Akhirnya, saya wisuda sarjana dari ibu petani yang perkasa. Nomor dua pun sarjana dengan nasib sama seperti ayah. Kurang sabar honor. Nomor tiga tamat aliyah/sma, nomor empat sarjana, dan adik bontot sarjana muda.
Menetes air mata petani mengikuti jejak sarjana anak-anaknya. Hilang lelahnya sementara. Beliau hanya tahu kita sekolah dan kuliah. Beliau tak tahu bagaimana sulitnya membagi uang 12000 sebulan yang sudah dipotong ongkos pulang pergi ke kampung.Â
Kadang kita makan dengan tomat dan bawang perai sisa minggu lalu. Tapi itu semua tak perlu beliau tahu agar tak hilang rasa bangga beliau telah mengantarkan 4 anak sarjana dan 1 SMA. Beliau saja tak tamat SD karena keluarga yang kurang beruntung. Namun dengan tekad, cukup saya saja petani, Tuhan mereka jangan. Mereka takkan sanggup doanya. Ternyata, beliau bisa mengantar anaknya menuju sarjana dengan keringat petani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H