Demikian juga bunyi pasal kontroversial KUHP pasal 417 ayat (1) bahwa "Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II."
Sebagian berpendapat bahwa negara terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk masuk pada hak konstitusional warga negara yang bersifat privat.
Sebagian lagi berpendapat bahwa pasal itu tepat untuk melindungi perempuan yang akan menjadi pihak yang dirugikan setiap kasus menyangkut perzinahan. Anak yang muncul di rahim perempuan pezina akan mendatangkan dua masalah jika pasal ini tak direalisasikan.
Pertama, akan ada aborsi karena perempuan pezina tak sudi membesarkan anaknya. Aborsipun ada yang legal dan ilegal.
Kedua, akan banyak anak tanpa status hukum dan perwalian. Dalam Islam, anak zina tak bisa bernasab kepada laki-laki yang menghamili ibunya. Anak zina hanya bisa bernasab kepada ibunya.
Sebetulnya, secara Islam merupakan pasal yang bisa dijadikan orang tua sebagai delik aduan karena pasal ini menjadi pegangan pengaduan orang tua dalam melindungi anak perempuan dan dapat mengurangi tingkat pelecahan kepada anak perempuan.
Memang 89% perkawinan anak di Indonesia terjadi karena kekhawatiran orang tua, baik khawatir hamil di luar nikah, karena faktor ekonomi, maupun karena asumsi orang tua bahwa anaknya telah melakukan hubungan di luar perkawinan.
Pasal kohabitasi di RKUHP di ataspun dinilai banyak kalangan dapat menimbulkan persekusi di tengah masyarakat.
Menurut mereka tanpa ada pasal tersebut saja persekusi sudah kerap terjadi pada pasangan yang dianggap melakukan pelanggaran terkait kohabitasi di masyarakat kita.
Persekusi sendiri adalah perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya.
Bentuk yang paling umum adalah persekusi agama, rasisme, dan persekusi politik, meskipun kadang-kadang terdapat beberapa tumpang tindih di antara istilah-istilah itu.