PR diiskan memberatkan siswa. Begitupun orang tua merasa berat dengan PR. PR biasanya diberikan guru senior. Guru muda tidak memberi PR. Benarkah PR momok bagi sebagian siswa sepulang dari sekolah?
Tentu momok jika orang tua di rumah tak mendampingi anak belajar. Menjadi momok karena anak belum mengerti di sekolah tapi karena keterbatasan waktu, guru terpaksa menjadikannya PR di rumah. Dengan harapan orang tua bisa membantu menyelesaikan dengan anak.
Sayangnya, karena sibuk orang tuapun hanya bisa mendengar keluhan sepihak anak tanpa menelaah benarkah PRnya momok?
Tentu ada PR yang mudah bagi siswa sehingga bisa dikerjakan  secara mandiri tanpa merepotkan orang tua. Namun, ada PR sulit sehingga harus meminta bantuan orang tua. Orang tua mengomel,  membuat anak menangis.
Sebetulnya bukan PR yang membuat anak menangis, tapi karena ketidakfahaman anak perihal PR itu plus omelan orang tua. Artinya anak butuh bimbingan orang tua di rumah. Tapi orang tua malah mengatai anak tak memperhatikan guru di sekolah sehingga tidak mengerti.
Akibatnya  ada pula siswa yang tidak masuk sekolah karena tidak bisa mengerjakan PR. Katanya lagi, siswa itu takut dan khawatir jika di sekolah akan dimarahi gurunya. Sesadis apa sih guru memarahi muridnya jika tak membuat PR.
Sebetulnya malu kita selaku orang tua membaca fenomena PR. Namanya PR tentu menguji kecerdasan ayah bunda di rumah juga. Harga diri ayah bunda dipertaruhkan kecerdasannya. Ayah bunda bisa kok buka google semacam brainly. Semua tugas yang diberikan guru ada di google.
Saya takut, PR momok menakutkan itu bagi orang tua bukan bagi anak. Apa kabar pendidikan orang tua yang S-1 dan pegang android dengan paket data 25 GB hingga 100 GB di dalamnya, bila tak bisa menaklukkan PR anak SD dan SMP.
PR yang diberikan gurupun masih seputar materi pelajaran kita di SD dan SMP dulu. Apakah momok ini hanya modus bahwa pekerjaan, lelah, dan kantuk kita di malam hari lebih utama daripada memegang bahu anak saat mereka menulis PR.
Beban tugas atau pemberian PR yang terlalu banyak katanya merupakan salah satu hal yang dikeluhkan, baik oleh siswa maupun oleh orang tua sebagai pendamping belajar anak. Sedangkan di lain hal, bila tidak ada tugas atau PR, maka siswa tidak belajar di rumah.
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari kabar berita, keluhan, dan fitnah. Baik melalui medsos atau langsung dari mulut ke mulut. Berita itu kadang menggembirakan kadang juga tidak. Itu semua tergantung isi berita dan bagaimana menilainya. Untuk itu diperlukan tabayyun.
Tabayyun merupakan salah satu etika komunikasi massa yang sesuai dengan ajaran Islam. Tabayyun juga secara tegas diatur dalam Kode Etik Jurnalistik di Indoenesia. Tabayyun dengan guru anak, tabayyun dengan teman anak, dan tabayyun dengan kepala sekolah. Benarkah PR anak banyak?
Ada beberapa alasan lo kenapa guru memberikan pekerjaan rumah kepada siswa, alasan tersebut memberikan manfaat yang besar bagi siswa itu sendiri. Ingat, guru adalah tenaga pendidik, jadi seorang guru sudah memiliki naluri untuk memberikan yang terbaik kepada siswanya. Apalagi guru senior.
Berikut ini adalah 5 alasan kenapa guru memberikan PR bagi siswanya.
