Jika ada yang menangis karena kangen kampung dan orang tua, kamipun melantunkan dengan lantang larik 4,5, dan 6. Kami mengartikan larik ke 6 dari rumah terbuang.Â
Hidup di tempat kos dengan biaya hidup pas-pasan memang terasa terbuang. Untuk beli goreng, kerupuk kuah, dan pisang kapik, kami harus menukar dengan beras karena uang tak ada. Tapi kami punya beras lebih selaku anak petani. Kami bahagia dan tak dikucilkan karena itulah tren belanja pada tahun 1989-an itu, barter.
Biar peluru/ menembus/ kulitku//
Aku/ tetap meradang/ menerjang//
Luka/ dan bisa kubawa berlari//
Berlari//
Jika ada Ulangan Harian yang susah ditaklukkan maka kami bersama teman-teman melagukan larik 7,8, 9, dan 10. Penekanan pada larik 9 dan 10. Luka/ dan bisa/ kubawa/ berlari/
Berlari//
Biasanya diiringi tangisan kesepian karena kangen kepada Mak di kampung. Terbayang Mak memakai baju kerja ke sawah basah dan berlumpur di bawah terik  matahari yang panas. Lalu semangat menyala lagi hingga kami deklamasikan...
Hingga/ hilang/ pedih/ peri...
Dan aku/ akan lebih tidak peduli/
Aku/ mau hidup/ seribu tahun lagi//
Biasanya di kosan semua kakak kelas pun akan ikut meraung menangis. Mengerumuni kami membaca puisi. Lalu kami berpelukan, tertawa, dan kembali menghafal. Sugguh masa sekolah menyenangkan berpuisi ria. Puisi ini memang jitu pembangkit semangat juang.
Tak terasa puisi Aku sudah 100 tahun ditelurkan sang puitis idealis Chairil Anwar. Terbayang foto Chairil dengan hiasan entah penah atau rokok.
Puisi Aku dalam Mengenang 100 Tahun Chairil Anwar
Puisi Aku pas kita resapi ketika sedang galau, down, sedih, dan kehilangan motivasi. Semangat beliau menurut Armyn Pane dan HB. Jassin terwakili dari kata Aku. Aku di sini mengandung arti api yang berkobar melawan Jepang.
Bahkan puisi dalam kenangan ini pernah ditolak redaksi Panji Poestaka untuk dimuat karena takut kepada Jepang. Kemudian puisi Aku dimuat di Majalah Timur oleh Nur Sutan Iskandar.