Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jadikan Puisi Pembangkit Percaya Diri Anak Sejak Dini Menuju Anak Berkarakter Impian

28 Agustus 2022   04:33 Diperbarui: 7 September 2022   03:28 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puisi tentu tak asing bagi kita semua. Satu kata ini sangatlah ditakuti pada zaman kolonial Belanda, Jepang, hingga zaman kemerdekaan. 

Situasi ini nampaknya masih berlaku hingga sekarang dengan implisit gonta-ganti kurikulum hingga ditiadakannya membaca puisi dari kurikulum sekarang. Masih ada puisi, namun sudah berubah tuntutan menjadi menulis bukan membaca.

Padahal dua keterampilan ini beda jauh sasarannya. Membaca puisi sasarannya menjiwai, pencitraan, penyecapan, dan aktualisasi penjiwaan akan mengubah mental si pembaca dari penakut menjadi semangat dan ujungnya berani. Semua perubahan itu dimodivikasi oleh kekuatan diksi atau pilihan kata si penulis puisi.

" Kumau tak seorang pun merayu. Tidak juga kau. Aku ingin hidup seribu tahun lagi."

Pada puisi Chairil tersebut tersirat makna idealisme. Tak mudah tergoda. Tak mudah dipengaruhi, dan semangat untuk hidup. Berjuang memecahkan segala masalah hidup seribu tahun ke depan.

Puisi yang dibaca dapat mengubah karakter anak-anak kita. Dari pendiam menjadi senyum. Dari senyum berubah menjadi tutur, dan dari tutur berubah menjadi lugas dan komunikatif. Artinya, membaca puisi dengan intonasi, volume, dan penghayatan yang benar akan mampu membangkitkan percaya diri dalam diri anak.

Beda dengan menulis puisi. Menulis puisi pada intinya adalah curhat. Mencurahkan isi hati. Ekspresi ini hanya pasif. Cendrung membuat generasi kita introvert, tertutup, atau pendiam. Cocok untuk introspek diri saja. Maka pencapaian percaya diri anak tak terpenuhi sempurna.

Apalagi anak tak mau mempublikasikan puisi yang mereka tulis. Terkurung dalam diary, notebook, atau drave saja. Tugas menulis ini baru memenuhi karakter impian dari segi keterpuasan batin. Belum ekspresif untuk memunculkan anak berkarakter impian secara lahir dan batin.

Sementara tuntutan masa saat ini anak harus puas batin dan puas lahir. Jika batin anak telah terwakili saat menulis puisi, belum tentu sudah terwakili kepuasan lahir atau fisiknya. Komponen nalar, daya pikir, ekspresi mata, wajah, dan keterpuasan mulut, lidah, dan tenggorokan belum terpenuhi.

Makanya, di kelas sering dijumpai siswa yang tak mampu menatap mata guru dan temannya. Siswa tak berani menegakkan kepala rata-rata air sesuai standard. Siswa tak mampu senyum. Siswa tak mampu berbicara. Suara siswa pelan nyaris tak keluar saat diminta membaca atau presentasi sederhana.

Situasi siswa seperti itu tentu tak sesuai tuntutan kurikulum, masyarakat, keluarga, teman, dan dunia sekolah, perguruan tinggi kelak, apalagi dunia kerja. Kasihan sekali anak-anak ini tak mampu mengekspresikan jiwa dan perasaan mereka.

Pernah mendengar anak dirundung? Anak dibuly? Bahkan anak dikucilkan, dihina, dan dibilang bodoh karena tak mampu bersuara. Suara mereka jarang terdengar hingga mereka susah senyum, menatap, dan berinteraksi. Intinya anak tak memiliki rasa percaya diri.

Kasus kecil namun krusial di atas amatlah sering ditemui guru di kelas. Susah menyuruh anak presentasi, berdiskusi, apalagi berpidato dan membuka acara. Hal ini tentu menghambat karir tampil mereka di depan kelas. Hingga berlanjut menjadi karakter introvert.

Nah, untuk itu sejak  Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD) mari kita orang tua latih anak kita di rumah membaca puisi. Carilah puisi sesuai usia mereka. Lalu ajak anak membaca puisi sesuai diksi puisi. Jika ada diksi terbang, bebas, gembira, bahagia berarti puisi kita baca dengan senyum dan semangat.

Ajak anak bereksperi lewat mata membesar jika bahagia, menyipit jika berpikir. Melebarkan senyuman, mengangguk, menggeleng, mengepal lembut, memegang dada, dan melangkah pelan. Gesture atau gerakan kecil-kecil itulah yang akan memompa motif percaya diri anak.

Tanpa ayah bunda sadari bahwa kegiatan itu telah mengajari anak berkarakter, anak berkarakter impian yang ekspresif, bersemangat, kreatif bergestur, dan bahagia lahir batin mereka. Pembentuk karakter anak impian memang berawal dari keluarga-ayah bunda. Jadi, terobosan orang tua ditunggu.

Selain menciptakan karakter impian, ayah bunda pun telah menciptakan quality time yang kondusif dengan anak. Melihat senyum anak, gerakan meniru mereka, dan ekspresi mata mereka menjadi penghilang jenuh kita saat usai bekerja. Lelah berganti kasih sayang. Kasih sayang penumbuh percaya diri mereka.

Pada akhirnya percaya diri mereka akan mewujudkan semangat belajar dan membaca. Mungkin mereka akan bersenandung atau mengulang-ulang melafalkan puisi atau lagu yang tak sengaja mereka hafal sesuai kondisi hati mereka saat itu. Senyumlah berarti karakter anak mulai muncul.

Di sinilah peran puisi memudahkan orang tua dalam mewujudkan anak berkarakter impian. Pandai berkata, suara jelas dan lugas, cepat tanggap, ekspresi hati terlihat, mimik wajah terekspos, percaya diri, dan semangat. 

Jika sudah demikian orang tua dan anak berkasih sayang. Anak akan komunikatif ketika orang tua, teman, dan guru berinteraksi dengan anaknya. Di rumah dan di sekolah mereka pun akan kreatif berdiskusi dan presentasi.

Selain orang tua, kita guru pun sangat strategis menjadikan puisi sebagai sarana pembentuk anak percaya diri dalam mewujudkan anak berkarakter impian. Pelajaran IPS, IPA, Matematika, Bahasa Inggris, Seni Budaya, Penjaskes, dan mata pelajaran lain bisa kita jadikan tugas dalam bentuk puisi.

Setelah puisi jadi, siswa pun kita minta mendeklamasikan puisi itu di depan kelas. Ini contoh pelajaran IPS.

"Belanda mengganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Agustus 1949, ketika penyerahan kedaulatan ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Sebabnya Belanda secara resmi tak mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945."

Paragraf di atas bisa dijadikan guru sebagai teks pembacaan puisi. Tanpa disadari kita sudah memupuk percaya diri anak di depan kelas. Mereka pun bisa menggunakan metode deklamasi puisi untuk menghafal konsep-konsep semua materi ajar. Jadi, mewujudkan anak percaya diri melalui pembacaan puisi mampu mewujudkan anak berkarakter impian.

Bait pelajaran IPS di atas bisa dibaca dengan ekspresi mata menyipit, suara memelas karena kita tak habis pikir bahwa Belanda ogah mengakui kemerdekaan kita. Padahal sudah merdeka. Dalam praktiknya guru bisa meminta anak membaca lebih dari satu  bait puisi. Bait di atas baru contoh ya bestie.

Adapun tugas pembentukan anak berkarakter impian ini bukan hanya visi misi orang tua. Tapi juga perlu tekad guru. Terutama guru bahasa Indonesia. Membaca puisi bukan bagian kurikulum, bukan alasan karena kita bisa menyiasti pembacaan puisi ini dalam bentuk tugas dan presentasi.

Ekspresi cowok cendrung kaku: dokpri Yusriana
Ekspresi cowok cendrung kaku: dokpri Yusriana

Sambil menyelingi keseriusan belajar, kita bisa mengajak anak olah vokal A I U E O, karena mengeluarkan suara dengan olah vokal bisa mengalfakan atau menzirokan otak anak sejenak. Ketika olah vokal usai mereka akan senyum dan tertawa bahagia.

Banyak siswa kita tak ada waktu atau peluang buat olah raga mulut. Bisa jadi akibat latar pendidikan orang tua kurang, sibuknya orang tua, dan sibuknya anak bermain game. Ajang pembacaan puisi agak satu bait dan diawali olah vokal akan membuat mereka berasa berbeda.

Hal kecil inilah yang memicu keberanian mereka berteriak Aaaaaa, berteriak iiiii, dan meneriakkan kata-kata dalam puisi. Mereka lega dan gurupun happy karena melihat kelucuan mereka berekspresi.

Orang tua dan guru bisa memilih puisi sesuai karakter harapan. Sajadah Panjang ksrya Taufik Ismail mampu membentuk karakter anak Islami dan taat kepada Allah. Puisi Aku karya Chairil Anwar untuk karakter semangat, pantang menyerah, idealis, dan menghargai hidup.

Sudah berani tampil sendiri: dokpri Yusriana
Sudah berani tampil sendiri: dokpri Yusriana

Pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa pembentukan anak berkarakter impian bisa terwujud. Kerja sama antara orang tua dan semua guru sangat urgen.

Orang tua selaku pemegang investasi atas kesuksesan anak sangat utama dalam pembentukan karakter impian ini. Begitu juga dengan semua guru, kita bisa melakukan terobosan pembentukan anak berkarakter impian hanya dengan bacaan sederhana berupa puisi yang digubah dari materi ajar kita.

Pemerintah pun selaku pengarah dan pengayom harus turut andil berkolaborasi dengan tetap menawarkan jalur lalu lintas pendidikan bernama kurikulum yang mendukung terbentuknya anak berkarakter impian. Kolaborasi semua pihak ditunggu.

YUSRIANA, S.PD
Guru MTsN Kota Padang Panjang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun