Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Rantai Pekerjaan dari Zaman Jadul hingga Zaman Aplikasi App

19 Juli 2022   09:55 Diperbarui: 19 Juli 2022   09:57 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rantai Pekerjaan

Bingung, mungkin itu di hati teman-teman ya membaca istilah rantai pekerjaan. Biasa kita mempelajari Biologi yang ada istilah rantai makanan. Istilah ini sangat populer .

Kali ini kita bahas rantai pekerjaan. Rantai pekerjaan atau disebut Jaringan pekerjaan. Rantai atau jaringan pekerjaan adalah suatu ekosistem makhluk hidup yaitu perpindahan pekerjaan  dari sumber pekerjaan melalui seri model atau melalui jenjang pendidikan dimana suatu pekerjaan dipilih untuk mendapatkan jabatan dan upah.

Rantai atau jaringan pekerjaan ini hanya akan saya bahas dari 3 model saja yang sering kita alami dan mudah dilihat contohnya dalam kehidupan. Tapi sungguh dasyat akibatnya bagi ketahanan pangan, inflasi, dan defisit anggaran di masa depan. Inilah rantai pekerjaan dari zaman jadul hingga zaman App.

Anak dari Seorang Petani

Pada usia 4-5 tahun, anak masih mengagumi orang tuanya dan pekerjaannya. Dunianya di zaman jadul ini masih  seputaran Mak Bapaknya apalagi anak yang jauh di desa petani.

Zaman jadul ini yang ada baru televisi hitam putih dan telepon duduk yang hanya dimiliki orang-orang kaya. Masyarakat petani tak memiliki. Kadang mereka hanya menumpang di rumah orang kaya itu untuk menonton.

Dengan pergeseran waktu anak petani mulai memasuki usia sekolah dasar (sd). Kelas 4,5,6 pola pikir anak petani mulai berubah. Terutama anak yang cerdas. Ia rajin membaca di perpustakaan sekolah. Meski cuma cerita dongeng dan buku fiksi lainnya.

Wawasannya mulai terbuka. Pekerjaan petani tidak lagi menarik karena pakaian kerja Mak Bapak yang berbeda dengan pakaian kerja guru di sekolahnya yang  bersih dan wangi.

Cita-cita anak petani berubah, saya mau jadi guru. Selain pakaian kerja, faktor panas dan lelahnya berjemur di bawah terik matahari juga menjadi alasan. Demikian teduh seorang guru mengajar di kelas hanya bermodal suara dan ilmu tanpa berkeringat.

Begitu juga faktor upah dan gaji. Di profesi petani perputaran uang lama menunggu panen sedang di profesi guru uang upah dan gaji berputar setiap bulan. Anak petani yang pintar mulai beralih zaman dari jadul menuju zaman perubahan.

Anak dari Seorang Guru

Ketika anak petani menghindari rantai pekerjaan turun temurun bertani, anak guru justru menghindari mata rantai pekerjaan guru Ayah Bundanya. Ketika mereka kecil sama cita-cita pun pengen jadi guru. Mereka pun dengan teman sebayanya akan berperan alek-alek sebagai murid dan guru.

Namun itu di usia dini atau pra sekolah juga. Tapi ketika mereka SD dan SMP pola pikir mereka telah berubah pula. Apalagi mereka sudah melihat model lain pekerjaan selain guru. Ada ayah teman berprofesi dokter, pedagang,bahkan pengusaha.

Keinginan ayah bunda guru pun pada anaknya beragam. Mereka pun sama seperti harapan Mak Bapak Petani. Jangan hidup susah lagi seperti model mereka. Ayo kejar cita-citamu nak setinggi bintang di langit nasihat mereka.

Maka anak guru pun pengen jadi dokter, polisi, pedagang, pengusaha, bahkan menjadi duta. Mereka rajin belajar bersama teman-temannya. Bahkan ikut les bahasa agar memiliki modal untuk go internasional. 

