Jangan Panik
Ketika seorang anak gen Z memutuskan untuk memiliki cicle, merokok, atau memilih teman yang "buruk" sebaiknya orang tua tidak bereaksi secara emosional. Melainkan berbicara penuh rasa hormat dengan mereka. Kita berhak membantu mereka agar memikirkan implikasi jangka panjang dari pilihannya.
Memberi Pujian
Anak-anak generasi Z seperti anak saya misalnya, suka dipuji orangtua sebagai anak hebat dan luar biasa. Ketika memuji saya cium pipi mereka. Misal ketika ia mau mencuci piring kotor, sebagsi jeda bermain gadget.
Kita harus bisa memuji Gen Z dengan kata-kata yang mencerminkan kinerja mereka yang sebenarnya. Tidak hanya sekadar basa basi, hebat dan luar biasa saja.
Ketika orang tua menjalin komunikasi ini, mereka akan bertanya seputar tipe guru, tipe teman, dan cita-cita mereka yang rada aneh dari cita-cita anak milenial zaman kita dulu. Semisal ingin ke Jepang dan menetap di sana.
Aneh bukan? He he he...
Panutan Konsistensi
Perubahan terjadi setiap saat, berganti pekerjaan, perubahan peraturan, bahkan koneksi internet yang berubah dengan cepat dari zaman orang tua. Konsisten dalam isyarat perbuatan dan penglihatan mereka. Karena anak-anak merasa aman ketika orangtua dan guru memberi contoh mengenai konsistensi lewat perilaku, bukan  nasihat-nasihat panjang.
Mereka anti nasihat tapi oke perbuatan. Bahkan anak saya yang lahir 2002 dan 2005 pernah protes. "Ma, Papa kenapa tak ke masjid? Kami mama bawa ke masjid." Kritisnya Gen Z, persis seperti apa ibadah mereka, hendaknya ayah juga harus demikian.
Menjadi Mentor yang Memantau
Guru, bos, atau atasan sah-sah saja memata-matai tiap hal kecil yang dilakukan seseorang di internet. Apa yang dicari, situs-situs apa yang dibuka, dan konten-konten apa yang dikirimkan.