Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elegi Sekolah Bersama Sahabat Impian

31 Oktober 2022   23:13 Diperbarui: 1 November 2022   08:44 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sahabat impian selalu ada di rinduku: poskata.com

Hai burung gereja.  Selamat pagi jelang siang. Kapan kamu bisa bicara seperti beo. Kamu cuma  bisa mencicit, tapi aku yakin kok kamu bisa mendengar suaraku. Aku boleh menatapmukan?

Sebetulnya aku ingin mengelusmu menyalurkan naluri sayangku. Seperti aku membelai si meong. Tapi setiap pagi kuamati, kamu mirip merpati. Jinak-jinak merpati. Jika aku dekati lari, aku cueki malah mendekat.

Biarlah aku amati saja kurenahmu dari pintu ini dengan kuyu. Sambil bersandar di pintu ini. Aku kuyu karena aku tiba-tiba didera rindu. Pernah tidak kamu rindu? Rindu sekolah lamaku. Sekolah impianku bersama mereka sahabat impian.

Di sana  banyak teman yang baik padaku. Mungkin aku juga rindu mereka. Bukan rindu sekolahnya saja. Tapi juga rindu penghuni sekolah itu. Sahabat impianku dan guruku.

Ada Lala, Pinky,  Amel, Vivin, Ica, Caca,Yaya, Indah, Tiara, Yola, Hanya, Lona, dan Zika. Mereka teman cewekku. Adik kelasku juga.

Mereka teman yang jujur, dapat dipercaya, bisa diandalkan, setia kawan, saling menghormati, dan memiliki empati terhadap orang lain.

Mereka pendengar yang baik, suportif dalam suka dan duka, percaya dengan kemampuan orang lain, bisa menerima kondisi teman apa adanya, tidak suka menghakimi orang lain apalagi menghujat, dan mereka sahabat yang bisa memberikan kenyamanan saat berada di dekat mereka.

Persahabatan kami sehat, membawa kebahagiaan untuk semua. Aku tidak pernah merasa terbebani berada di dalam hubungan kami. Tidak merasa kesepian di dekat mereka karena mereka rame. Ada saja lelucon mereka. 

Tidak seperti sekarang, sepi. Meski dari rumah tetangga ada musik. Di depan ada Ni Yati yang rame meninggkahi ulah anak-anaknya. Di dekat mereka aku
tidak akan terisolasi secara sosial seperti di kelasku saat itu.

Kalian masih ingat peristiwa itu kan? Aku ingin mengambil karet gelang yang sudah dirakit panjang. Kita ingin bermain tali. Akupun mengambil karet itu dari tas. Nahas, terburu-buru dan berbalik, aku menabrak Eri teman sekelasku. Fisikku mungkin lebih keras darinya. Ia terjungkal kala itu.

Ketika aku meraih tangannya untuk membantu, eh ia mau menarik rambut panjangku yang dikuncir dua. Otomatis aku mengelak dan menendangnya. Akupun heran kenapa ia segitu marah, padahal aku tak sengaja menabraknya.

Sejak itu, teman sekelas baperan padaku. Mereka mendengar penjelasan Eri sepihak. Mereka mogok bicara padaku. Tapi, aku maklum mereka membela Eri. Eri sedang berduka. Baru saja Ibunya meninggal dunia.

Ketika aku memasuki kelas, mereka semua menatapku lalu buang muka. Nur teman tomboi di kelaspun memberi instruksi. "Keluar yuk, ada orang gila masuk kelas," teriaknya. 

Semua teman mengikutinya keluar. Juga Eri yang matanya masih sembab dan merah. Aku cueks. Tak mungkinlah aku melawan mereka semua. Diam dan mengalah tentu lebih baik kupilih. Akupun mengeluarkan buku cerita yang baru kupinjam di perpus sekolah.

Tadi Ibu Saragih mengajakku dan anak-anak kelas 4 ke perpus. Kata Ibu Saragih kemarin banyak buku baru di perpus. Ternyata benar. Akupun meminjam 5 buku. Salah satu buku berjudul Istano Pagaruyung.

Buku itulah yang kubaca sekarang. Kelak aku ingin ke Istano Pagaruyung dengan pacarku atau suamiku khayalku kala itu. Tahukah sahabat--- sekarang aku bisa sekali seminggu ke istano dengan suami dan anakku.

Sejak peristiwa dengan Eri, kelasku berubah jadi neraka jika guru tak di kelas. Sejak itu pula aku baru masuk kelas jika guruku sudah masuk kelas. Tak ada lagi sahabat sejati di kelas. Entah apa yang dibilang Eri kepada mereka hingga mereka memusuhiku secara massal.

Sejak itu pula haluan pertemananku berubah. Aku pergi ke kelas 4 bila tak ada guru di kelasku. Merekalah sahabat impianku sejak itu. Mereka akan selalu ada untuk menemaniku saat sedang suntuk.

Kini aku ingin mengobrol atau bercerita tentang hal yang baru saja kuhadapi. Tentang kompleks rumahku yang tenang. Burung gereja yang ramah. Arisan dengan tetanggaku sekarang yang ramah-ramah sama seperti kalian sahabatku.

Kalian menurunkan kadar stresku. Aku merasa punya keluarga yang bersedia mendengarkan dan peduli dengan keadaanku jika mereka di sini bersama.

Aku bisa mendapatkan dukungan kala aku mendapatkan cobaan yang sulit, seperti masalah temanku di kelas lima kala itu. Teman sekelas memusuhiku. Kata mereka aku sombong, sok asik, sok hebat hingga mereka mengucilkan aku.  Toxsickan mereka.

Ingat kenangan pilu di sekolah itu, aku selalu berterima kasih kepada kamu semua sahabat. Andai kalian tak ada kala itu bagaimanakah kisahku di penghujung kelas lima itu hingga satu per satu mereka yang memusuhiku berubah baik di kelas 6 denganku. Kecuali Nur dan Eri tetap memecatku.

Aku lupa bagaimana aku melalui hari-hari berat itu hingga duduk di kelas 6. Lulus dengan nilai tertinggi 2 di bawah Sani. Sani memang cowok pendiam, kalem, kutu buku, dan tak bisa dikalahkan sejak kelas 1. Kudengar ia sekarang di Medan sebagai mantri.

Kalian suguhi permainan congkak, lompat tali, berenang, bahkan kalian temani aku buka usaha berjualan sayur di pasar kaget. Kalianpun ikut duduk menawarkan kentang, terung, bunga kol, cabai, dan beragam kebutuhan dapur.

Bahkan Uspa salah satu sahabat kita ikut pula menggelar dagangan yang sama denganku. Kita pun kala itu happy-happy berjualan di pasar kaget. Inilah kenangan manisku bersama para sahabat mengumpulkan uang receh di pasar kaget.

Teman yang baik, memang akan selalu ada di masa-masa sulit.  Begitu juga para sahabat sejatiku. Mereka tidak akan membiarkanku menangis  dan menghadapi masalahku sendirian meski aku kelas lima dan mereka baru kelas empat kala itu.

Mereka keren memberikan makna dalam hidupku. Kala kelas  lima itu  mereka juga menjadi alasanku untuk menjalani hidup yang lebih gembira. Mereka membuatku bisa membagi kebahagiaan dan kesedihan bersama.

Mereka bahkan memberi rasa aman kepadaku. Ketakutan dan gelisah dengan kehidupan pribadi menyakitkan di kelas, tak membekas di memoriku. Mereka ganti dengan senyum dan tangan melambai.

Mereka memberikan aura positif. Pengaruh positif itu kuat menempel ke dalam kehidupanku dan mereka. Ajakan mereka untuk perlahan-lahan meninggalkan kenangan buruk akan teman di kelas yang mungkin bisa memengaruhi kesehatan mental dan jiwaku di sekolahku kala itu.

Mereka mengajakku untuk tertawa bersama setelah lelah bekerja di pasar atau berolahraga lompat tali dan bermain petak umpet pada Minggu pagi yang cerah sebelum berjualan cabai lagi ke pasar kaget.

Sekarang aku kehilangan mereka.
Sahabat baikku yang tidak muncul dalam hitungan hari tapi akan hadir setiap hari dalam rindu hati ini. Jarak kami untuk memupuk pertemanan sedikit demi sedikit menipis seiring aku lulus sekolah, seiring pertambahan usia. Sekolah lanjutan. Terutama pernikahan.

Bisakah aku menghubungi mereka? Dalam beberapa kesempatan saja cukuplah. Berkenalan dengan suami mereka? Anak-anak mereka. Akupun akan mengenalkan suamiku dan anak-anakku kepada mereka.

Bisakah aku berbagi topik dan lawakan ringan lagi bersama mereka di hamparan tikar pandan rajutan tangan lembut ibu-ibu mereka? Hanya untuk bisa tertawa bersama seperti dulu. Aku rindu mata  sipit dan berair mereka ketika kami tertawa bersama.

Mendengarkan keluh-kesah mereka juga seru. Sangat seru ketika kamu merasa berharga. Kamu dibutuhkan mereka. Mereka mengaku tak punya beras di rumah  lalu kami makan bersama di rumahku. Ketika pulang kuberi mereka beras jualan ayahku.

Esoknya mereka akan berlomba memanggilku makan di rumah sederhana mereka. Bersambalkan langkitang, pensi, dan gulai paku. Nikmat sekali masakan ibu mereka. Senikmat kasih tulus pelukan dan belaian tangan ibu mereka di rambut panjangku.

Bertanya kabar untuk mengetahui kondisi mereka terkini cukuplah  tapi aku tak punya nomor HP  mereka.  Ketika kutelusuri pencarian di facebook juga tak ada akun mereka. Apalagi  di IG dan twitter.

Berbagi kesedihan dan kebahagiaan dengan mereka kurindukan. Mereka tidak pernah menceritakan keburukan teman dengan orang lain apalagi  sesama kami. Mereka tak membiarkanku mengenal persahabatan palsu. Musuh dalam selimut apalagi santan balado dalam istilah kami di Sumatera Barat. 

Elegi sekolah bersama sahabat impianku selalu seru menyentak rindu untuk dibaca. Kenangan itu nyata tak terlupakan. Terima kasih sahabat atas tawaran bahagia itu. Semoga para sahabatku juga bahagia di mana saja berada.

Yusriana menulis untuk kompasiana

Padang Panjang, 31 Oktober 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun