Mohon tunggu...
Riana Dewie
Riana Dewie Mohon Tunggu... Freelancer - Content Creator

Simple, Faithful dan Candid

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Melahirkanmu.... Sakitnya Minta Ampun

6 Desember 2020   23:37 Diperbarui: 6 Desember 2020   23:54 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Waktu itu jam 8 malam masuk Rumah Sakit bersalin dan jam 12-nya, kamu keluar (lahir). Lega, walau sakitnya minta ampun mbak...", sebuah kenangan manis yang ibu ceritakan malam itu.

Sapaan "mbak" memang dilayangkan ibu ke saya agar adik yang saat itu masih kecil terbiasa juga dengan panggilan tersebut. Ya, malam itu kondisi luar rumah tampak dingin karena guyuran hujan seharian yang belum reda. Saya percaya, siapapun yang mendengarkan kisah masa kecilnya akan merasakan haru yang sama. Sebuah percakapan di suatu malam, antara ibu dan saya.

Bisa membayangkan gak sih betapa perasaan saya campur aduk malam itu? Sambil melipat baju-baju yang habis dicuci, beliau bercerita tentang masa kecil saya dalam keluarga sederhana. Sesekali pandangan ibu kosong, sesekali tersenyum, sesekali menitikkan air mata. Di waktu bersamaan, sayapun harus berjuang menahan air di pelupuk mata, tapi sayang jatuh juga.

Satu hal yang sangat saya syukuri bahwa di umur saya yang kesekian ini, saya masih bisa memandang wajah ibu dan bapak saya, persis seperti saat pertama kali saya memandang wajah mereka, sesaat setelah terlahir ke dunia. Bedanya, kini mereka menua, mengeriput, tak selincah dulu. Namun saya percaya, kasih sayang yang ada di hati ibu dan bapak saya tak memudar sedikit pun hingga hari ini.

Sejak Kapan Ibu Memperjuangkan Buah Hatinya? 

Setiap orang pada dasarnya terlahir dari rahim ibu, dan otomatis kita sudah merasakan hangatnya kasih ibu sejak dari dalam rahim. Tak heran jika banyak yang mengatakan bahwa rahim merupakan "rumah" bagi si janin, dimana asupan makanan yang pertama kali didapat dari ibu, semakin tumbuh besar hingga saatnya nanti ia akan terlahir ke dunia.

Masa kecil saya bersama bapak dan ibu
Masa kecil saya bersama bapak dan ibu

Kisah perjalanan saya hingga saat ini tak lepas dari "pegangan tangan" ibu. Ibu mati-matian memperjuangkan kehidupan saya dalam beratnya pekerjaan yang ia pikul, dalam hujan lebat yang harus ia tembus, dalam jauhnya langkah yang harus dia tempuh. Dan itu tidaklah mudah.  

Saat ibu sedang hamil anak pertamanya, yaitu saya, ibu sedang sibuk-sibuknya bekerja di sebuah pabrik tekstil di Kartasura dan setiap hari harus melakukan pengecekan pekerjaan di setiap divisinya. Pabrik yang lumayan luas itu tak jarang membuat ibu terengah-engah. Iya, kan energinya harus dibagi dengan saya. 

Tapi bagi ibu, hal ini justru menjadi penyemangatnya untuk berjuang mengais rejeki membantu bapak, agar bisa belanja segala nutrisi kehamilan sehingga janin tumbuh sehat dan kuat.

Menikah Muda Membawa Berkah Bagi Orang Tua Saya 

Ibu saya melewati proses panjang hingga menjadi sosok kuat seperti sekarang ini. Banyak cerita haru dari wanita yang telah menikah di usia muda ini, yaitu pada saat 19 tahun. Wow, muda banget ya? Hihihi, mungkin bagi generasi milenial memang lumayan mengejutkan jika menikah di usia sebelia itu.

Tapi, budaya orang lama atau jaman dulu, perempuan yang sudah dianggap cukup umur kebanyakan dinikahkan di usia muda. Ada yang bilang karena orang tua jaman dulu kurang teredukasi tentang bahaya pernikahan muda, ada yang bilang karena pada saat itu perekonomian negara sedang kurang baik, bahkan sumber lain mengatakan bahwa nikah muda marak terjadi demi meringankan beban orang tua.

Kebutuhan masa kecil saya tercukupi karena perjuangan bapak dan ibu pastinya, disamping orang-orang yang mengasihi kami sedari dulu yang tak jarang menjadi sumber rejeki.

saya dan adik saat kecil 
saya dan adik saat kecil 

Peran Ibu Bagi Masa Depan Saya

Sepertinya saya takkan bisa menuliskannya satu per satu tentang peran ibu di kehidupan saya. Setiap detik nafas saya pun, ibu selalu ada didalamnya. Mulai dari menyusui, mengganti popok, menyuapi, membimbing belajar, memberi nasihat, membiayai sekolah hingga menikahkan saya dengan lelaki yang saya cintai.

Nah, izinkan saya berbagi sedikit pengalaman yang membuat saya bersyukur memiliki ibu walau dengan segala kekurangan maupun keterbatasannya.

1. Selalu Memberi yang Terbaik

"Dulu normal (melahirkan), tapi waktu itu ibu minta harus ditangani dokter. Walau harus nunggu lama karena dokternya sedang rapat, ya dikuat-kuatin sampai akhire kamu lahir. Rasanya sakit sekali", cerita ibu.  

Di sebuah rumah sakit bersalin di daerah Kartasura, saya dilahirkan. Walau merasakan sakit luar biasa, namun ibu senang karena anaknya terlahir dengan sehat. Dan bersyukur lagi karena ibu tak harus menanggung sakit hingga lebih dari 24 jam, seperti pengalaman yang pernah beliau dengar dari orang-orang sekitar.

Saat kelahiran anak kedua, prosesnya lebih mudah lagi bahkan rasa sakitnya berkurang karena ibu telah mendapatkan edukasi yang lebih baik tentang kehamilan. Dari ibu saya belajar, bahwa segala sesuatu harus dipersiapkan secara matang dan jangan takut bertanya kepada orang lain.  

2. Fokus Merawat Anak

"... Setelah lahiran, waktu ibu hanya untuk ngurus dedek, mau membesarkan dengan tangan sendiri", sepenggal kata yang ibu ucapkan, mewakili perasaan hatinya 30 tahun lalu. Ya, menetes lagi deh air mata ini. Sambil tiduran, saya terus mendengarkan cerita ibu yang hampir seperti dongeng ini. Setelah saya lahir, ibu memilih untuk merawat saya sendiri dan resign dari pekerjaannya karena tak ingin sedetikpun melewatkan momen berharga perkembangan anaknya.

Foto keluarga 
Foto keluarga 

Batin saya malam itu menjerit bahagia karena saat ini banyak sekali bayi-bayi lucu yang selepas lahir harus terpisah dengan ibunya selama paruh waktu pertama setiap harinya. Ya, tentu saja alasannya agar sang ibu bisa bekerja demi membeli susu untuk bayinya. Namun lebih dari tiga puluh tahun lalu, ibu mengambil keputusan yang lumayan berani sebagai keluarga baru yang secara perekonomian masih pas-pasan.

Ibu memberikan teladan bagi saya pribadi, bahwa anak adalah harta paling berharga, melebihi apapun yang ada di dunia ini. Jadi, selagi diberi anugerah ini, jangan pernah disia-siakan.

3. Beban Psikis yang Berat 

"Pertama kamu umur 3 bulan, kita ikut sama eyang (serumah) . Ibu sempat sakit sampai muntah-muntah darah", satu pernyataan ibu yang seumur-umur baru saya dengar malam itu. Ya, setelah saya tanyakan apa penyebabnya, ternyata karena beban psikis yang begitu berat. Ikut dengan mertua (eyang) yang berkarakter keras, belum lagi segala geraknya dibatasi membuat ibu sangat tertekan saat itu.

Ya, walaupun maksud eyang baik, namun ternyata sulit untuk dipenuhi. Maklum, saat awal menikah, ibu masih sangat polos, sepolos anak desa yang kebetulan dapat jodohnya orang kota. Selang beberapa tahun setelah beda rumahpun, ibu sempat keguguran dengan penyebab sama.

Belum lagi ibu harus senam jantung saat merawat adik saya yang suka sakit-sakitan saat masih balita. Badan suka demam hingga kejang-kejang, mau tak mau harus dilarikan ke rumah sakit. Masih banyak lagi pengalaman pahit yang membuat kami saat ini bisa lebih bersyukur. 

Ah, ibu mah bagi saya kayak wonder woman. Andai saya menggantikan peran ibu saat itu, kira-kira saya sudah jadi apa ya? Perkedel? Hahahah tak terbayangkan. Namun ibu tidak menyesali kesusahan yang dialaminya karena menurutnya ini adalah proses hidup yang sudah Tuhan persiapkan.

Harus dijalani seberat apapun itu, satu benang merah yang menjadi penyemangat saya untuk terus bergerak hari ini.

foto keluarga saat wisuda adek 
foto keluarga saat wisuda adek 

4. Menahan Sakit Sudah Biasa

"Kamu pas seneng-senengnya bisa jalan pertama kali. Eh nubruk jempol bernanah sampai ibu pingsan...", ibu melanjutkan kisahnya. Ya, saya ikutan miris mendengarnya, ada sedikit perasaan bersalah malam itu. Tapi, lagi-lagi ibu menghibur karena saya yang belum setahun umurnya, mana tahu tentang sakit yang diderita ibu? Lha wong baru seneng-senengnya mengenal dunia, belajar berjalan.

Singkat cerita, sakit jempol kaki ibu ini disebabkan karena secara tak sengaja, ibu membersihkan pinggiran kuku dengan jepit rambut dari logam. Mungkin karena kotor atau kurang steril, menimbulkan infeksi bengkak bernanah di jempol kaki kiri dan kanan hingga harus mengikuti prosedur operasi agar cepat sembuh.

Ya, seberjuang itu dua orang tua saya saat diberi cobaan oleh Tuhan. Dan perjuangan mereka tidak akan saya sia-siakan, semoga saya pun bisa sekuat mereka dalam menjalani hari-hari yang berat.

5. Doa Ibu Untuk Anaknya 

"Pokoke anakku harus belajar dengan baik. Dua-duanya harus kuliah, jadi sarjana", sepenggal harapan ibu yang yang dilayangkan dengan penuh semangat. Saya tersenyum kecil lalu menanyakan, harapan ini terinspirasi dari siapa bu? Ternyata jawabannya adalah karena prinsip sendiri.

Ya, kembali ibu ceritakan bahwa dulu semasa kecil, orang tuanya kurang memerhatikan masalah pendidikan. Rata-rata adik dan kakak ibu sekolah hanya sampai di tingkat SMP-SMA. Jika diantaranya ada yang menjadi pegawai pemerintah, itu karena berjuang sendiri agar bisa mengenyam pendidikan tinggi.

Beberapa kali ibu mengatakan, "pokoke anak-anakku jangan kayak aku....". Sebuah pesan sederhana namun sangat dalam maknanya. Disini saya semakin yakin, kasih ibu sepanjang masa. Hanya ingin memberi di sepanjang hidupnya, tak mengharapkan secuil apapun balas jasa dari anak-anaknya.     

***

Menulis cerita ini tidaklah mudah. Selalu ada rasa yang berkecamuk, tentang perjalanan hidup seorang wanita yang terus bergerak maju walau jalan dipenuhi kerikil tajam. Mulai dari kecil, bertumbuh menjadi remaja, menikah hingga akhirnya dikaruniai dua anak perempuan. 

Terimakasih ya Bu, tak pernah lelah memberikan nasihat, perhatian juga rangkulan disaat anak-anakmu ini terjatuh. Ada sebuah persembahan untuk ibu walau suara pas2an: 


"Nduk, kalian hanya berdua. Jaga hati ya, jangan sampai bertengkar, nanti gak punya saudara. Suatu saat bapak dan ibu kan kapundut... (dipanggil Tuhan)", pungkas Ibu yang saya balas dengan pelukan dan linangan air mata.

Riana Dewie

  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun