Hingga saya kelas lima SD memberi usul kepada umak untuk berjualan sayur di pasar jonjong dekat rumah. Tiap hari saya berjualan sayur sepulang sekolah. Umak ke sawah dan ayah mencoba pula buka warung di rumah.Â
Untuk sesaat kami bernapas lega. Umak pun sudah bisa membawa kawan ke sawah. Dilebarkanlah usaha sawah itu. Disewa sawah di Sumur Padang. Semua dihendel umak dengan membawa orang upahan.Â
Kedai ayah pun mulai maju. Ayahpun mulai mengibarkan sayap menjadi toke kopi, karet, cengkeh, padi, dan kulit manis. Bermodal  kereta angin (sepeda) ayah menoke.
Ajakan untuk bekerja sama diheler pun datang. Ayah semakin fokus menoke padi dan beras. Hasil bumi lainnya sudah tidak lagi. Saingan banyak kata beliau waktu itu.
Saya pun berjualan sayur kurang laku. Ada adik kelas yang jago berjualan. Pandai merayu pembeli yang lewat. Sungguh ia sangat ramah. Semua orang memujinya. Kadang rasa menangis kita tak bisa sehebat ia merayu.
Saya malah asyik menontonya merayu pembeli jika kami sedang di pasar. Teman saya yang lain pun iri kepadanya. Tapi apalah daya. Kita kalah bersaing.Â
Tak terasa saya pun tamat SD. Ayah memutuskan saya bersekolah di Kota Kabupaten. Jaraknya 1 jam perjalanan dengan mobil umum ke sana. Kakak sepupu saya telah menunggu di sana.
Tes pun diadakan. Saya minder. Orang kota cantik-cantik. Wajah mereka mulus-mulus. Lah wajah say sudahlah kucel banyak bekas kuku lagi. Entah mengapa teman sebaya saya suka merasa tersinggung dengan ucapan saya.Â
Mereka bilang saya sombong. Padahal tidak. Tapi saya berusaha tetap semangat. Daripada dicakar pakai kuku lebih baik menghindar dan cari zona aman. Jujur saya memang tak bisa bertengkar dengan tangan. Kasihan.Â
Pernah pula ketika baru masuk sekolah di kota. Saya menyapa anak kecil. Saya pegang kepalanya. Tahu-tahu sore hari diajaknya teman-temannya buat menyerang.
Wow, kaget dan takut. Untung ada yang melihat lalu melerai. Mereka minta penjelasan mengapa pegang kepala si dedek. Saya pun menjelaskan karena sayang, teringat sama adek di kampung.