan tunda menikah sebelum sarjana. Mengajari mereka butuh kesabaran. Mungkin pembelajaran ini tak sesuai dengan apa yang mereka lihat dan temukan di luar rumah.
Di medsos, di android, atau media lain, mereka lihat semua dipublis. Kemesraan pasangan kohabitasi dipublis ke publik dan banyak yang kagum akan itu. Padahal ini bukanlah cara mendidik generasi yang benar.