Dampak Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Pada Perempuan dan Kelompok Rentan. Begitulah perbincangan sedang hangat saat ini. Salah satu pasal yang sedang digugat tentang Kohabitasi.
Kohabitasi adalah kumpul kebo. Dua anak manusia hidup bersama tanpa pernikahan dan perzinahan.
Kohabitasi tiba-tiba saja hangat dibicarakan saat ini sesudah disahkannya KUHP baru. Pada Pasal 412 dan 413 KUHP yang baru disahkan mengancam pidana bagi setiap orang yang melakukan kumpul kebo atau kohabitasi (hidup bersama tanpa pernikahan) dan perzinahan.
Namun, ancaman itu baru bisa berlaku apabila ada pihak yang mengadukan atau dengan kata lain bersifat delik aduan.
Adapun yang berhak mengadukan adalah suami atau istri bagi orang terikat perkawinan atau orang tua maupun anak bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Pengaturan tindak pidana perzinaan dan kohabitasi pada pasal di atas dimaksudkan untuk menghormati lembaga perkawinan di tanah air sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pengaturan itu juga untuk melindungi ruang privat masyarakat sebagai wujud perlindungan delik aduan. Artinya, tidak akan pernah ada proses hukum tanpa ada pengaduan sah dari mereka yang berhak mengadu, karena dirugikan secara langsung, yaitu suami atau istri terikat perkawinan dan orang tua atau anak yang tidak terikat perkawinan.
pengaturan juga berarti menutup peluang atau ruang bagi masyarakat atau pihak ketiga lainnya untuk melaporkan adanya dugaan kohabitasi.
Dengan demikian, pemahaman sementara kita, kohabitasi yang terjadi bukan sebagai tindak pidana jika tak ada delik aduan. Maka peraturan tersebut, sekaligus dimaksud mencegah terjadinya perbuatan main hakim sendiri oleh pihak ketiga.
Semua itu perlu dipahami bahwa sehubungan dengan tidak pernah ada dan tidak berlaku norma hukum dalam KUHP baru yang mengharuskan pihak ketiga yang berhak mengadu untuk menggunakan haknya.