Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PR dari Sekolah Meberatkan Siswa? Benarkah?

28 Oktober 2022   10:56 Diperbarui: 28 Oktober 2022   11:31 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekerjaan Rumah (PR) dari Sekolah memberatkan siswa? Benarkah?

Jika pertanyaan itu kita ajukan kepada siswa yang malas, tentu jawabnya ya. Jika kita ajukan kepada siswa rajin dan pintar tentu jawabnya tidak. Malah siswa ini mengikuti les lagi di rumahnya.

Begitupun jika pertanyaan itu kita ajukan kepada orang tua siswa yang sibuk dan cueks dalam artian tak berempati kepada anak, tentu jawabnya ya. Jika kita ajukan kepada orang tua bijak dan acuh (peduli) ya pasti jawab mereka tidak.

Contohnya adik saya selaku orang tua ketika selesai maghriban, guru les anaknya tiba di rumah, pertanyaan pertamanya dan guru les, adakah PR, nak? Bahkan si bungsu dibedakan sekolahnya karena di sekolah si sulung dan si tengah sekarang menerapkan kurikulum luar negeri (Finlandia) yang meniadakan PR.

Kami belum percaya sekolah tanpa PR di SD. Sebab, ketika SMP kami ingin si bungsu mengikuti jejak kedua abangnya bersekolah di sekolah favorit. Di sekolah ini PR sangat banyak dan les pula.

Setelah itu ia ingin si bungsu bersekolah di SMA Favorit pula. Di sini apa lagi siswa sudah diperlakukan dewasa dengan presentasi ke depan kelas. Tentu semua itu butuh persiapan mental maupun fisik sejak SD.

Jadi PR memberatkan? Benarkah? Tergantung kondisi anak danorang. Di mana posisi Anda?Orang tua cueks dan sibuk atau orang tua bijak dan acuh?

Kalau saya selaku orang tua dan profesi guru yang berusaha memahami cara siswa belajar di kelas, setuju ada PR. Setiap jam bahasa Indonesia selesai, saya memberi anak PR.

Mengapa? Jujur, siswa kita saat ini berada pada posisi generasi Z dan Alpha. Generasi lahir antara 1996-2009 (disebut juga Generation, GenerasiNet, Generasi Internet) dan Generasi Alpha, dimulai dari tahun 2010 (akhir dari generasi masih ambigu dan belum di tentukan). 

Generasi ini mengalami gonta-ganti kurikulum dan learning loss. Gonta-ganti kurikulum menyebabkan mereka tak memiliki buku teks untuk belajar. Meskipun sebetulnya buku lama bisa dipakai, tapi kecendrungan baca generasiNet berubah.

Mereka lebih percaya konten browsher daripada buku perpustakaan atau buku teks lama. Selain letak materi yang mereka cari berpencar-pencar di buku itu, waktu untuk mencari pun sempit. Malah nyaris tak ada waktu karena jam sekolah yang padat, full day.

Sedangkan penjelajahan lewat browshing lebih cepat. Sekali ketik muncul yang mereka cari. Kebermenarikan dan kemudahan androidpun lebih menonjol karena mereka korban Cov-19 dan mengalami learning loss. 

Mereka terbiasa selama 2 tahun daring. Hingga membaca buku dan mendengarkan penjelasan guru di sekolah kurang menarik. 

Mereka lebih condong diskusi kelompok, berkreasi, dan tugas proyek. Tugas proyek tak bisa selesai sekali pertemuan. Mereka butuh berjam-jam untuk menyelesaikan satu proyek. Mereka pun memiliki latar keberagaman cara belajar yang berbeda.

Misalnya menulis teks dalam pelajaran bahasa Indonesia di SMP. Sebelum belajar menulis, guru harus menelaah kemampuan menggunakan huruf kapital siswa, penggunaan tanda baca, penggunaan kata depan, konjungsi, penataan paragraf menyangkut kalimat utama dan gagasan pokok agar mereka bisa menulis paragraf koheren.

Semua tak bisa dituntaskan siswa dalam 6 jam pertemuan seminggu akibat learning loss di atas. Kemunduran mereka dalam belajar dua tahun di SD berimbas dua tahun untuk SMP.

Apalagi dengan longgarnya kurikulum yang berlaku. Mengkondisikan siswa tanpa evaluasi berskala nasional seperti UN (Ujian Nasional) dan perlahan kurtilaspun sudah mulai menggiring anak tanpa PR.

Dengan tak adanya UN mengakibatkan motivasi belajar siswa menurun drastis. Istilah mereka, tanpa belajarpun akan lulus, tanpa belajarpun tetap naik kelas.

Kurtilas tak mengenal tinggal kelas dan tak lulus. Semua anak naik kelas dan lulus. Wahai orang tua, bukankah ini misi pembodohan massal dengan meninabobokkan anak kita.

Memanjakan anak tanpa usaha keras bernama PR? Lalu apa kontrol Anda lagi selaku orang tua dan guru untuk memotivasi anak belajar? Sedangkan persaingan hidup mereka di dunia kerja semakin ketat? Kapan ayah ibu akan belajar bersama dengan anak tanpa PR? 

Di kelas mereka 30 siswa dengan 1 guru?

Di kelaspun, ada 3 tipe siswa yang harus dihadapi guru itu berdasarkan kecepatan mereka dalam menuntaskan pelajaran.

Pintar (cepat), sedang (lambat), dan malas (sangat lambat. Siswa pintar tuntas di kelas. Siswa sedang uring-uringan tergantung moodnya dan siswa malas tak tuntas karena malas menyimak.

Untuk menyiasati ke 3  tipe siswa menimbulkan pro dan kontra bagi sekolah-guru, kepala sekolah, orang tua siswa, dan siswa malas. 

Sadarlah kita, sebetulnya PR diutamakan untuk siswa terkategori sedang dan malas itu. Terpaksa dibawa pulang dan menjadi PR mereka karena belum tuntas.

Inilah dilema guru di kelas. Bak makan buah simalakama. Diberi PR, orang tua protes dan yang protes orang tua dari siswa malas pula. Siswa inilah yang akan menjadi kasus di kelas-kelas selanjutnya. Jumlah mereka tak banyak, hanya 5 orang per kelasnya. Namun cukup menjadi virus untuk merosotnya motivasi siswa sedang.

Jika orang tua  mau mengajak anak mengulang pelajaran di rumah sebetulnya PR tak perlu. Tentu guru di sekolah akan mudah memasukkan ilmu kepada semua tipe anak itu. Sayangnya, kata anak, orang tua cueks ketika mereka ada di rumah. Alasannya tentu sibuk, lelah, dan mengantuk.

Bila tak didampingi, mereka tak termotivasi membaca buku pelajaran. Ketika ayah bunda dipanggil ke sekolah, anakpun bercerita apa saja kegiatannya di kamar. Ternyata buku cetak dibuka, android ditaruh di dalam buku itu. Orang tua mengira anak membaca pelajaran padahal bermain game.

Kami guru tak mau mengorbankan siswa 25 orang demi siswa 5 orang. Cukup pedih bagi guru dengan ditiadakannya UN dan sekarang ditiadakan pula PR. Besok mungkin ditiadakan lagi rapor dan sekolah hanya sekedar penitipan belajar.

Mulai 10 November 2022 para pelajar SD dan SMP di Surabaya dibebaskan dari PR. Selamat untuk para guru SD Surabaya atas dibebaskan dari PR.

Alasan peniadaan PR ini, menurut Walikota Surabaya Eri Cahyadi, agar siswa lebih bisa menguatkan pembentukan karakter dengan didampingi oleh keluarganya di rumah. Selamat untuk para orang tua anak SD dan SMP di Surabaya atas tugas tambahannya di rumah semoga sukses mengantikan tugas kami guru. 

Sudah sepatutnya sore dan malam hari mendapingi anak. Kepada Bapak Walikota jangan plin-plan dengan pernyataan, "Sebenarnya jika sekolah masih ingin memberikan PR boleh saja, tetapi sebaiknya tidak memberatkan siswa. Kalau PR tersebut bertujuan untuk memberikan pengayaan, PR bisa diselesaikan di sekolah." 

Yusriana dengan kompasiana*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun