Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Jadikan Cerpen Pembentuk Anak Berkarakter Impian

5 Juni 2022   14:36 Diperbarui: 19 Juni 2022   17:00 1533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karakter anak bangsa menjadi salah satu PR (Pekerjaan Rumah) bagi kita semua. Terutama kita orang tua dan guru. Semakin hari, karakter anak bangsa makin meresahkan. 

Tawuran antar pelajar, seks bebas, ngelem, miras, narkoba, pelacuran di bawah umur, bahkan baru-baru ini salah seorang pelajar salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kota berjuluk Serambi Mekah, Padang Panjang ini tega menganiaya Mamanya hanya karena tidak diijinkan bermain HP.

Buah takkan jauh jatuh dari pohonnya. Begitulah salah satu pepatah lama mengatakan bahwa karakter anak kita, sikap anak kita, atau perilaku anak kita sangat tergantung kepada siapa orang tuanya. 

Orang tua yang baik akan menelurkan anak yang berkarakter baik. Pun orang tua yang tidak perhatian akan menelurkan anak kurang perhatian pula. 

Perlu kiat bagi kita orang tua untuk menegur anak. Sikap marah saat menegur justru akan menurunkan reaksi marah pula pada anak. Sebaliknya, sikap kelon atau memeluk sambil memijit punggung atau kepala anak akan menumbuhkan sikap menghargai pula pada diri anak.

Sayangnya, sikap kelon ini tidak semua orang tua memilikinya. Ilmu kelon hanya dimiliki beberapa persen dari orang tua di Indonesia saja. Akhirnya kasus kekerasan dan kebebasan pun terjadi seperti kasus di atas. 

Untuk meminimalisir kejadian-kejadian tersebut dalam hal ini orang tua selaku bagian dari masyarakat Indonesia menumpangkan pembentukan karakter itu kepada kita guru tepatnya sekolah atau madrasah. 

Sering kita dengar orang tua datang mengantar anaknya ke sekolah berasrama memohon agar anaknya diterima di sekolah itu. 

Di rumah katanya anaknya susah diatur dan disuruh belajar. Bukan disuruh, tetapi sebaiknya kita ajak untuk belajar. Kata kita ajak berarti orang tua juga ikut belajar atau minimal mendampingi. Berbeda dengan kata menyuruh atau disuruh. Berarti orang tua tidak ikut belajar atau tidak mendampingi.

Memang tidak adil, belajar tidak didampingi dan ketika anak membuat ulah di suatu tempat maka masyarakat pun kadang kurang adil. Sebagian masyarakat hanya akan bertanya dua hal. Siapa orang tuanya?  Di mana sekolahnya? 

Sehingga, kedua pertanyaan itu mengingatkan kita pada pepatah di atas, "Buah takkan jauh jatuh dari pohonnya." Lalu apa hubungannya dengan di mana sekolahnya? Karena pembentuk karakter kedua setelah keluarga adalah sekolah dan madrasah.

Sekolah dianggap oleh kita orang tua, masyarakat pada umumnya, bahkan lembaga pemerintah sebagai pembentuk karakter yang ampuh. Padahal kita tidak menyadari bahwa anak selaku siswa di sebuah sekolah hanyalah hitungan jam bersama Bu Guru A atau bersama Bapak Guru B. 

Pun jumlah siswa yang harus dididik oleh guru tersebut bukan satu dua siswa dalam satu kelas tetapi tiga puluhan siswa. Istilah kerennya klasikal. 

Maka tiga puluhan pula karakter mereka yang harus dibentuk atau mungkin diubah oleh guru. Sementara itu, tidak jarang bahwa ibu guru dan bapak guru yang ada di hadapan mereka belum memiliki pengalaman mendidik anak karena masih lajang atau gadis.

Perlu kita sadari bahwa waktu anak lebih panjang bersama orang tua mereka di rumah. Siang hari pulang sekolah, malam hari, dan pagi jelang ke sekolah sebenarnya masa emas orang tua dalam membentuk karakter anak. 

Tapi, orang tua pun tidak bisa kita salahkan karena mereka pun berkutat mencari sesuap nasi dan sebongkah berlian mulai jam kerja berlaku. Jam pulang kerja mereka sudah kelelahan. 

Bahkan tak jarang waktu mereka pas pulang kerja di jalan karena macet. Tiba di rumah sudah kelelahan sangat. Jangankan mendidik anak, bertegur sapa pun kadang tidak sempat karena anak sudah keburu tidur.

Situasi demikianlah yang membuat kita bingung. Siapa yang sewajarnya memikul tanggung jawab guna pembentukan karakter anak bangsa ini? Jawabannya tentu tetap orang tua, guru, masyarakat sekitar, dan pemerintah tentunya. 

Setiap kita punya peran dan posisi dalam hal ini. Posisi orang tua. Menurut salah seorang penulis artikel online Kompasiana,com, yang paling utama bertanggung jawab atas karakter anak adalah orang tua. Terutama ibu. Ibulah yang paling paham akan arah dan kebutuhan anak. Memang pepatah di atas tidak salah menyampaikan bahwa buah takkan jauh jatuh dari pohonnya.

Namun, meskipun demikian pada artikel ini kita tidak akan membahas sejauh mana tanggung jawab orang tua dalam pembentukan karakter anak. 

Tapi kita akan bahas sejauh mana guru selaku pihak pendidik mampu membentuk atau mengarahkan anak ke karakter impian, yakni karakter baik.

Hadis Nabi mengatakan, Dari Abi Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : "Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi." 

Sekolah sebagai pilihan orang tua dalam pembentukan karakter impian sangat relevan dengan hadis ini. Ke mana anak di sekolahkan? Mulai dari TK, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Di sekolah ini akan ada guru sebagai pembentuk karakter.

Guru selaku tonggak pencetak karakter di sebuah lembaga pendidikan sangat menentukan kemana arah karakter anak. Salah satu guru yang mampu mengarahkan anak kepada karakter impian adalah guru Bahasa Indonesia. 

Guru ini sangat strategis untuk membentuk karakter siswa sesuai misi lembaga pendidikan anak kita. Guru ini memiliki satu alat pembentuk karakter yaitu pembelajaran menulis cerpen. 

Pembelajaran menulis ini sudah ada sejak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Menulis karangan naratif seperti fabel, dongeng, drama, dan cerpen. Di kelas Sekolah Menengah Pertama, pada kelas sembilan ditambah lagi dengan tugas Literasi Buku Fiksi dan Buku Non Fiksi.

Dalam pembelajaran menulis cerpen ini guru memerlukan beberapa judul cerpen siap baca oleh pengarang profesional sebagai referensi, rujukan, atau contoh agar anak dalam menulis cerpen paham dan percaya diri dalam menggali ide cerpen yang akan ditulis. Metode pembelajaran ini menggunakan pendekatan kontekstual.

Pada pendekatan ini guru menyuruh siswa untuk memilih salah satu pengalaman hidup mereka lalu cocokkanlah dengan salah satu cerpen yang dijadikan sebagai referensi tersebut. 

Nah, guru yang berniat membentuk siswa berkarakter bijaksana maka dapat menyediakan bahan referensi cerpen bertokoh dengan karakter bijaksana. 

Jika guru berniat menjadikan anak berkarakter tepat waktu untuk sholat maka guru pun bisa mempersiapkan referensi cerpen yang sama.

Pada metode ini kita tidak menyadari bahwa cerpen bisa kita jadikan sebagai alat pembentuk anak berkarakter impian kita. Mari berkolaborasi ayah bunda. 

Berkolaborasi antara orang tua dengan guru. Kolaborasi  guru dengan orang tua dalam hal ini sangat urgen. Guru bijak memiliki alasan yang faktais memberi anak tugas mengumpulkan data jumlah judul cerpen yang sudah dilahap oleh anak di rumah. 

Orang tua sebagai patner kolaborasi harus pula pro kepada guru dengan mendampingi anak membaca cerpen tersebut. Dengan demikian terjadilah sinergi yang baik belajar Bahasa Indonesia dengan harapan orang tua, guru dan negara untuk mencetak generasi berkarakter baik.

Maka kasus seperti salah  seorang murid di salah satu SMP swasta di Kabupaten Gresik yang menantang gurunya saat ia diingatkan oleh gurunya untuk tidak boleh merokok tidak akan terjadi. 

Pada kasus tersebut, seorang siswa memegang kerah gurunya sambil merokok dan melempar kata-kata yang tidak sopan. Walaupun kasus tersebut berakhir dengan damai karena sang guru telah memaafkan siswa tersebut. 

Kasus ini merupakan tamparan keras bagi dunia pendidikan Indonesia yang saat ini sedang digemborkan dan diaplikasikannya pendidikan karakter bagi anak Indonesia. 

Bahkan dalam Permendikbud No. 20 tahun 2018 pasal 2 disebutkan bahwa Penguatan Pendidikan Karakter dilaksanakan dengan nilai-nilai pancasila dalam pendidikan karakter. 

Dengan penguatan pendidikan karakter ini diharapkan dapat menanamkan karakter mulia bagi peserta didik melalui pendidikan lingkungan sekolah mengingat saat ini semakin lunturnya nilai-nilai karakter siswa. Kasus tantangan siswa kepada guru adalah contoh nyata merosotnya moral siswa di lingkungan sekolah.

Pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa pembentukan anak berkarakter impian bisa terwujud. Kerjama sama antara orang tua dan guru sangat urgen. 

Orang tua selaku pemegang investasi atas kesuksesan anak sangat utama. Pun demikian selaku guru kita bisa melakukan terobosan pembentukan anak berkarakter impian hanya dengan bacaan sederhana berupa cerpen. 

Pemerintah pun selaku pengarah dan pengayom harus turut andil berkolaborasi dengan tetap menawarkan jalur lalu lintas pendidikan bernama kurikulum yang mendukung terbentuknya anak berkarakter impian.

Oleh YUSRIANA, S.PD
Guru MTsN Kota Padang Panjang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun