Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ikhlas

19 Juni 2022   18:11 Diperbarui: 19 Juni 2022   18:15 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Ikhlas

Satu kata yang harus ada dalam diri kita jika ingin bahagia. Ikhlas hanya butuh kerelaan. Sesekali diam. Sesekali menangis. Sesekali senyum dikulum saja. Terlepas dari kata-kata yang berkecamuk di dada. Baik mengumpat, memaafkan, maupun menyayangkan. Ikhlas tidak mau tahu dengan isi hati kita dan pikiran kita. Apakah ikhlas sosok yang egois? Tidak. 

Dia tidak egois karena dia tak berperasaan. Dia pun jauh dari punya otak apalagi pertimbangan. Ikhlas itu perasaan kita. Ikhlas itu hati nurani kita. Ikhlas itu ada dalam otak kita, logika kita, dan analisa kita. Suka tidak suka, rela tidak rela, percaya tidak percaya, ikhlas ada dalam kendali diri yang sudah kenyang makan garam kehidupan. Manis pahit pengalaman hidup. Yah, ikhlas ada pada diri yang sudah melewati nano-nano kehidupan. Manis, asam, asin, rame rasanya.

Ketika kita berhadapan dengan logo ikhlas beramal, awalnya kita bingung. Bahkan ada pula yang cemeeh. Ikhlas beramal bukan berarti tak bergaji. Hanya saja gaji yang diterima belum sesuai ekspektasi kita. Padahal ekspektasi kita belum tentu sesuai dengan ekspestasi pemerintah atau perusahaan. Ekspektasi itu hanya berupa hayalan dan harapan kita. Kita belum merunut sebab akibatnya. Boleh kita berekspektasi tapi tak boleh frustasi apalagi mundur.

Ibarat menanam pohon. Pohon ditanam tidak bisa langsung besar dan siap tebang. Tapi butuh proses. Butuh jeda menyiram, memupuk, menyiangi, bahkan untuk saat ini butuh pestisida karena banyaknya hama. Hama dalam kehidupan bersinonim dengan tantangan. 

Pun dalam hidup kita banyak hama dan tantangan. Baik jumlah populasi penduduk yang bertambah, jumlah orang-orang pintar yang selangkah lebih maju dari kita, juga kecanggihan zaman yang tak bisa kita ikuti karena kita gagap teknologi.

Ikhlas memang senjata kita paling ampuh untuk mau menerima takdir kita. ( Baca "Takdir" tulisan Yusriana Siregar Pahu di Kompasiana). contoh sederhana pembantu kita di rumah. Dulu ketika kita masih muda begitu mudah emosi dan mengambil keputusan yang salah ketika pembantu kita berulah. Misalnya, tiap hari ada saja piring pecah. Kita belum bisa ikhlas. 

Begitu pula ketika ia membersihkan rumah kita kurang bersih, kita pun tak ikhlas. Sudah sekian kesalahan menurut kita diperbuatnya, kita pun memecatnya. Padahal mereka tak ingin piring itu pecah. Mereka juga tak ingin pekerjaannya tidak bersih. 

Bisa jadi piring pecah karena ia sedang mumet memikirkan masalah di rumahnya sendiri. Membersihkan rumah tidak bersih karena kelupaan. Ketika membersihkan kunsen pintu ada tamu yang memanggil mungkin sehingga ia lupa melanjutkan pekerjaan itu. Butuh keikhlasan kita agar  gajinya berkah untuk keluarganya.

Begitupun mengharungi pergaulan sehari-hari kita dituntut ikhlas. Ketika teman kita menaruh sampah bekas makannya atau piring kotornya di atas meja kerja kita. Pindahkan saja piring  kotor itu ke westafel dan bantu buang sampah ke tong sampah. 

Semua lini kehidupan kita berdinding ikhlas. Seiring perjalanan waktu perlahan-lahan kita bisa ikhlas. Ternyata ikhlas itu perlu memaafkan. Sikap memaafkan ternyata menyisakan bahagia meski awalnya kita terpakasa. Semua memang berawal dari keterpaksaan. Lama-lama menjadi kebiasaan. Akhirnya pasrah dan berbuah ikhlas. Tersenyum itulah kata kuncinya.

Awal menulis di Kompasiana ini pun aku merasa geli. Bermula dari ada tawaran teman untuk naik pangkat. Setelah kami baca syaratnya salah satunya ada karya tulis. Baik PTK, Jurnal Ilmiah, maupun artikel populer. Bingung juga mau menulis tentang apa karena sudah lama tak menulis. 

Dulu pun sering menulis hanya seputar puisi, cerpen, dan kajian sastra seperti bikin tinjauan novel atau karya fiksi. Waktu itu satu tulisan di surat kabar jika feature 35 rb per feature dan 10 rb untuk puisi. Masuknya pun susah karena harus bersaing dengan rekan mahasiswa. Akhirnya of lebih memilih mengurus anak. Di sini pun nampaknya saingan kita berat. Tetap banyak mahasiswa dan mungkin juga siswa.

Tak lama berselang di group WA sekolah ada tawaran seminar online bikin PTK. Gratis lagi. Syarat ikut harus share pengumuman seminar online mereka di 3 group. Iseng akupun daftar. Zoom meeting dapat sedikit bocoran cara bikin PTK. Di ujung zoom kita pun ditawari kelas online bikin PTK. 

Biaya pelatihan 100 rb sampai PTK selesai. Serasa pucuk dicinta ulampun tiba. Ikhlas 100 rb. Positif Thinking, akhirnya transfer. Dua minggu menunggu kelas dimulai. Karena ikhlas tak ada resah. 

Dua minggu pun tiba mulailah pelatihan bikin PTK. Ternyata kelasnya profesional. Separoh jalan bikin PTK, datang lagi tawaran dari mereka seminar gratis bikin artikel populer dan banyak lagi yang lain. Biaya sama 100 rb hingga bisa. Akupun coba ikhlas daftar dan juga selesai 1 artikel dengan judul " Jadikan Cerpen Pembentuk Anak Berkarakter Impian."  

Ternyata hari ini Minggu, 19 Juni 2022 artikelku ini masuk kategori Pilihan Editor. Artikel Utama. Serasa mimpi deh aku hari ini Kompasiana dan Kompasianer. Mmmhh bahagia banget deh. Mantul sudahlah tampil di Kompasiana. Pilihan Editor dan Artikel pilihan. 

Insfiratif, itu penilaian pertama dari sahabat kita Ali Musri Syam. Makasi ya Bapak Ali Musri Syam.

Lagi, kilas balik awal nulis, penasaran. Iseng-iseng muncul nafsu ingin gaji. Penasaran, sungguh. Inilah tabiat kita manusia. Iseng buka K-Rewards. Penasaran lagi, ujung dari karir kita di kompasiana ini apa? Dapat apa? Kembali rasa ikhlas menulis diuji. Ternyata Rewards ada. Aku Klik tanda merah. 

Muncul pesan akun Anda belum tervalidasi. Nah kucoba validasi. Bingung nomor Gopay apa? Meski aku ada aemitra aplikasi jual pulsa dan ada Gopay di sana, jujur di kotaku belum ada yang beli Gopay. He he he. Buka google cara dapatin nomor rekening Gopay. 

Hingga muncul centang hijau. Penasaran lagi. Buka validasi ternyata muncul pemberitahuan akun belum memiliki 50 konten dan bla-bla. Sempat frustasi. 50 konten dan 3000 viewer bisakah diraih? Paling berat 100 komentar.

Lagi-lagi Ikhlas kita diuji. Penasaran lagi. Hitung kalender. Dari hari tersisa harus mampu menulis minimal 3 konten per hari untuk mencapai target 50 konten. Terus belajar tentang kompasiana. 

Akhirnya pencarian sampai pada tulisan 25 peraih rewards bulan Mei 2022. Salah satunya Irwan Rinaldi Sikumbang dan Mba Isti. Senior semua. Selamat ya sobat. Hingga aku belajar  dari Kak Siska Dewi di diary tentang "Indahnya Persahabatan: Refleksi Dua Tahun di Kompasiana."

Dari tulisannya itu semangat untuk menulis muncul lagi. Ikhlas untuk mencerdaskan anak bangsa, meski di dasar hati kita memang butuh rewards. Tapi, ilmu, berbagi, support, dan persahabatan ini ternyata lebih indah. 

Aku akan mulai terapkan pembelajaran dari beliau. Lagi-lagi puisi Pak Bams tentang gotong royong benar. Kita harus bersama bahu membahu. Saling vote dan komentar. Apresiasi untuk kita semua. Tanpa sahabat kompasiana kita tak ada apa-apanya.                                                    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun