Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PR dari Sekolah Meberatkan Siswa? Benarkah?

28 Oktober 2022   10:56 Diperbarui: 28 Oktober 2022   11:31 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka lebih percaya konten browsher daripada buku perpustakaan atau buku teks lama. Selain letak materi yang mereka cari berpencar-pencar di buku itu, waktu untuk mencari pun sempit. Malah nyaris tak ada waktu karena jam sekolah yang padat, full day.

Sedangkan penjelajahan lewat browshing lebih cepat. Sekali ketik muncul yang mereka cari. Kebermenarikan dan kemudahan androidpun lebih menonjol karena mereka korban Cov-19 dan mengalami learning loss. 

Mereka terbiasa selama 2 tahun daring. Hingga membaca buku dan mendengarkan penjelasan guru di sekolah kurang menarik. 

Mereka lebih condong diskusi kelompok, berkreasi, dan tugas proyek. Tugas proyek tak bisa selesai sekali pertemuan. Mereka butuh berjam-jam untuk menyelesaikan satu proyek. Mereka pun memiliki latar keberagaman cara belajar yang berbeda.

Misalnya menulis teks dalam pelajaran bahasa Indonesia di SMP. Sebelum belajar menulis, guru harus menelaah kemampuan menggunakan huruf kapital siswa, penggunaan tanda baca, penggunaan kata depan, konjungsi, penataan paragraf menyangkut kalimat utama dan gagasan pokok agar mereka bisa menulis paragraf koheren.

Semua tak bisa dituntaskan siswa dalam 6 jam pertemuan seminggu akibat learning loss di atas. Kemunduran mereka dalam belajar dua tahun di SD berimbas dua tahun untuk SMP.

Apalagi dengan longgarnya kurikulum yang berlaku. Mengkondisikan siswa tanpa evaluasi berskala nasional seperti UN (Ujian Nasional) dan perlahan kurtilaspun sudah mulai menggiring anak tanpa PR.

Dengan tak adanya UN mengakibatkan motivasi belajar siswa menurun drastis. Istilah mereka, tanpa belajarpun akan lulus, tanpa belajarpun tetap naik kelas.

Kurtilas tak mengenal tinggal kelas dan tak lulus. Semua anak naik kelas dan lulus. Wahai orang tua, bukankah ini misi pembodohan massal dengan meninabobokkan anak kita.

Memanjakan anak tanpa usaha keras bernama PR? Lalu apa kontrol Anda lagi selaku orang tua dan guru untuk memotivasi anak belajar? Sedangkan persaingan hidup mereka di dunia kerja semakin ketat? Kapan ayah ibu akan belajar bersama dengan anak tanpa PR? 

Di kelas mereka 30 siswa dengan 1 guru?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun