24 tahun yang lalu tepatnya 21 Mei 1998, merupakan pengalaman pertama saya di dunia politik. Saat itu saya duduk di semester 8 salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Sumatera Barat.
Saya termasuk mahasiswi yang aktif di salah satu organisasi mahasiswa. Saya juga hobi membaca tabloid politik itu saat itu. Ketika itulah saya mengenal tokoh reformasi Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra.
Hari itu tepatnya tanggal 21 Mei 1998 Â mahasiswa di seluruh Indonesia mendatangi kantor DPRD daerah masing-masing untuk menyampaikan orasi secara damai. Saat itu kami turun ke jalan dari kampus dengan kepala berikat selempang putih bertuliskan reformasi. Ya, selaku mahasiswa ikut demo boleh saja asal faham tujuannya dan mampu mengontrol diri.
Ada yang membawa spanduk bertuliskan turunkan ---- sebagai presiden. Itulah tuntutan utama hari itu. Usai orasi saya dan teman diberi kepercayaan membaca puisi. Saya sudah lupa judulnya. Isinya masih ingat seputar demokrasi.
Akhirnya, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai presiden usai berkuasa kurang lebih 32 tahun di Tanah tercinta ini. Sejak itu, Orde Baru berakhir, era reformasi pun dimulai hingga era globalisasi, milenial, dan era digital.
Ada banyak tuntutan sebutulnya yang menggema dari berbagai kalangan saat itu, terutama kami mahasiswa. Kala kami meminta Soeharto berhenti menjadi presiden. Mulai tuntutan penindakan tegas terhadap pelaku korupsi, kebebasan berpendapat di muka umum, turunkan harga, turunkan ---- selaku presiden.
Rezim Soeharto pun runtuh, berturut-turut terbit sejumlah undang-undang untuk mengakomodir berbagai tuntutan reformasi. Sebut saja UU tentang pemberantasan korupsi, UU kebebasan berpendapat, TNI, dan kebebasan
Sebetulnya tuntutan beliau mundur dari kalangan mahasiswa dan elemen masyarakat sudah terasa kuat sejak 1996. Semakin besar pada tahun 1998 atau setelah dipilih kembali menjadi Presiden pada Maret sebagai hasil Pemilu 1997.
Respon pemerintah atas tuntutan demonstrasi mahasiswa saat itu lama hingga sempat memakan korban di Yogyakarta yang garang menyuarakan agar lekas turun jabatan. Korban meninggal akibat luka oleh pukulan benda tumpul di bagian kepala.
Sebelumnya pada 12 Mei juga, demonstrasi mahasiswa di sekitar Universitas Trisakti, Jakarta menelan korban teman mahasiswa di sana. Mereka menumpahkan darah demi era reformasi yang kita nikmati saat itu. Mereka rela menjadi suhada demi tegak reformasi.
Namun, jujur jika bisa meminta, ketika Ananda mahasiswa sekarang terpaksa turun ke jalan dari kampus menuju lokasi demo, jaga diri sangat penting. Hindarilah hujat-menghujat yang bisa memicu keributan. Hindari konflik dengan aparat.
Keselamatan diri penting karena orang tua masih ingin menatapmu berjuang di masa depan dengan prospek kerja dengan gaji sekian-sekian. Artinya, orang tuamu ingin melihatmu panjang umur.
Gerakan mahasiswa selaku pengontrol kebijakan memang perlu. Tapi memenuhi kewajiban untuk orang tua berupa selamat pulang pergi dari aktivis demo penting. Keberadaan mahasiswa semakin membesar hingga saat ini memang.
Selain keselamatan jiwa perlu dijaga saat demonstrasi, penjarahan yang terjadi di mana-mana pada masa krisis 1998 juga harus dihindari mahasiswa yang ikut berdemo. Penjarahan sama dengan mencuri. Jika ini dilakukan sambil demo, tentu dapat dipasalkan kepada pihak berwajib. Penjaralah solusinya.
Inflasi tinggi dan jelang resesi saat ini kita khawatirkan dapat membuat banyak orang terkena PHK. Kehilangan pekerjaan dan kesulitan mencari uang untuk membeli makan. Situasi ini jangan sampai Ananda manfaatkan sebagai alasan untuk menjarah dan mendorong sejumlah mahasiswa melakukan penipuan.
Saat kami demo pada masa itu memang seolah ada yang menunggangi kegiatan mahasiswa. Ada yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Bahkan Tim Gabungan Pencari Fakta menyatakan penjarahan dipelopori oleh orang-orang tak dikenal.
Dalam kegiatan demo tentu akan selalu ada provokasi. Mereka sang penyusup ini menyulut emosi warga untuk menjarah toko, membakar toko dari luar padahal, saat itu warga di dalam toko hingga ribuan korban jiwa berjatuhan.
Jadi, boleh-boleh saja mahasiswa selaku calon regenerasi pimpinan bangsa dan pengawal kebijakan berdemo, asal jangan melakukan tindakan-tindakan anarkis, berupa:
Janganlah menjadi provokator;
Provokator disebut juga provokasi. Provokasi adalah suatu tindakan menghasut, memfitnah, mengadu domba seseorang atau sekelompok orang untuk kepentingan pribadi. Provokator merupakan orang yang melakukan provokasi.
Janganlah menghujat;
Adapun menghujat adalah tindakan mencaci; mencela; dan memfitnah orang lain sehingga memunculkan rasa anti pati bagi pihak lain. Akibatnya terjadi kericuhan dan saling menyerang.
Janganlah menyinggung SARA;
SARA merujuk pada suatu hal yang netral, yakni suku, agama, ras, dan antargolongan. Dalam demo jangan sampai menyinggung empat poin di atas. Jangan mengakat isu SARA karena akan menimbulkan perpecahan, ya. Bersatu kita teguh (kuat) bercerai kita runtuh (hancur).
Janganlah melakukan tindakan kekerasan;
Tindak kekerasan dalam lingkup apapun dilarang dan melanggar hukum. Tindak kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera, luka, atau matinya orang lain. Kekerasan bisa pula menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
Dilarang melakukan ini saat demo ya agar Ananda aman dan tidak melanggar hukum. Namun, sebetulnya demo bukanlah solusi utama menyelesaikan persoalan. Bisa kita lakukan dengan musyawarah.
Janganlah melanggar peraturan dan hukum yang berlaku;
Demo yang dilakukan dengan pelanggaran peraturan dan hukum, akan mengubah hidup menjadi suram. Masa depan sirna dan tertunda karena mendekam di penjara. Ini akan melukai hati ibu dan ayah Anda. Kuliah sebagai tujuan utama tertunda bahkan terancam DO atau kelur dari kampus.
Ada di antara mahasiswa yang sibuk demo sehingga menjadi mahasiswa abadi dan tidak tamat-tamat.
Janganlah melanggar ketentuan yang sudah disepakati bersama.
Demo harus tahu waktu karena aksi ramai-ramai semacam demo hanya diperbolehkan sampai pukul 18.00. Sudah semestinya menuruti aturan dan menghormati kepentingan warga lain, terlebih demo digelar di jalan protokol akan menghambat laju kenderaan. Akibatnya macet di mana-mana.
Ingat kewajiban utama Ananda adalah belajar di kelas kuliah dan menyampaikan aspirasi. Tempatkan kewajiban kuliah lebih utama. Jangan karena demo, harus bolos kuliah.
Demo boleh, tapi masa bolos kuliah terus? Ingat kewajiban adalah kuliah. Jangan karena padatnya agenda demo jadi mengabaikan apa yang malah jadi kewajiban. Atur saja kalau memang ingin tetap ikut demo. Pilih juga mana yang penting dan kurang penting. Pertimbangan yang matang perlu sebelum memutuskan ikut demo.
Yusriana menulis untuk kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H