Regenerasi pejabat tentu suatu keharusan. Jika ingin berbuat dan ingin mengubah suatu sistem haruslah kita menjabat. Nah, setiap terjadi pergantian pejabat tentu terjadi pula perubahan sistem, konsep, dan tata kerja sesuai program kerja yang disusun. Ini suatu kelaziman karena setiap calon yang maju pasti punya cita-cita, visi misi, bahkan kepentingan.Â
Contoh sederhana ketika siswa kita di sekolah akan mencalonkan diri jadi ketua OSIS, mereka diminta menyiapkan visi misi dan program kerja satu tahun ke depan untuk menjabat ketua OSIS. Pun demikian saat seorang calon DPRD, DPR, MPR, dan Presiden mencalonkan diri.Â
Bahkan visi misi dan program kerja ini harus diumbar ke publik oleh tim sukses mereka agar gol saat pemilihan. Media masa menjadi prioritas sarana kampanye, poster, selebaran, bahkan face to face atau dari satu pintu ke pintu lain.
Demikian pula saat pengangkatan menteri, tentu ada syarat, loyalitas, tawar menawar program, dan pemikiran konsep lainnya bagi seorang Presiden dalam memilih dan menetapkan menteri sebagai perpanjangan tangan beliau dalam mengerjakan, menyikapi, dan melanjutkan program kerja beliau.Â
Di sinilah selaku penikmat kebijakan kita rakyat dari berbagai karir dan pekerjaan kadang merasa pro dan kontra atas kebijakan mereka. Satu sisi kebijakan itu menguntungkan pihak swasta satu sisi merugikan pihak lain.Â
Untuk sementara, angin segar datang untuk kita, para tenaga kerja honorer. Kita tak akan langsung diberhentikan pada 2023 ini menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo. Beliau menegaskan kebijakan ini sebagai amanat Undang-undang No. 5/2014 tentang ASN yang disepakati bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku penyampai aspirasi kita.
Terkait outsourcing perlu diadakan menurut beliau karena tenaga honorer sekarang kesejahteraannya jauh di bawah UMR. Pemerintah dan DPR sedang mengkaji, menelusuri, mencari jalan agar kompensasi tenaga honorer bisa setara dengan UMR.
Sejauh ini, banyak anggapan yang mengatakan bahwa pengangkatan tenaga non-ASN adalah perintah pemerintah pusat. Namun, anggapan tersebut adalah salah.
Sejak beberapa tahun lalu, rekrutmen tenaga honorer diangkat secara mandiri oleh masing-masing instansi sesuai kebutuhan instansi tersebut.Â
Adapun gaji mereka dikeluarkan dan dibayarkan oleh instansi tersebut dengan anggaran yang disiasati. kalau di sekolah-sekolah biasanya dari dana bos dan komite sekolah. Tidak ada standardisasi dalam perekrutan tenaga honor ini.Â
Sebab itulah menurut beliau perlu dilakukan outsourcing. Tujuannya agar ada standardisasi rekrutmen dan upah sehingga tenaga non-ASN itu diharapkan dapat ditata. Dapat bergaji sesuai UMR.