Ketika aku meraih tangannya untuk membantu, eh ia mau menarik rambut panjangku yang dikuncir dua. Otomatis aku mengelak dan menendangnya. Akupun heran kenapa ia segitu marah, padahal aku tak sengaja menabraknya.
Sejak itu, teman sekelas baperan padaku. Mereka mendengar penjelasan Eri sepihak. Mereka mogok bicara padaku. Tapi, aku maklum mereka membela Eri. Eri sedang berduka. Baru saja Ibunya meninggal dunia.
Ketika aku memasuki kelas, mereka semua menatapku lalu buang muka. Nur teman tomboi di kelaspun memberi instruksi. "Keluar yuk, ada orang gila masuk kelas," teriaknya.Â
Semua teman mengikutinya keluar. Juga Eri yang matanya masih sembab dan merah. Aku cueks. Tak mungkinlah aku melawan mereka semua. Diam dan mengalah tentu lebih baik kupilih. Akupun mengeluarkan buku cerita yang baru kupinjam di perpus sekolah.
Tadi Ibu Saragih mengajakku dan anak-anak kelas 4 ke perpus. Kata Ibu Saragih kemarin banyak buku baru di perpus. Ternyata benar. Akupun meminjam 5 buku. Salah satu buku berjudul Istano Pagaruyung.
Buku itulah yang kubaca sekarang. Kelak aku ingin ke Istano Pagaruyung dengan pacarku atau suamiku khayalku kala itu. Tahukah sahabat--- sekarang aku bisa sekali seminggu ke istano dengan suami dan anakku.
Sejak peristiwa dengan Eri, kelasku berubah jadi neraka jika guru tak di kelas. Sejak itu pula aku baru masuk kelas jika guruku sudah masuk kelas. Tak ada lagi sahabat sejati di kelas. Entah apa yang dibilang Eri kepada mereka hingga mereka memusuhiku secara massal.
Sejak itu pula haluan pertemananku berubah. Aku pergi ke kelas 4 bila tak ada guru di kelasku. Merekalah sahabat impianku sejak itu. Mereka akan selalu ada untuk menemaniku saat sedang suntuk.
Kini aku ingin mengobrol atau bercerita tentang hal yang baru saja kuhadapi. Tentang kompleks rumahku yang tenang. Burung gereja yang ramah. Arisan dengan tetanggaku sekarang yang ramah-ramah sama seperti kalian sahabatku.
Kalian menurunkan kadar stresku. Aku merasa punya keluarga yang bersedia mendengarkan dan peduli dengan keadaanku jika mereka di sini bersama.
Aku bisa mendapatkan dukungan kala aku mendapatkan cobaan yang sulit, seperti masalah temanku di kelas lima kala itu. Teman sekelas memusuhiku. Kata mereka aku sombong, sok asik, sok hebat hingga mereka mengucilkan aku. Â Toxsickan mereka.