DPR-RI lagi-lagi mendapatkan sorotan dari publik. Kali ini memang bukan karena kedapatan tidur saat rapat, jalan-jalan keluar negeri, kasus korupsi atau Operasi Tangkap Tangan (OTT) dari Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), tetapi karena prestasi mereka dalam mengesahkan revisi Undang-undang MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) Â pada 12 Februari 2018 lalu.
Lantas apa yang salah sehingga prestasi DPR-RI ini menuai polemik dan kritik dari masyarakat? Toh sangat jarang mereka mampu merevisi sebuah Undang-undang dalam waktu yang sesingkat ini. Seharusnya masyarakat justru mengapesiasi kinerja yang luar biasa dari bapak/ibu yang terhormat ini.
Sorotan dari masyarakat terhadap DPR-RI tentu bukan tanpa sebab. Hal ini dikarenakan adanya keresahan dan kegeraman masyarakat terhadap pengesahan revisi undang-undang MD3 yang mana beberapa pasal didalamnya dianggap membungkam pendapat dan sikap kritis masyarakat dalam mengawasi kinerja lembaga Legislatif serta dianggap menciderai demokrasi di Indonesia.
Beberapa pasal yang menjadi sorotan publik diantaranya adalah Pasal 73, mengenai permintaan DPR kepada Polri untuk memanggil paksa, bahkan dapat dengan penyanderaan, bagi setiap orang yang menolak memenuhi panggilan para anggota dewan, serta Polri wajib memenuhi permintaan tersebut.
Pasal ini tentu dikritisi karena membuat anggota dewan menjadi salah arah, terlalu campur tangan dan cenderung memaksa dan mengatur pihak berwajib (polisi) untuk mengikuti kemauan mereka. Selain itu, hal ini juga membuat anggota dewan menjadi tidak fokus dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pembuat undang-undang dan kontol terhadap kinerja pemerintah.
Kemudian Pasal 122 huruf k, mengenai wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum kepada siapapun yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.
Pasal ini semakin disoroti publik karena dianggap multitafsir dan membungkam kritik serta pendapat masyarakat terhadap kinerja anggota dewan. Keadaan seperti ini tentu tidak dapat dibenarkan dalam sistem demokrasi di Indonesia.
Tidak hanya berhenti disitu, pasal ini juga membuat kebebasan pers menjadi terpasung. Pers tidak bisa lagi untuk lebih kritis dalam menilai dan menyampaikan informasi mengenai keadaan yang terjadi di ranah DPR dan anggotanya. Hal ini tentu sangat merugikan dan bertentangan dengan kebebasan berekspresi yang telah diperjuangkan banyak pihak di era reformasi.
Selanjutnya, publik juga menyoroti Pasal 245 yang menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan presiden dan pertimbangan MKD.
Pasal ini tentu menuai kritik dari masyarakat mengingat banyaknya kasus yang menjerat anggota dewan dalam beberapa tahun belakangan ini, terlebih dalam beberapa survey menunjukan bahwa DPR menjadi lembaga terkorup di Indonesia. Adanya Undang-undang ini membuat pengungkapan atas kasus-kasus yang menjerat anggota dewan dapat terhalangi dan terlindungi serta dapat menghambat proses hukum yang berlaku.
Disahkannya Undang-undang yang berisikan pasal-pasal kontoverisal ini semakin menunjukan ketakutan anggota dewan akan keterbukaan di era reformasi. Keterbukaan informasi seharusnya menjadi ajang yang sangat baik bagi setiap orang untuk saling mengoreksi atau dengan yang lainnya sehingga semakin membawa kita pada sebuah perubahan. Selain itu era keterbukaan juga memperkuat kita dalam meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan keterkenalan seseorang di mata dunia dengan berbagai inovasi dan prestasi baru.
Namun sayangnya, anggota dewan kita tidak melihat demikian. Mereka berasumsi era keterbukaan memberikan tempat yang luas bagi setiap orang dalam mengkritik atau mengawasi setiap inci yang mereka lakukan. Â Dengan kata lain, mereka melihat keterbukaan sebagai sebuah ancaman bagi posisi mereka.
Keadaan inilah yang melahirkan Undang-undang MD3 yang salah satu pasalnya berisi anti kritik terhadap anggota dewan. Hal ini tentu memasung kebebasan pers di Indonesia. Pers dalam hal ini wartawan, seharusnya terlindungi dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam mengumpulkan dan memberitakan segala sesuatu yang patut untuk diketahui masyarakat.
Pers tidak boleh di kekang, pers tidak boleh di pasung dan pers tidak boleh mati karena kepentingan pribadi dan golongan. Sebagai bangsa yang menganut sistem demokrasi yang mana menjamin tentang kebebasan berekspresi, kita harus bergandengan tangan melawan pihak-pihak yang mulai menujukan sifat-sifat otoriter yang ditunjukan dengan anti kritik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H