Membiasakan anak mengulang pelajaran di rumah
PR yang diberikan oleh guru di sekolah memiliki manfaat agar orang tua ada alasan menyuruh siswa mengulang kembali materi yang telah dipelajari di sekolah. Penting sekali anak mengulang mempelajari kembali materi pelajaran.Â
Melatih tanggung jawab terhadap tugas
Sukakah ayah bunda anak yang bertanggung jawab? Tentu suka bukan ? Sikap tanggung jawab merupakan sikap yang tidak bisa tumbuh begitu saja tanpa adanya pembiasaan sejak dini.
Guru senior membaca manfaat ini. Memberikan pekerjaan rumah bertujuan agar siswa mampu bertanggung jawab atas tugas yang diperolehnya dan berusaha memberikan yang terbaik.
Terwujud sikap disiplin
Disiplin dibutuhkan bukan saat ini saja ayah bunda. Disiplin  mengerjakan tugas dan berusaha agar selesai tepat waktu cara melstih mereka sejak dini. Para pelajar dididik guru senior untuk bisa memberikan yang terbaik dan memiliki jiwa disiplin.
Menguji kemampuan siswa
Mengerjakan pekerjaan rumah  memberikan pengalaman unik kepada anak dalam menguji dan  mengukur kemapuan dirinya terhadap materi pelajaran yang sedang dipelajari. Bila ia mampu mengerjakannya dengan baik tanpa bantuan dari orang dewasa apalagi orang tua di rumah, akan menumbuhkan sikap optimis dan percaya diri pada diri siswa tentang kemampuan dirinya.
Ada maksud terselubung yang ingin dicapai guru. Ini difahami oleh guru senior dan tentu belum difahami guru muda.Â
Mendekatkan anak dengan orang tua
PR bentuk penyentuh guru kepada orang tua. Anak sering mengadu kurang perhatian dari orang tua mereka. Suatu hari di sekolah saya, beberapa orang siswa tak bisa menjawab soal Ulangan Harian. Lalu saya tanya mereka satu persatu mengapa tak bisa menjawab soal?Â
Tak adakah membaca di rumah? Tak ada orang tua menemani belajar? Ternyata tidak. Di rumah mereka tak belajar. Ayah Ibu baru pulang kerja setelah mereka tertidur.
Mereka belajar dengan pembantu. Tentu mereka ogah belajar, lebih seru menonton bola di Trlevisi. Pembantupun menemani sambil sibuk menyelesaikan tugasnya. Harapan guru di rumah, mereka dikelonin orang tua. Ditemani orang tua agar hubungan orang tua dengan anak semakin dekat.
Guru senior memberi PR tidak untuk membebani siswa, melainkan PR lebih mengarah kepada pembentukan karakter dengan orang tua. Orang tua harus mengedepankan proses pertumbuhan karakter siswa.
Kebijakan Dispendik Surabaya dengan menerapkan 2 jam pelajaran di sekolah untuk pendalaman karakter para pelajar taklah efidien. Pendidikan karakter tak bisa berdiri sendiri. Melekat kepada kebiasaan orang tua di rumah, pelajaran di sekolah, dan teman si anak. Tak bisa dikejarkan khusus di sekolah.
Sejatinya pembelajaran karakter tiap detik. Jam belajar hingga pukul 12.00 WIB dan pendalaman sampai pukul 14.00 WIB, lalu dua jam mengikuti pola pembelajaran melalui pengembangan bakat masing-masing seperti melukis, menari, mengaji, dan lainnya hanya sekelumit menompangi karakter.
PR bagi siswa di tingkat SD dan SMP tak bisa dilakukan melalui kelas pengayaan. Mereka butuh jeda. Pada saat malam hari otak anak kembali zero (kosong). Pada jam inilah waktu tepat baginya memaknai PR.
Pengayaan, saat anak-anak pulang tidak tepat. Mereka sudah eror. Tidak bisa dibebani pengayaan. Pengayaan pun khusus siswa pintar bukan untuk siswa yang belum tuntas.Â
Kebijakan peniadaan PR tentulah mendapat pro dan kontra di kalangan masyarakat khususnya para guru dan orang tua. Â Siswa dibebaskan dari tugas tentulah mereka bertepuk tangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H