Profesi guru bergaji pas untuk makan bersama keluarga dengan besaran 5000-8000 sekali makan per kepala sudah berat apalagi bagi guru yang mengontrak rumah, membayar cicilan motor, mobil. Hidup orang tua guru dinilai melarat atau pas-pasan dengan tuntutan tugas setinggi langit dari si bos dan si bosnya sibos.

Begitupun tuntutan dari orang tua anak yang sibuk berbisnis dan bekerja hingga mencak-mencak ke guru karena anaknya gagal naik kelas. Jika guru ingin rumah, menggadaikan SK pilihan utama karena uang gaji hanya pas untuk makan, biaya kontrak, cicilan, dan sedikit uang sekolah atau les anak. Dengan menggadai SK ini, uang makan mereka

Anak dari Seorang Perawat dan Bidan

Anak dari seorang ASN Perawat dan Bidan pun demikian. Anak-anak ini pun menatap profesi perawat dan bidan kurang menjanjikan. Mata rantai pekerjaan ini pun mereka serahkan kepada anak petani yang mulai modern. Ingin menjadi perawat atau bidan. Tapi bagi anak guru dan anak perawat serta bidan pekerjaan ini kurang menantang dari segi upah.

Mereka pun giat belajar agar bisa dapat sekolah favorit. Kemudian kuliah di Perguruan Tinggi favorit dengan bidikan tempat bekerja di kantor kementerian. Mereka mengambil statistik, hukum internasional, hubungan internasional, dan jurusan-jurusan strategis kepemerintahan lainnya demi bisa duduk di kantor bonafid dengan gaji 3 kali lipat dari gaji Ayah bundanya.

Tiga contoh di atas merupakan wakil pergeseran kecendrungan mata rantai pekerjaan anak di zaman jadul hingga zaman App ini. Jika kita simak 3 contoh di atas untuk profesi guru ada mengalami regenerasi dari anak petani. Begitupun perawat dan bidan juga  mengalami regenerasi dari anak petani juga mungkin dari anak dengan orang tua profesi ASN lain.

Namun kita tak memiliki regenerasi untuk profesi petani. Kurangnya minat kita dan anak memilih profesi petani perlu mendapat perhatian. Jika kondisi ini berlanjut semua berburu P3K, ASN, dan kantoran bagaimana laju pertanian kita. Bagaimana pertahanan pangan kita.

Tentu inflasi tak bisa dihindari karena kita harus mengandalkan barang impor. Barang impor tentu lebih mahal daripada produksi dalam negeri. Kelangkaan pangan di beberapa daerah akan memicu tengkulak memilih menjual hasil tani ke beberapa daerah langka pangan itu karena godaan harga bisa 3 kali lipat.

Inflasi pun tak bisa kita hindari. Defisit anggaran pun akan mengintai untuk pengeluaran-pengeluaran sebagai beban negara yang ditimbulkan inflasi di mana-di mana. Daya beli masyarakat yang rendah akibat inflasi pun mengakibtkan realisasi pendapatan negara tak mencapai sasaran.

Sudah saatnya pengambil kebijakan menunduk menatap ke bawah, sektor pertanian. Jangan lagi mengiming-imingi generasi dengan hal muluk-muluk, luar negeri. Sudah saatnya kita kembali berorientasi kepada ketahanan pangan. Jangan sibuk dengan aplikasi App.

Kurikulum kita pun perlu direvisi dan dirillkan jangan gemborkan sesuai kebutuhan luar negeri. Kita butuh beras, cabai, dan lauk. Sudah saatnya menteri pendidikan, dosen, dan guru melirik siswa berjurusan pertanian, mahasiswa fakultas pertanian, dan masyarakat petani baik yang putus sekolah karena ketiadaan dana dan keterbatasan kecerdasan.

Rantai pekerjaan lain mengalami regenerasi. Mengalami kemajuan dan perhatian dari pembuat kebijakan. Tapi profesi petani profesional tak pernah mendapat sentuhan perubahan zaman App. Padahal perut kita tak akan pernah berubah zaman. Tetap membutuhkan zaman beras dan cabai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun