Rumah beroda empat berhenti menurunkan barang masa depanku dan menitipkanku kepada ibu baruku yang umurnya seumur nenekku.
Ibu baruku sudah beruban dan bungkuk seiring umurnya jelang kepala enam kami biasa menyanjungnya dengan sebutan amak berarti nenek.
Amak memang sudah tidak muda lagi tapi kuat menyapa barang-barang masa depanku dibantu cucunya bernama Nita ia cantik putih barambut pendek seperti korea.
Senangnya hatiku mendapati kakak-kakak cantik dan ramah di rumah baruku sehingga terselip doa dihati semoga mereka menyayangiku seperti langit memeluk bulan dan bintang.
Kakak-kakak menyapa dengan binar mata bintang membuat naluri kampungku merasa minder dan malu sebagai awal mereka memberiku gelar sombong.
Apalah yang akan diri pamerkan kepada sombong dengan wajah ndeso dan kulit wajah terbakarku tapi inilah takdir pertama di rumah masa depan mengingatkan kita kuburan dua yang ada karena kesalahfahaman bahsasa.
Bahasa tubuh dan bahasa bibir kadang tak sesuai ekspektasi lawan bicaramu yang tidak bisa meneropong perkataan hatimu untuk dibaca lawan bicaramu sehingga keluar umpatmu cari gara-gara.
Jika ini terjadi sebaiknya jadilah emas dengan diam karena melawan atau membela diri pun tiada bisa merekat piring retak lagi hingga berhati-hatilah dengan kemunculan di sekelilingmu musuh dalam selimut.
Musuh tak pernah dicari tapi bertemu musuh janganlah lari karena tak akan menyelesaikan masalah diri  lebih baik keluarkan kambing walau di hatimu adanya harimau.
Mula masalah inilah  hidup iri dan dengki datang tanpa restu apalagi diiringi pikiran negatif maka berlakukan saja sikap pura-pura tak menerima permusuhan diri.
Berikan saja senyum mautmu walau ia balas mata putih karena tak semua kakak berhati sama seperti pepatah rambut sama hitam isi di hati siapa yang tahu.
Lain lubuk lain ikannya lain orang lain pula sifatnya bisa jadi orang yang membecimu lebih baik padamu kelak daripada orang yang menyayangimu.
Bak lidah menyalam lalap pario ketika bertemu terasa pahit setelah sekian detik berubah manis begitupun cabe, garam, dan asam jika disapa lidah satu-satu sungguh tak ada sensasi seperti asam pedas ikan.
Lajulah sepeda kumbang di jalan berlubang selalu begitu sejak zaman penjajah Jepang kata guru Umar Bakri dalam lagu Iwan Fals.
Itulah hidup yang harus kita sapai dan kelonin dengan sayang menuju masa depan bernama cita-cita bukan hanya langkahmu yang dihadang namun semua kaki generasi dijegal agar jatuh meski tak ada untung dan rugi.
Istirahatkanlah sejenak hatimu di sajadah panjangmu sambil tengadahkan tanganmu meminta pertolongan ilahimu yang sempat lupa kau lakoni karena sibuknya masa depan mengajakmu berkelana menjelajahi pergaulan di rumah masa depan bernama kosan ini.
Manjakanlah batinmu dengan lantunan ayat-ayat ilahi yang ampuh memejamkan mata lelah dan tubuh letihmu dari perjalanan bersama rumah berjalan beroda empat itu.
Esok akan kau dapati jiwa baru berpeluk masa depan yang siap mengajakmu menjelajah dunia baru bernama kelas dengan mata-mata guru dan temanmu yang bisa jadi lebih ramah atau malah lebih tajam dan menyikat dari mata si kakak kos yang sinis.
Selalulah pegang penyemangat bernama harapan bahwa 50 persen mata itu menyukaimu dan 50 persen lagi ada yang sangat membencimu, setengah benci, atau seperempat benci.
Namun tetap seimbang maka pegang eratlah yang menyayangmu sambil lebarkan sayap menyayangi yang membecimu karena hidup tak akan manis tanpa mereka pembanding pahit sebab hidup sejatinya berpasangan.
Tetaplah semangat mengayuh kakimu dan tetaplah senyummu menegur masalahmu karena senyum mampu mematahkan kegundahan hatimu dan hati mereka ketika bibirmu mengukir garis simetris bernama senyum maka mata mereka akan merengek manja kepada otak untuk membalas garis simetris bernama senyum tanpa dipaksa oleh siapapun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI